Senin, 23 Desember 2019

Segala Sesuatu Untuk Kebaikan Kita


Judul                  : Segala Sesuatu untuk Kebaikan Kita
Penulis               : Thomas Watson
Penerbit             : Momentum

"Ada dua hal yang selalu saya rasakan sulit untuk dilakukan. Yang pertama adalah untuk membuat orang jahat bersedih; yang satunya adalah membuat orang saleh berbahagia. Kemuraman orang saleh muncul dari dua sumber: pertama, karena pengharapan di dalam batinya gelap adanya, dan kedua, karena pengharapan di luar batinnya terganggu." (Watson, “Prakata,” xii)

Beberapa kalimat awal dalam prakata oleh Thomas Watson begitu mendalam ke dalam hati saya ketika membacanya. Kalimat-kalimat awal ini sudah cukup membuat saya merenungkan kembali segala hal yang Tuhan izinkan (dalam kedaulatan-Nya) terjadi dalam hidup saya secara pribadi. Menurut saya, tidak ada seorang kristen (atau yang mengaku kristen) yang keberatan dari gagasan awal Watson ini. Mengapa? Karena pada dasarnya kita adalah orang berdosa yang menyadari betapa jarangnya kita bersedih atas keberdosaan kita. Namun, kita yang percaya kepada Kristus juga adalah orang yang dibenarkan di mana seringkali bermuka muram. Para pembaca kristen seharusnya tidak asing dengan kondisi seorang yang berdosa dan seorang yang dibenarkan karena anugerah di dalam Kristus. Seperti yang diungkapkan dalam salah satu gagasan reformator: "simul iustus et peccator". Dalam tegangan ini, ada dua cara pandang: from below dan from above. Cara pandang from below cenderung bersifat antroposentris entah memunculkan kerendahan diri (self-pity) bahkan kebanggaan diri (self-pride). Dalam sudut pandang from below, mengakui dan menyadari diri yang berdosa dan mengalami konsekuensi dosa (penderitaan, kematian, dll) dapat memunculkan kerendahan diri yang berpusat pada diri sehingga melihat diri tidak dapat tertolong bahkan Tuhan dipandang kecil (tidak adil, tidak kuasa, tidak kasih, dll). Dalam sudut pandang from below, tidak mengakui diri yang berdosa bahwa saya sudah melakukan banyak hal dan menaati segala perintah Allah sehingga tidak ada kurang. Cara pandang ini berdampak pada kebanggaan diri yang menempatkan diri dalam kelompok orang saleh sehingga sudah seharusnya mendapat berkat dan kebaikan dari Tuhan Allah bukan kesusahan dan penderitaan. Cara pandang from below pada dasarnya berakar pada pengenalan diri dan pengenalan akan Allah yang salah. 

Dalam hal inilah, Watson membawa kita untuk melihat dengan cara pandang from above. Menurut saya, cara pandang ini memang sulit karena berpusat pada Allah. Cara pandang yang menyelami dan menghayati hikmat Allah. Kesulitannya karena kita bukan Allah dan kita terbatas dalam memahami hikmat Allah. Selain itu, cara pandang ini sulit karena konsekuensinya adalah penyangkalan diri. Cara pandang ini harus "menyangkal" keegoisan diri dan harus berpusat pada Allah dalam segala sesuatu. Oleh karena itu sangat perlu pertolongan Allah Roh Kudus dalam “kelemahan” kita sebagaimana dinyatakan dalam Roma 8:26, "Demikian juga Roh membantu kita dalam kelemahan kita; sebab kita tidak tahu, bagaimana sebenarnya harus berdoa; tetapi Roh sendiri berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan". Kelemahan (astheneia) dapat dipahami sebagai totalitas kondisi manusia yaitu creatureliness (James D. G. Dunn, Word Biblical Commentary, Volume 38a: Romans 1-8). Perenungan dari kalimat awal ini membawa saya menyadari akan "creatureliness" (dicipta, terbatas, dan berdosa) di mana sangat memerlukan pertolongan Tuhan dalam memahami hikmat-Nya yang tak terbatas.

Gagasan dalam prakata ini memunculkan pertanyaan reflektif dalam diri saya: “Sebagai seorang percaya kepada Kristus, berapa banyak saya bersedih atas dosa dan konsekuensi dosa baik secara individual maupun komunal? Hal-hal apa yang membuat saya bersukacita dan berdukacita?”. Saya teringat dalam alkitab dinyatakan bahwa Tuhan Yesus lebih banyak menangis daripada tertawa. Tuhan Yesus menangisi dosa dan konsekuensi dosa. Pengikut Kristus seharusnya mengalami kesedihan yang sama dengan Kristus. Dukacita kudus atas dosa dan konsekuensinya. Karena itu tidak heran bahwa Watson menyatakan orang saleh seringkali muram karena persoalan pengharapan di dalam batin dan pengharapan di luar batin. Menurut saya, hal ini terkait dengan peperangan rohani internal dan eksternal yang berhadapan dengan dosa dan konsekuensi dosa. Secara pribadi, saya menyadari hal-hal ini pula yang seringkali membuat saya bergumul: kerusakan diri dan kerusakan dunia. Selain itu, tentu si jahat yang tidak kenal lelah dalam peperangan rohani orang percaya. Dalam pergumulan inilah, perspektif from above memberikan penghiburan dan sukacita yang melimpah bahwa "segala sesuatu turut bekerja untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Allah" (Watson, “Prakata,” xii).

Ketika merenungkan dan menyadari diri yang dicipta, terbatas, dan berdosa, apakah yang menjadi alasan bahwa "segala sesuatu turut bekerja untuk mendatang kebaikan bagi mereka yang mengasihi Allah"? Dalam hal ini saya kembali dikuatkan dan dihiburkan bahwa dasar utama yang paling kokoh yaitu Allah sendiri dan janji-janji-Nya (Watson, Segala Sesuatu, 57). Watson mengingatkan pengenalan akan Allah yang paling pokok dan unik dalam alkitab bahwa Tuhan Allah adalah Tuhan Allah Perjanjian (Yeremia 32:38). Ia yang rela berinisiatif mengikat Diri-Nya dengan manusia berdosa. Inilah jaminan yang kokoh bahwa Ia setia dengan janji-Nya. Saya terikat seperti yang dinyatakan dalam 2 Timotius 2:13, "jika kita tidak setia, Dia tetap setia, karena Dia tidak dapat menyangkal diri-Nya". Demikian pula dalam Yesaya 48:9-11, "Oleh karena nama-Ku Aku menahan amarah-Ku dan oleh karena kemasyhuran-Ku Aku mengasihani engkau, sehingga Aku tidak melenyapkan engkau. Sesungguhnya, Aku telah memurnikan engkau, namun bukan seperti perak, tetapi Aku telah menguji engkau dalam dapur kesengsaraan. Aku akan melakukannya oleh karena Aku, ya oleh karena Aku sendiri, sebab masakan nama-Ku akan dinajiskan? Aku tidak akan memberikan kemuliaan-Ku kepada yang lain!" Jonathan Edwards menulis satu artikel berjudul "End for Which God created the World" (Tujuan Allah Menciptakan Dunia). Ia menyatakan bahwa Allah melakukan segala sesuatu adalah demi kemuliaanNya sendiri. Baik peringatan, hukuman, hal-hal yang tidak menyenangkan bahkan pemulihan, kelancaran dan semua yang menyenangkan kita alami terjadi untuk kemuliaan Allah. Allah melakukan semuanya itu, untuk nama-Nya maka pasti Allah melakukan yang terbaik melampaui rancangan dan perkiraan manusia.

Namun, Watson juga memperingatkan bukan berarti membenarkan dosa atau menganggap remeh dosa (Watson, Segala Sesuatu, 56). Hal ini justru mengingatkan kita bahwa seringkali kita yang tidak setia. Dan untuk itulah kita harus lebih lagi menuntut diri kita untuk menyatakan kasih dan setia kita kepada-Nya yang telah menuntut diri-Nya untuk mengosongkan diri-Nya dan taat bahkan sampai mati di kayu salib (Filipi 2:7-8). Dosa itu begitu serius di hadapan Allah karena itulah harus ada penebusan Kristus. Pengampunan Allah atas dosa bukan pengampunan karena kompromi melainkan berdasarkan kasih dan keadilan. Dalam 1 Yohanes 1:9 dikatakan "Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita". Ia mengampuni karena Ia setia dan adil. Karena keadilan Allah sudah dibayar tuntas oleh Tuhan Yesus Kristus, maka berdasarkan itulah pengampunan diberikan kepada setiap orang yang percaya kepada Kristus. Seolah Kristus mengatakan: "Di salib Aku telah membayar hukuman semua dosa secara tuntas. Maka – … Aku meminta keadilan" (Timothy Keller, Perjumpaan-Perjumpaan Dengan Kristus, 129). Dengan demikian sebagai orang yang percaya kepada Kristus, kita harus meresponi dengan tepat atas anugerah keselamatan ini. Karena itu, Watson "menuntut" kita: "Jika Allah mengupayakan kebaikan kita, marilah kita mengusahakan kemuliaan-Nya" (Watson, Segala Sesuatu, 75).

Watson juga menyadarkan bahwa "segala sesuatu untuk kebaikan kita" hanya dialami oleh "orang-orang yang mengasihi Allah" (Watson, Segala Sesuatu, 77). Ia menyatakan kasih kepada Allah merupakan "kobaran afeksi" orang percaya yang menyembah Allah sebagai kebaikan tertinggi dan berdaulat (Watson, Segala Sesuatu, 78). Ia melanjutkan dengan banyak penjelasan tentang natur kasih sampai ujian kasih kita kepada Allah. Ketika saya membaca bagian ini, saya kira inilah bagian yang sulit untuk diakui. Siapakah yang dapat menyatakan dengan gamblang bahwa dirinya mengasihi Allah melebihi segala sesuatu? Layakkah kita menyatakan bahwa kitalah orang-orang yang mengasihi Allah? Secara pribadi saya kembali merenungkan bagaimana hati saya di hadapan Allah. Mungkin dari mulut saya dapat menyatakan kasih kepada Allah. Tapi di dalam hati seringkali ada hal-hal terselubung yang menjadi dasar dari apa pun saya lakukan bahkan dalam pelayanan di mana tidak berdasarkan pada kasih kepada Allah. Selain itu, salah satu wujud kasih kepada Allah yaitu membawa orang-orang lain percaya kepada Kristus melalui penginjilan pribadi masih sangat banyak belum saya kerjakan.

Dalam pergumulan ini, saya bersyukur karena Watson juga menyampaikan tentang nasihat untuk memelihara dan memperbesar kasih kepada Allah. Ia menyatakan:

"Orang kristen tidak boleh merasa puas hanya dengan segenggam anugerah, hingga bisa membuatnya bertanya-tanya apakah ia memiliki anugerah itu atau tidak. Ia harus memperbesar persediaan anugerah itu. … Orang beriman sudah puas dengan sedikit hal-hal duniawi; namun ia tidak pernah puas dalam hal kasih kepada Allah. Ia menginginkan lagi gerakan Roh Kudus, berusaha menambah satu tingkatan kasih lagi ke atas kasih yang lama." (Watson, Segala Sesuatu, 130)

Saya kira inilah yang disebut sebagai miskin rohani dalam Matius 5:3. Saya harus terus-menerus berdoa agar Roh Kudus memelihara dan memperbesar kasih kepada Allah dalam diri saya. Saya harus terus memiliki kehausan rohani untuk semakin mengenal Allah dan kebenaran-Nya. Saya bersyukur dalam beberapa waktu ini saya dan beberapa rekan hamba Tuhan saling mendorong untuk semakin lagi mengenal Allah dan kebenaran-Nya khususnya melalui alkitab dan buku-buku yang sangat baik membawa saya semakin kagum akan Kristus dan semakin didorong untuk mewujudkan kasih saya kepada Kristus. Kurang lebih 2-3 minggu ini saya berhadapan dengan beberapa perenungan dari Mazmur 34, Mazmur 127, buku-buku Timothy Keller (The Prodigal Prophet, Encounters with Jesus, Walking with God through pain and suffering), The Voices from the Past, Segala Sesuatu untuk Kebaikan Kita oleh Thomas Watson, dan pembacaan kitab Ayub menuju Mazmur. Beberapa tema pokok dari bacaan dan perenungan tersebut yaitu tentang kedaulatan dan providensia Allah. Saya terus ditegur dan dihiburkan melalui bacaan dan perenungan ini. Saya yakin ini tidak kebetulan. Saya terus berdoa kiranya kasih kepada Kristus dalam diri saya tidak padam atau menjadi dingin tapi semakin berkobar lagi. Kasih yang dibangun di atas dasar kasih Allah itu sendiri bahwa Ia "sudah" mewujudkan kasih dan keadilan-Nya secara sempurna di salib. Seperti dinyatakan dalam Roma 8:38-39, "Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita."

Jumat, 09 Agustus 2019

Reformasi Hati

Markus 7:1-23

Markus 7:1-23 dan Matius 15:1-20 mencatat peristiwa menarik tentang kontroversi antara orang Farisi dan orang Yahudi dengan Tuhan Yesus dan murid-murid-Nya. Pada dasarnya orang Farisi dan orang Yahudi sangat memandang rendah “gaya hidup” dari Tuhan Yesus dan murid-murid-Nya. Hal ini disoroti dari hal-hal “sederhana” seperti makan dengan tangan yang tidak dibasuh (Markus 7:2). Urusan “tidak cuci tangan” merupakan hal sepele, namun bagi masyarakat Yahudi hal ini tidak sederhana seperti kelihatannya. Dalam masyarakat masa kini seringkali cuci tangan adalah urusan kesehatan dan kebersihan secara jesmani. Namun dalam masyarakat Yahudi, cuci tangan merupakan urusan kebersihan rohani (kekudusan hidup). Apakah prinsip ini memang berdasarkan pada firman Tuhan? Cuci tangan sebagai urusan kebersihan rohani memang terdapat dalam Perjanjian Lama seperti Keluaran 30:17–21, Keluaran 40:30–32, dan Imamat 8:5–6. Musa, Harun, dan para lewi diwajibkan untuk mencuci tangan ketika pelayanan di Kemah Suci atau Bait Allah. Jadi dalam Perjanjian Lama, perintah ini dilakukan hanya oleh orang-orang yang melayani di Kemah suci atau Bait Allah. Mengapa dalam Perjanjian Baru diberlakukan untuk semua orang? Orang Farisi memutuskan bahwa hukum ini juga untuk orang awam (laymen). Hal ini menjadi hukum tambahan (Markus 7:4). Kita dapat membayangkan mungkin awalnya mereka berpikir: “Perintah ini bukan hanya untuk para imam dan lewi dan ibadah. Tuhan menyatakan bahwa umat Tuhan adalah Kerajaan imamat dan bangsa kudus (Keluaran 19:6). Hidupku dan tubuhku adalah bait Allah. Aku harus mendedikasikan seluruh hidupku menjadi hidup yang kudus bagi Tuhan” (holy to the Lord). Sampai pada masa antara (intermediate state) dan masa Perjanjian Baru, mereka menjalankan seluruh perintah Tuhan dalam setiap aspek kehidupan yang kemudian dikembangkan menjadi banyak aturan (613 mitzvot = 365 negatif + 248 positif), tulisan dan lisan, dan menjadi tradisi turun-temurun. Mereka ingin hukum Allah dijalankan dalam hidup untuk mencapai kekudusan hidup sehingga menjadi bangsa yang kudus, imamat rajani. 

Coba kita renungkan: orang Farisi (Yahudi) membasuh tangan supaya kudus di hadapan Allah. Ini merupakan hal luar biasa sangat positif. Tetapi Tuhan Yesus menegur dengan tajam. Tuhan Yesus menyatakan orang Farisi sebagai orang munafik (Markus 7:6). Mengapa? Karena orang Farisi hanya fokus pada spiritualitas lahiriah daripada devosi batiniah & kebenaran hati. Tuhan Yesus tidak memarahi murid-murid-Nya yang tidak membasuh tangan sehingga menjadi batu sandungan bagi masyarakat Yahudi. Tuhan juga tidak mengeluarkan pernyataan-pernyataan adu moralitas kepada orang Farisi. Tetapi Tuhan Yesus menyatakan suara cara pandang yang begitu radikal bahwa kekudusan bukanlah tentang penampilan luar atau perbuatan baik di luar melainkan tentang pembaruan hati (reformasi hati). Apakah ini ajaran baru? TIDAK! God’s law selalu berfokus pada pembaruan hati (reformasi hati) dan devosi batin sebagai daya dorong murni atas tindakan luar (mis. Kel. 20:17, hati yang mengasihi sesama menjadi dasar melakukan tindakan tidak membunuh, tidak berzinah, dll). Ulangan 10:16 menekankan tentang sunat hati. Dalam Mazmur 51:16-17 dinyatakan bahwa Allah berkenan kepada hati yang hancur. Tuhan Yesus bukan meniadakan Perjanjian Lama dan membuat ajaran yang sama sekali baru melainkan menegaskan makna sejati firman Allah dalam Perjanjian Lama. Hal ini ditegaskan kembali oleh Tuhan Allah kepada Petrus dalam Kisah Para Rasul 10 dan Gal. 2:11-14 (Petrus mengerti hal ini beberapa tahun sesudah Tuhan Yesus mengajar tentang ini). Artinya perintah tentang makanan dari Taurat tidak pernah bermaksud supaya orang-orang berpikir bahwa makanan dan ritual dapat membuat kita unclean. Yang dalam hati lah yang membuat manusia berdosa itu unclean dan kecemaran ini tidak dapat dibersihkan melalui hukum tentang makanan yang haram-halal, mencuci tangan, atau hukum-hukum luar.

Dosa bukan hanya tentang tindakan kelihatan melainkan terutama kecemaran Hati (Markus 7:15). Seseorang itu berdosa karena di dalam dirinya terdapat dosa yang mengakar begitu mendalam. Kita berdosa karena hati kita yang kotor kemudian diwujudkan dalam tindakan yang kelihatan. Tuhan menyatakan kecemaran bukan datang dari luar melainkan dari dalam hati. Peraturan hanya dapat “memperbaiki” hal-hal yang kelihatan di luar saja tapi tidak mengubah hati secara radikal. 

Mengapa orang farisi disebut munafik? Karena mereka menjadi legalisme. Tuhan Yesus memperingatkan bahaya Legalisme (bdk. Lukas 18; Mat. 23:23-24). Legalisme adalah aliran yang mengutamakan hukum itu pada dirinya sendiri harus ditaati. Legalisme membuat kita melupakan esensi hukum yang terkait dengan Sang Sumber Hukum yaitu Allah. Perhatikan progresif pernyataan Yesus: leave/abaikan (ayat 8), reject/mengesampingkan (ayat 9), making void/tidak berlaku (ayat 13) (NIV – let go (ayat 8), setting aside (ayat 9), nullify (ayat 13)). Ketika menaati peraturan atau hukum kita seharusnya tidak melupakan dasar dari hukum yaitu keadilan, kemurahan (mercy), kesetiaan dan kasih. Ketika hukum dilepaskan dari Allah (Sang Sumber Hukum) maka perintah manusia dijadikan perintah Allah - pengilahian hukum manusia (bdk. Mark. 7:7; Kol. 2:23). Allah tidak memberikan kepada kita otoritas untuk “melebihkan atau mengurangi” apa yang diperintahkan-Nya kepada umat-Nya. Dia adalah Pencipta, Lawgiver dan Hakim. Dia mempunyai otoritas mutlak dan tertinggi. 

Orang ateis itu menolak keberadaan Allah, orang agamais itu mengganti dan melepaskan Allah dari hukum-hukum agama. Kita adalah orang-orang demikian. Hati kita yang berdosa cenderung mencari selubung dan alibi untuk pembenaran diri melalui hukum-hukum agama. Bahkan kita dapat memakai firman Allah untuk membenarkan diri kita. Kita dapat sangat kagum pada diri kita karena sudah melakukan segala perintah Allah. Kita seringkali merasa diri lebih baik daripada orang lain yang percaya Kristus apalagi orang yang belum percaya Kristus. Kristen sejati bukan tentang works-righteousness (forms of works-righteousness). Kristen sejati adalah kehidupan di mana kebenaran diterima melalui iman kepada Kristus yang taat atas tuntutan Allah sampai mati disalib. 

Marilah kita senantiasa berdoa agar Tuhan menyelidiki dan memurnikan hati kita. Marilah kita senantiasa berdoa kiranya Tuhan memberikan kita hati yang lembut dan menyadari bahwa kita sangat memerlukan anugerah Tuhan dalam menaati segala firman-Nya. Jika kita bermegah, bermegahlah dalam Kristus yang menyatakan anugerah-Nya kepada setiap orang yang kepada-Nya Ia berkenan yaitu orang-orang yang lemah, terbatas, dan berdosa dengan hati yang hancur datang berlutut dan menyembah di kaki-Nya dan dengan iman berpegang teguh pada kebenaran-Nya. 

Soli Deo Gloria!


Selasa, 11 Juni 2019

Seberapa Bersyukurkah Anda?


Aku mau bersyukur kepada TUHAN dengan segenap hatiku,
Aku mau menceritakan segala perbuatan-Mu yang ajaib.
Mazmur 9:2

Kebanyakan dari kita mengakui bahwa segala milik kita berasal dari Allah, tetapi seberapa seringkah kita berdiam sejenak untuk bersyukur kepada-Nya? Di akhir hari kerja, apakah Anda mengambil waktu untuk berkata, “Terima kasih, Bapa surgawi, karena Engkau memberiku keterampilan, kemampuan, dan kesehatan untuk melakukan pekerjaanku hari ini”? Apakah Anda pernah menjelajahi langsung ataupun sekedar membayangkan rumah Anda dan berkata kepada Allah, “Semua yang ada di rumah ini, makanan di lemari dan mobil (atau beberapa mobil) di garasi, adalah pemberian-Mu. Terima kasih atas pasokan-Mu yang baik hati dan penuh kemurahan”? ketika Anda berdoa sebelum makan, apakah doa itu rutin dan asal saja atau merupakan ungkapan tulus dari rasa syukur Anda kepada Allah atas pasokan kebutuhan jasmani yang terus diberikan-Nya?

Kita bisa menganggap biasa saja segala pasokan jasmani dan berkat rohani yang dilimpahkan Allah kepada kita, sehingga kita gagal untuk selalu bersyukur kepada-Nya. Hal itu adalah salah satu dosa yang kita anggap “wajar.” Bahkan, banyak sekali orang Kristen yang tidak menganggapnya sebagai dosa. Ketika menggambarkan orang yang dipenuhi Roh, Paulus, memberikan gambaran berikut: “Ucaplah syukur senantiasa atas segala sesuatu … kepada Allah" (Efesus 5:20). Perhatikanlah kata senantiasa dan segala sesuatu. Itu berarti seluruh hidup kita harus terus menjadi hidup yang bersyukur.

Mengucap syukur atas berkat jasmani dan rohani dari Allah dalam hidup kta bukan saja baik untuk dilakukan – itu adalah prinsip moral Allah. Kegagalan untuk bersyukur dengan selayaknya kepada Allah adalah dosa. Bagi kita dosa itu mungkin tampak tidak berbahaya karena tidak merugikan orang lain. Tetapi itu (tidak bersyukur) adalah penghinaan dan penistaan terhadap Dia yang menciptakan kita dan yang menunjang hidup kita setiap detik.

(Jerry Bridges: Holiness Day by Day)

Kamis, 06 Juni 2019

Providensia Allah dalam Sejarah

Pada malam itu juga raja tidak dapat tidur (Ester 6:1)

Banyak kemurahan dan kelepasan yang dialami umat Allah jauh melampaui hubungan sebab-akibat yang alamiah. Tatkala api siap menghanguskan, air siap menenggelamkan dan singa siap melahap, Allah dapat menaham semuanya itu. Laut dapat dibuat menjadi dinding air di kedua sisinya yang membuka jalan yang aman bagi bangsa Israel yang terancam (Keluaran 14:21-22). Api tidak dapat menghanguskan sehelai pun rambut saksi-saksi Allah (Daniel 3:26-27). Singa-singa yang lapar menjadi jinak dan tidak berbahaya ketika Daniel di lemparkan ke tengah-tengah mereka (Daniel 6:22-23). Bukankah kedengkian dari saudara-saudara Yusuf (Kejadian 37:26-28) dan rancangan jahat dari Haman (Ester 3:5-6) semuanya diubah oleh tangan providensi (pemeliharaan) ajaib dan tersembunyi, menjadi kemajuan dan keuntungan yang lebih besar bagi umat Allah? Sejarah pengangkatan Yusuf menunjukkan ada banyak langkah providensi yang menakjubkan. Seandainya salah satu dari langkah itu gagal, besar kemungkinan keseluruhan dari peristiwa itu juga akan gagal. tetapi setiap langkah berjalan sesuai urutannya, tetap berada pada waktu dan tempatnya masing-masing. Di dalam kelepasan orang-orang Yahudi dari rencana Haman, kita mendapati banyak langkah tindakan providensi terjadi bersamaan secara ajaib demi menggagalkan perangkap tersebut. Dengan cara serupa, jika kita memperhatikan dengan saksama alat dan sarana yang dipakai untuk mendatangkan kemurahan kepada umat Allah ini, siapakah yang tidak akan mengakui bahwa ada banyak peralatan dalam berbagai bentuk dan ukuran di dalam bengkel kerja providensi dan tangan yang sangat ahli  menggunakan peralatan-peralatan itu.

Kita mendapat sekumpulan providensi Allah yang sangat tepat terjadi sampai ke hitungan menit sehingga sekiranya terjadi lebih lambat atau lebih cepat sedikit saja, itu akan memberikan dampak yang berbeda. Begitu tepat waktunya pesan yang tiba kepada Saul tentang orang-orang Filistin telah menyerbu tanah mereka, sehingga Daud terlepas dari tangan Saul (1 Samuel 23:27). Malaikat berbicara kepada Abraham tepat sebelum tikaman yang mematikan menyembelih Ishak (Kejadian 22:10-11). Kepala juru minum raja Asyur juga berhadapan dengan providensi Allah yang menghancurkan dia (Yesaya 37:7-8). Ketika rancangan jahat Haman telah matang, pada malam itu raja tidak dapat tidur. Demikianlah providensi Allah terjadi pada saat-saat yang luar biasa.

John Flavel (1627-1691)
(Disadur dari Voices from The Past - Momentum)

Sabtu, 11 Mei 2019

Pujilah Hai Jiwaku

Dalam catatan sejarah penulisan lagu ini tidak diketahui siapa yang membuatnya. Walaupun demikian lagu ini sangat mempunyai dasar alkitab yang kuat. Lagu ini berdasarkan pada Mazmur 103 yang merupakan mazmur syukur (thanksgiving). Mazmur ini ditulis oleh Daud. Suatu Mazmur yang indah yang mengajarkan tentang “Allah yang mengasihi dan mengampuni”. Bait ke-1 lagu ini diambil dari Mazmur 103:2-3 yang berbunyi: “Pujilah TUHAN, hai jiwaku, dan janganlah lupakan segala kebaikan-Nya! Dia yang mengampuni segala kesalahanmu, yang menyembuhkan segala penyakitmu.” Ada banyak kebaikan Allah yang kita terima dalam hidup ini: keluarga, pekerjaan, pendidikan, lingkungan, hidup dan lainnya. Namun kebaikan-kebaikan tersebut adalah kebaikan umum dari Allah. Ada kebaikan yang lebih luar biasa daripada itu semua yaitu “Ia mengasihi dan mengampuni manusia berdosa”. Inilah yang dinyatakan melalui bait pertama lagu ini. Ketika kita menikmati segala kebaikan umum dari Allah, hendaklah kita tidak melupakan kebaikan-Nya yang paling luar biasa bahwa Ia mengasihi dan mengampuni kita yang berdosa. 

Bait ke-2 diambil dari Mazmur 103:4-5, “Dia yang menebus hidupmu dari lobang kubur, yang memahkotai engkau dengan kasih setia dan rahmat, Dia yang memuaskan hasratmu dengan kebaikan, sehingga masa mudamu menjadi baru seperti pada burung rajawali.” Kebaikan Allah tidak berhenti ketika Ia mengampuni manusia berdosa, Ia juga memahkotai dan memberikan hidup berkelimpahan. Manusia yang berdosa adalah manusia yang mengalami kerusakan total sehingga menjalani hidup yang tanpa makna. Ketika Tuhan Allah memulihkan manusia berdosa di dalam Kristus, Ia memberikan nilai diri yang sejati di dalam Kristus. Dengan demikian kebanggaan kita bukan lagi segala pencapaian duniawi melainkan kasih setia dan rahmat Kristus. Itulah yang menjadi mahkota kita. Dan berdasarkan rahmat Kristus itu pula kita menjalani hari-hari kita seperti burung rajawali muda dengan kekuatan dan harapan yang baru menuju masa depan penuh harapan di dalam Kristus.

Bait ke-3 diambil dari Mazmur 103:10-13, “Tidak dilakukan-Nya kepada kita setimpal dengan dosa kita, dan tidak dibalas-Nya kepada kita setimpal dengan kesalahan kita, tetapi setinggi langit di atas bumi, demikian besarnya kasih setia-Nya atas orang-orang yang takut akan Dia; sejauh timur dari barat, demikian dijauhkan-Nya dari pada kita pelanggaran kita. Seperti bapa sayang kepada anak-anaknya, demikian TUHAN sayang kepada orang-orang yang takut akan Dia.” Bagian ini merupakan suatu ungkapan betapa sangat besarnya kasih Allah kepada umat-Nya. “Tingginya langit” merupakan kiasan atas kasih Allah yang tidak pernah dapat terukur oleh manusia. “Kasih Bapa” merupakan kiasan atas kasih yang tak berkesudahan dan tak bersyarat. Seperti Bapa yang mengasihi anak-anak-Nya dan terus menantikan anak yang hilang kembali pulang.

Betapa besar, berkelimpahan dan tak terduga anugerah Allah di dalam Kristus. Kiranya lagu ini membuat kita semakin kagum dengan Allah kita dan hidup dengan penuh syukur atas segala karya-Nya di dalam Kristus.

Sabtu, 26 Januari 2019

Happiness Is The Lord

Teks & Musik: Ira F. Stanphill, 1968

Ira F. Stanphill lahir di Belview, New Mexico, pada tahun 1914. Orang tuanya adalah Andrew Crittenton Stanphill dan Maggie Flora Engler Stanphill. Sampai berumur 12 tahun, Ira tinggal bersama orang tuanya di Kansas. Saat berumur 12 tahun itulah Ia bertobat. Sesudah lulus dari College yaitu pada saat itu berumur 22 tahun, Ia mulai berkotbah. Ia terlibat aktif dalam pelayanan penginjil dari suatu lembaga misi.

Ia merupakan salah satu penulis lagu kristen asal Amerika yang begitu dikenal pada pertengahan abad ke-20. Dia telah menulis lebih dari 550 lagu, di antaranya yang paling terkenal: “Mansion over the Hilltop,” “Room at the Cross,” dan tentu saja “Happiness Is the Lord.” Kadangkala Tuhan memberikan sebuah lagu kepada pengubah lagu pada saat yang tidak disangkasangka. Begitulah yang terjadi pada Ira Stanphill pada suatu sore di tahun 1974, setelah ia meninggalkan kantor gereja, di mana ia menjadi pendeta, di Fort Worth, Texas. Radio mobilnya menyala, dan selama menyetir dia mendengarkan beberapa iklan. Beberapa iklan tersebut disponsori oleh perusahaan yang mempromosikan happy hour dan minuman alkohol. Dia juga mendengar iklan rokok yang disampaikan sedemikian hingga seakan-akan bisa memberikan kebahagiaan.

Kata ‘kebahagiaan’ digunakan beberapa kali dalam iklan tersebut. Pada saat itu Ira berpikir bahwa kebahagiaan bukanlah datang dari semua hal itu, tapi dari mengenal Kristus. Selama pemikiran itu menguasai pikirannya, ia mulai bernyanyi. Dia menyanyikan sebuah lagu baru, menyusun kata-kata dan melodinya seraya menyetir. Dia menyanyikan lagu ini hampir sama seperti yang kita kenal sekarang.

Pengkotbah 8:12-13
Walaupun orang yang berdosa dan yang berbuat jahat seratus kali hidup lama, namun aku tahu, bahwa orang yang takut akan Allah akan beroleh kebahagiaan, sebab mereka takut terhadap hadirat-Nya. Tetapi orang yang fasik tidak akan beroleh kebahagiaan dan seperti bayang-bayang ia tidak akan panjang umur, karena ia tidak takut terhadap hadirat Allah.

Kamis, 24 Januari 2019

Api Zaman

Teks    : C. M. Yu, Malang, 1969
Musik : Stephen Tong, Malang, 1969

Pdt Stephen Tong lahir tahun 1940 di kota Xiamen, Cina. Ayahnya berasal dari Cina dan Ibunya berasal dari Indonesia. Dari keluarga ini lahirlah 7 orang anak yang terdiri dari 6 anak laki-laki dan 1 anak perempuan. Ayahnya meninggal dunia ketika Pak Tong berumur 3 tahun. Sejak itu Ibunya mengasuh 7 orang anak ini sendirian. Ketika Pak Tong berumur 9 tahun, Ibunya membawa mereka ke Indonesia. Mereka pun tinggal di Surabaya. Ketika Pak Tong berumur 17 tahun, dia mengikuti suatu kebaktian yang dipimpin oleh seorang hamba Tuhan bernama Andrew Gih. Dalam kebaktian itu, dia dan 4 saudaranya laki-lakinya menyerahkan diri untuk hidup melayani Tuhan seumur hidup mereka. Kelima orang ini adalah Peter, Caleb, Solomon, Stephen dan Joseph. Mereka pun sampai sekarang menjadi hamba Tuhan dan melayani di beberapa tempat di dunia. Pdt. DR. Stephen Tong sendiri sudah melayani lebih dari 50 tahun di berbagai negara. 

Inti pesan lagu ini secara menyeluruh adalah mendorong setiap orang kristen untuk menjadi saksi Tuhan dan memberitakan injil Tuhan. Bait pertama, injil tidak dapat dilepaskan dengan salib. Penginjilan didasarkan pada pengorbanan Kristus di salib. 1 Korintus 1:17, Sebab Kristus mengutus aku bukan untuk membaptis, tetapi untuk memberitakan Injil; dan itupun bukan dengan hikmat perkataan, supaya salib Kristus jangan menjadi sia-sia. Selain itu, bait kedua menyatakan bahwa penginjilan didorong oleh mencintai jiwa-jiwa. Sebagaimana dinyatakan oleh Paulus dalam Efesus 3:1, Itulah sebabnya aku ini, Paulus, orang yang dipenjarakan karena Kristus Yesus untuk kamu orang-orang yang tidak mengenal Allah. Ketika kita mencintai jiwa-jiwa berarti kita merindukan jiwa-jiwa tersebut datang kepada Tuhan dan mengalami keselamatan di dalam Kristus. Ketiga, pengorbanan Kristus, pengorbanan para martir dan mencintai jiwa-jiwa seharusnya tidak menjadikan kita duduk diam melainkan bangkit dan memberitakan injil. Sesudah menyadari dasar yang mendorong kita menginjili, apa yang harus kita lakukan? Mempersembahkan diri menjadi saksi Kristus. Kiranya Tuhan Allah memampukan kita untuk bersaksi bagi Dia.

Rabu, 23 Januari 2019

Pemberian Allah



Pengkhotbah 3:11-13

Kitab Pengkhotbah merupakan salah satu kitab yang dikategorikan Kitab hikmat. Kitab ini yang memang sulit untuk dipahami. Kitab Pengkhotbah sama seperti Kitab Ayub. Dalam kitab Ayub dicatat “penghiburan sialan” (Ayub 16:2) diberikan oleh teman-teman Ayub (kecuali Elihu). Jadi mengutip perkataan teman-teman Ayub untuk mengungkapkan kebenaran adalah hal yang salah. Ketika kita membaca Alkitab kita harus mengerti keseluruhannya. Kitab Pengkhotbah terdapat kata-kata yang menyatakan realita hidup begitu menyedihkan dan menjadikan kita cenderung pesimis jikalau kita tidak membaca dengan hati-hati. Tetapi secara keseluruhan Kitab Pengkhotbah ini bukanlah 100 % mengajarkan pesimis terhadap kehidupan. Kitab Pengkhotbah mengajarkan kita untuk melihat kehidupan itu secara kritis dan realistis yaitu melihat kehidupan dari cara pandang from above, cara pandang Tuhan. Kitab Pengkhotbah tidak mengajarkan cara pandang from belowTerkadang ada kata-kata Pengkhotbah itu seperti sindirian dan sinis. Pengkotbah menyatakan pandangannya seperti lelucon yang sekaligus menegur kita yang akhirnya menertawakan dan meratapi kehidupan kita sebagai manusia. Hal tersebut mau tidak mau akhirnya membawa kita melihat bagaimana seharusnya kesadaran akan keberadaan Tuhan dan iman akan Tuhan itu begitu penting dalam kehidupan manusia secara umum. Orang percaya sejati adalah orang-orang yang memiliki cara pandang from above memandang dunia ini.

Pengkhotbah 3:11-13 mengajarkan kita Bagaimana seharusnya seseorang itu melihat kehidupan ini?” Ada dua cara pandang untuk kita melihat kehidupan yaitu:
(1) hidup sebagai pencapaian manusia
(2) hidup sebagai pemberian ilahi. 

Banyak sekali ajaran dunia termasuk juga yang disajikan Pengkhotbah memandang hidup kita dan segala yang kita dapatkan 100 % usaha kita. Pandangan ini menekankan bahwa kehidupan kita bukan urusan orang lain tetapi kita sendiri: keberhasilan, kebaikan dan segala pencapaian adalah urusan dan tanggung jawab kita 100 % (tanpa ada campur tangan Allah). Bagaimana dalam kekristenan? Tidak sedikit cara pandang seperti ini mempengaruhi kekristenan bahwa pencapaian manusia itu penting dalam kekristenan: mentaati semua Firman Tuhan itu bukan urusan orang lain tetapi urusan dan tanggungjawab kita.

Alkitab mengajarkan agar kita menghayati kehidupan sebagai pemberian ilahi. Hidup ini bukanlah pencapaian saya tetapi pemberian Allah. Dalam bagian ini terdapat beberapa pemberian Allah. Pertama, kekekalan dalam hati manusia (ayat 11). “Kekekalan dalam hati” seperti kesadaran waktu yang terus-menerus berlangsung. Kesadaran akan waktu pada manusia sangat kuat dibandingkan dengan hewan dan tumbuhanKesadaran waktu ini bukan hanya kesadaran waktu secara matematis namun sampai pada hal-hal bersifat eksistensial seperti kesadaran waktunya akan berakhir (kematian) maupun kehidupan yang panjang. Kesadaran waktu sebagai pemberian Allah sering kali kita anggap remeh sehingga kita melalaikan waktu hidup kita. Sikap yang tepat terhadap kesadaran waktu membuat kita lebih bijak menjalani hidup kita. Alkitab mengajarkan kita hidup seturut dengan Tuhan dan sesuai dengan waktu yang Dia berikan kepada setiap kita. Jika kita tidak bisa menghitung hari maka hari itu berlalu saja tanpa makna. Karena waktu itu pemberian Allah yang sangat penting dan berharga maka seharusnya kita tidak menyia-nyiakan waktu kita. Musa berkata: Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana (Mazmur 90:12)Orang orang yang terus menghayati kehidupannya dalam waktu yang Tuhan berikan adalah orang-orang yang bijaksana. Tidak ada orang bijaksana yang berkata bahwa waktu itu tidak terasa dan berlalu begitu sajaPemberian Tuhan kepada manusia yang begitu besar dan bernilai namun sering kita anggap remeh yaitu waktu.

Kedua, sukacita, bersuka-suka menikmati hidup (Ayat 12)Kesukacitaan ketika kita menjalankan hidup adalah pemberian Allah. Kadang ada orang yang tertentu melihat kehidupan begitu pesimis dan menyedihkan sampai mengatakan lebih baik bagi manusia itu tidak dilahirkan atau mati muda. Tidak jarang dalam perjalanan hidup kita ada masa dimana kita pernah melihat hidup itu tanpa kesukaan dan dengan kacamata yang murung, tanpa senyum dan tawa. Alkitab mengatakan bersukacita adalah pemberian Allah. Menikmati kehidupan adalah pemberian Allah. Artinya hidup ini harus kita jalani dengan sukacita. Hidup ini harus kita rayakan bukan dalam dosa tetapi dalam anugerah Allah. Hidup itu bukan dengan perhitungan tetapi perayaan. Cara pandang hidup yang benar bagi orang Kristen adalah bagaimana kita melihat kehidupan ini dengan bersuka didalamnya, menikmati tanpa perhitungan. Tuhan Allah itu sumber hidup maka hidup itu hanya dari Allah sedangkan dosa itu lawan dari hidup, dosa membawa kita kepada kematian. Rancangan Allah yang sejati adalah sukacita dan kebahagiaan sejati di dalam Dia. “Rancangan dosa membawa kita kepada kematian. Bagaimana kita menghidupi kehidupan kitaLebih banyak muram atau senyum?  Pemberian Allah yaitu hidup untuk merayakan kehidupan itu sendiri.

Ketiga, menikmati kesenangan di dalam hidup: kesenangan yang baik, tepat dan benar (Ayat 12)Sesuatu yang baik merupakan sesuatu yang tepat dan harus kita kita nikmati. Hal yang seharusnya kita nikmati dalam hidup mencakup hal-hal intelektual dan etis. Kita harus menikmati pengetahuan yang baik khususnya akan kebenaran Firman TuhanSalah satu pemberian Allah pada kita adalah untuk menikmati pengenalan akan Allah dan kebenaran-Nya yang Ia berikan kepada kita. Selain itu, Tuhan Allah memberikan kita juga untuk dapat menikmati perbuatan baik. Tuhan ingin kita menikmati segala perbuatan baik yang bisa kita alami secara pribadi atau bersama. Kita harus menikmati segala perbuatan baik secara etis seperti hal-hal kesopanan. Ketika kita memberi senyum kepada orang lain dan menerima tegur sapa dari orang lain merupakan suatu pemberian Allah yang harus kita nikmatiDemikian pula sapaan yang kita berikan kepada orang lain ini bisa menjadikan motivasi orang lain. Sapaan merupakan suatu kenikmatan hidup yang harusnya kita berikan kepada orang lain. Kenikmatan hidup itu tidak harus berupa materi, justru ada orang lain yang menyapa kita dengan lembut mempunyai kenikmatan tersendiri yang tidak akan tergantikan yang lebih mahal dari pada makanan yang kita berikan yang bisa dimakan lalu habis.

Keempat, menikmati kesenangan dalam jerih payah (Ayat 13)“Jerih payah cenderung dipandang sebagai usaha dan tanggung jawab kita sendiri. Alkitab mengatakan segala jerih payah  itu adalah pemberian Allah. Artinya segala letih lesu yang kita alami di dalam perizinan Tuhan sebagai pemberian dari-Nya. Tuhan izinkan saya berlelah-lelah untuk dapat bekerja sehingga dapat makan dan minum, semuanya itu adalah pemberiaan Allah bukan usaha kita sedikitpun. Hidup ini bukan tentang menikmati kegunaan saja, tetapi menikmati kenikmatan itu sendiri. Pada waktu kita makan kita bukan makan hanya untuk kenyang tetapi kita makan untuk enak juga. Kita tidak bersalah ketika kita menikmati apa yang Tuhan berikan melalui jerih lelah yang Tuhan izinkan untuk kita alami. Jika kita melihat secara keseluruhan yang lebih luas di dalam Alkitab maka ketika kita nanti di surga adalah menikmati segala kemuliaan Allah. 

Hidup orang Kristen yang sejati bukanlah tentang hidup pencapaian tetapi hidup yang penuh dengan pemberian Allah. Ketika kita menyadari bahwa kita hidup dari pemberian Allah maka kita seharusnya tidak meremehkan dan menyia-nyiakan hidup iniSegala hidup Kristen adalah hidup yang penuh dengan pemberian Allah dan orang Kristen yang sejati adalah orang yang mampu melihat betapa berharganya pemberian Tuhan itu. Dietrich Bonhoeffer menyatakan ” Anugerah Allah itu gratis tetapi tidak murahan”. Sering kali kita menanggapi pemberian Allah dalam hidup kita sebagai pemberian murahan. Orang Kristen sejati adalah orang Kristen yang menyadari bahwa segala sesuatu dalam hidupnya bukan pencapaian manusia tetapi pemberian Allah yang gratis namun tidak murahan. Pemberian Allah yang paling puncak adalah Diri-Nya sendiri. Demikian pula pemberian kita yang paling puncak dalam relasi antar sesama adalah diri kita sendiri. Allah telah memberikan Diri-Nya untuk datang ke dunia dan mati di salib. Kita sering kali memanfaatkan kehadiran Allah ini untuk jalan masuk ke surga tetapi kita lupa untuk menikmati keindahan relasi di dalam Tuhan. Tuhan Yesus mengatakan Aku datang untuk memberikan hidup yang berkelimpahan” (Yohanes 10:10). Mari kita merenungkan kembali hidup kita dan mampu melihat bahwa hidup ini sebenarnya adalah pemberian Allah yang tidak seharusnya kita anggap remeh tetapi dengan sikap yang benar melihat betapa bernilainya pemberian Allah itu dalam hidup kita.