Senin, 27 Juli 2015

Tuhan adalah Naunganmu (Maz. 121:5)

Secara struktur mazmur ini bisa dibagi menjadi: 1-2, 3-5, 6-8. Bagian tengah (3-5) yang diapit oleh awal dan akhir bisa dimengerti sebagai bagian pokok pikiran (inti) dari pesan mazmur ini. Ini sebenarnya bukan pola mazmur 121 saja, kita bisa menemukan banyak pola yang serupa di mazmur yang lain. Pada bagian tengahnya seolah membunyikan kembali doa berkat Bil. 6:24-26,

TUHAN memberkati engkau dan melindungi engkau;
TUHAN menyinari engkau dengan wajah-Nya dan memberi engkau kasih karunia;
TUHAN menghadapkan wajah-Nya kepadamu dan memberi engkau damai sejahtera.

Tidak mengherankan karena memang mazmur ini disampaikan dalam konteks perjalanan ibadah (ziarah). Hal ini dikonfirmasikan lagi oleh bagian awal yaitu “gunung-gunung.” Tentu ini merupakan suatu ungkapan simbolis. Dimana gunung-gunung dimengerti sebagai tempat pewahyuan (revelation) dan penyembahan (worship). Ini konsep yang sangat common (umum dan universal) dalam kepercayaan atau agama dunia. Manusia cenderung hormat dan kagum bahkan menyembah hal-hal yang disebut oleh Rudolf Otto sebagai Mysterium Tremendum. Melihat gunung maka kita melihat kekuatan (aspek tremendum) dan kemisteriusan (aspek mysterium). Kekuatannya begitu nyata yang mampu memberi kehidupan juga kematian. Ketika lava keluar maka tanah-tanah yang terkena lava tersebut menjadi tanah yang subur walaupun memakan waktu yang cukup panjang. Namun dalam waktu itu terjadi maka lava itu menghancurkan apa yang ada di sekitarnya. Kita bisa melihat dari sejarah, gunung-gunung yang dipandang sakral karena kekuatannya memberi kehidupan dan kematian:

1. Gunung Toba
73.000 tahun silam menimbulkan dampak dahsyat luar biasa hingga memusnahkan keberadaan kawasan hutan di anak benua India yang letaknya terpisah sejauh 3.000 mil dari pusat letusan yang kini menjadi danau Toba.

2. Gunung Laki
Laki adalah sebuah gunung api di Islandia yang legendaris yang telah tertidur sejak letusan terakhirnya yang sangat dahsyat di tahun 1783 menyebabkan kerusakan di seluruh negara ketika secara spektakuler meletus, membunuh di atas 50% populasi makhluk hidup di Islandia dengan awan belerang dan fluorine beracunnya. Kelaparan menjadi penyebab matinya 25% populasi tersebut. Air mancur lahar memancar hingga 1.400 meter tingginya. Seluruh dunia merasakan akibat dari letusan tersebut. Awan beracun menyebar hingga ke Eropa, menutupi langit belahan bumi bagian utara yang menyebabkan musim dingin datang lebih awal di Inggris dan membunuh 8.000 orang. Di Amerika Utara, musim dingin 1784 menjadi musim dingin terpanjang dan paling dingin yang pernah tercatat. Ada catatan lebih banyak salju di New Jersey, sungai Mississippi membeku di New Orleans, dan di ditemukan es di Teluk Mexico!.

3. Gunung Vesuvius
Gunung api ini menyebabkan kematian hingga 25,000 nyawa. Ketika Vesuvius dengan letusan yang maha dahsyat di tahun 79 SM, sepenuhnya telah menguburkan kota Pompeii di bawahnya dengan memuntahkan ‘isi perutnya’ selama 20 jam nonstop. Sejak itu, gunung api ini meletus lusinan kali dan terakhir pada tahun 1944 beberapa desa didekatnya telah dibinasakan.

4. Gunung Tambora
Tambora adalah gunung api aktip dari 130-an gunung api yang yang ada di Indonesia. Gunung raksasa setinggi 4,300 meter telah ‘melakukan’ serangkaian ledakan dari April hingga Juni di tahun 1815 dan mengguncangkan dunia dengan after-effect-nya yang mengubah stratosfir dan menyebabkan kelaparan yang buruk hingga ke US dan Eropa pada abad ke 19. Secara keseluruhan, lebih 71,000 orang tewas karena terbakar, kelaparan ataupun keracunan.

5. Gunung Krakatau
Krakatau adalah pulau vulkanis yang still-dangerous, terletak di Selat Sunda, Indonesia. Agustus 1883, sebuah rangkaian ledakan dahsyat yang mengerikan dengan kekuatan 13,000 kali lebih besar dari bom Hiroshima. Ledakannya terdengar hingga ke Perth, Australia. Muntahan lebih dari 21 kilometer kubik batu dan debu membumbung hingga setinggi 70 mil. Secara resmi, lebih dari 37,000 orang tewas. Namun dengan tsunami yang ditimbulkannya, korban sepertinya bisa lebih besar lagi.

6. Gunung Pelee
Gunung api yang terletak di Martinique, kini menjadi tujuan wisatawa di Perancis yang populer untuk mengenang bahwa sesuatu yang sangat mematikan telah terjadi di sini. Pada tahun 1902, sebuah letusan yang terbesar di abad 20 terjadi di sini dan menewaskan lebih dari 30,000 orang.

7. Gunung Ruiz
Nevado Del Ruiz, Kolumbia, dikenal karena laharnya yaitu mudflow atau longsoran yang terdiri atas air dan material pyroclastic yang mengalir dan mematikan . Di tahun 1595, 635 orang terbunuh setelah lumpur yang yang mendidih seperti dituangkan ke dalam sungai Guali dan Lagunillas, dan di tahun 1845 lebih dari 1,000 orang tewas. Di tahun 1985, sebuah letusan telah mengalirkan lahar dengan kecepatan 40 mil per jam dan mengubur kota. Lebih dari 23,000 orang tewas.

8. Gunung Unzen
Unzen yang terdiri dari beberapa lapis stratovolcanoes terletak di daerah Kyushu, Jepang. Gunung api setinggi 1,500 meter ini masih aktip hingga kini. Pada tahun1792 beberapa kubah lahar roboh, menyebabkan tsunami yang membunuh lebih 15,000 orang. Sebuah letusan terbaru di tahun 1991 telam membunuh lebih dari 40 orang dan menyebabkan kerusakan luar biasa pada bangunan-bangunan disekitarnya.

9. Gunung Kelud
Sejak abad ke-15, Gunung Kelut telah memakan korban lebih dari 15.000 jiwa. Letusan gunung ini pada tahun 1586 merenggut korban lebih dari 10.000 jiwa. Sebuah sistem untuk mengalihkan aliran lahar telah dibuat secara ekstensif pada tahun 1926 dan masih berfungsi hingga kini setelah letusan pada tahun 1919 memakan korban hingga ribuan jiwa akibat banjir lahar dingin menyapu pemukiman penduduk.

10. Gunung Papandayan
Papandayan adalah sebuah gunung api semi-aktif yang terletak di pulau Jawa, Indonesia. Pada 1772, gunung api ini meletus menghancurkan 40 desa di dekatnya. Lebih dari 3,000 orang terbunuh. Gunung api ini diperkirakan masih sangat berbahaya dan terus mengeluarkan asap dan letusan-letusan di tahun 1923, 1942, dan terus meningkatkan kekuatannya di tahun 2002.

11. Gunung Lamington
Lamington adalah gunung api dengan ketinggian 1,680 meter yang terletak di Papua New Guinea. Sialnya hingga tahun 1951, penduduk setempat di Provinsi Oro ini mengira gunung tersebut hanyalah gunung biasa yang ditumbuhi pepohonan. Hingga suatu malam pada 18 Januari, lahar dan asap mulai untuk keluar dari puncaknya, dan tiga hari kemudian, sebuah ledakan sangat besar dari sisi utara, menyebabkan langit ditutupi debu tebal dan gerimis magma bercampur uap sulfur. Dalam beberapa bulan kemudian getaran dan letusan terus berlanjut hingga radius 10 mil. Ledakannya menyebabkan total hampi 3,000 kematian.

Daftar di atas (terlepas dari perdebatan waktu kejadian) merupakan contoh-contoh gunung menyatakan kekuatan dan kemisteriusannya. Gunung seperti menjaga keseimbangan bumi. Kalau meletus maka dampaknya begitu luar biasa bahkan sampai ke tempat yang jauh dari gunung tersebut. Hal tersebutlah yang seringkali menjadikan gunung itu sakral. Seperti beberapa waktu lalu, seorang yang baru saja datang dari gunung Rinjani di Lombok bercerita bahwa ia melihat suatu ritual dijalankan oleh penduduk setempat. Mereka chanting dan bermusik sebagai wujud penyembahan. Selain itu juga melemparkan koin bahkan emas potongan kecil (mis. ikan kecil) ke danau yang ada di atas gunung Rinjani. Banyak lagi cerita seperti ini kita bisa dapatkan. Termasuk ketika seseorang ingin mencari ilham ilahi atau dari penguasa gaib. Dimana mereka bertapa dan berpuasa dalam waktu tertentu. Sampai seolah mendapat petunjuk ilahi.

Gunung menjadi tempat pewahyuan dan penyembahan. Sebenarnya juga dinyatakan dalam alkitab. Contohnya Tuhan berfirman kepada Musa di gunung Sinai. Tapi perlu diingat bahwa yang mysterium tremendum bukanlah gunungnya tapi ada Pribadi yang berfirman yaitu Tuhan. Karena itulah, pemazmur mengungkapkan bahwa pertolongannya datang bukan dari gunung-gunung yang dipandang sebagai mysterium tremendum. Tapi dari Tuhan yang mencipta segala yang ada termasuk gunung-gunung tersebut. Ini merupakan ungkapan iman yang luar biasa. Pemazmur bukan menyandarkan kekuatan pada apa yang kelihatan secara kasat mata, tapi apa yang kelihatan melalui mata iman.

Demikian juga, seringkali kita menyandarkan pada hal-hal yang kelihatan mempunyai kekuatan dan kemisteriusan. Mungkin masih ada orang Kristen yang percaya pada hal-hal sakral dari gunung-gunung. Pasti ini adalah suatu hal yang salah. Karena alkitab menyatakan bukan gunung yang penting tapi tempat itu sakral karena Tuhan hadir dan berfirman. Tuhan Allah sejati tidak terkunci atau terikat di satu gunung tertentu (mis. gunung Sinai). Tuhan Allah sejati mengatasi segala ciptaan. Dia Maha Hadir. Dia menyatakan diriNya kepada siapa Dia mau, dimana pun dan kapan pun.

Tapi bagi kita yang tidak percaya akan gunung yang sakral, bisa saja kita terikat dengan gunung-gunung sandaran hidup kita. Entah harta kekayaan kita yang menjadi sandaran pertolongan kita. Kita begitu bergantung pada harta kekayaan sehingga tanpanya kita tidak bisa hidup. Entah kepandaian kita yang membuat kita yakin bisa mencapai kebahagiaan hidup. Kita begitu bergantung pada kepandaian kita sampai lupa bahwa Tuhan jauh lebih pandai daripada kita. Dan Dia jauh lebih tahu apa yang terbaik bagi kita daripada diri kita sendiri. Entah juga kehormatan atau nama baik kita, sehingga orang lain segan dan takut dengan kita. Yang membuat kita bahkan kompromi terhadap dunia demi nama baik kita sendiri. Apakah gunung-gunung sandaran hidup kita?

Dari semua itu, pemazmur mengatakan dari Tuhan-lah datang pertolongannya.

Ini merupakan ungkapan iman terhadap providensia Allah (harafiah berarti “melihat segala sesuatu sebelumnya” atau “menyediakan untuk”) yaitu bagaimana Tuhan menyatakan pemeliharaan dan perlindunganNya atas ciptaanNya terlebih lagi umatNya. Namun yang menarik, ungkapan iman ini muncul bukan ketika lepas dari suatu kejahatan dan penderitaan. Tidak ada dijelaskan kejahatan dan penderitaan dalam Mazmur 121. Malahan dituliskan bahwa konteks saat itu adalah dalam perjalanan ibadah. Dengan kata lain, dalam suatu hal yang rutin atau keseharian dijalani. Dalam keadaan demikian pun pemazmur menyatakan bahwa sandaran hidupnya hanyalah Tuhan, the one and only.

Dasar iman ini dari janji Tuhan seperti dalam Bil. 6:24-26, yang salah satunya diungkapkan: “Tuhanlah naunganmu di sebelah tangan kananmu” (ayat 5). Kita bisa bandingkan dengan Ratapan 4:20 dan Maz. 110:5. Ini merupakan ungkapan puitis yang begitu indah yang diungkapkan bukan hanya saat kejahatan dan penderitaan menimpa tapi saat melakukan suatu hal yang “rutin” dalam keseharian. Dalam keadaan demikian, pemazmur tetap menyatakan bahwa dirinya helpless dan bersandar pada Tuhan Allah Pencipta dan Penebus. Kesadaran self-helplessness ini sangat sulit untuk kita sadari setiap hari. Kesadaran itu muncul hanya saat kita mengalami kejahatan dan penderitaan. Tetapi alkitab mengajarkan pada dasarnya manusia itu lemah, terbatas dan helpless. Manusia tidak bisa menyangkali hal ini. Yang sering menjadi masalah adalah kepada apa atau siapa manusia menyandarkan hidupnya. Ada begitu banyak gunung-gunung sandaran hidup manusia. Tapi hanya ada satu Pribadi yang mampu dan layak sebagai sandaran hidup kita yaitu Tuhan Pencipta dan Penebus kita. 

Kamis, 23 Juli 2015

Iman Yang B'ri Menang (Faith Is The Victory)


Lirik  : John H. Yates (1837-1900) 
Musik : Ira D. Sankey (1840 - 1908)

John Henry Yates lahir pada 21 November 1837, di Batavia, New York. Tidak ditemukan catatan hidup masa kecilnya. Tapi ketika ia dewasa, ia bekerja di beberapa bidang seperti menjadi editor Koran, penjual sepatu, dan hardware store manger. Dia ditahbiskan menjadi hamba Tuhan di gereja Metodist pada 1886, dan kemudian menjadi pendeta di Gereja Baptis. Salah satu warisannya bagi gereja sampai sekarang yaitu lagu Iman Yang B’ri Menang. Yang mana lagu ini berdasarkan pada 1 Yohanes 5:4, “Sebab semua yang lahir dari Allah, mengalahkan dunia. Dan inilah kemenangan yang mengalahkan dunia: iman kita.”

Penulis melodi dari lagu ini yaitu Ira David Sankey. Ia lahir pada 1840 di Edinburg, Pennsylvania, dari pasangan suami istri Metodist yang sangat mengasihi Tuhan. Ia begitu menikmati masa kecilnya yang mengalami musim dingin yang panjang dan duduk di perapian rumah. Saat itulah ia bersama keluarganya bersekutu, bernyanyi hymn dan merenungkan firman Tuhan bersama. Ira belajar music pada umur 8 tahun dan bisa menyanyikan lagu hymn gereja tanpa salah. ia mengikuti sekolah minggu setiap minggu dan sangat mencintai hal-hal bersifat rohani. Pada umur 16 tahun, ia mengkomitmenkan hidupnya bagi Kristus di suatu kebaktian rohani yang ia hadiri kira-kira 3 mil dari rumahnya, Kings Chapel. Kira-kira setahun kemudian, keluarganya pindah ke New Castle, Pennsylvania, dan mereka pun aktif di gereja metodist di sana. Ira mendapatkan pendidikan di sekolah yang baik karena memang ayahnya merupakan president dari suatu Bank sehingga bisa membiayai sekolahnya. Namun ia tetap sadar bahwa semuanya itu adalah berkat dari Tuhan atas keluarganya. Ia pun menyerahkan dirinya untuk melayani Kristus. Walaupun ada suatu kesempatan dimana ayahnya menawarkan ia jabatan di Bank setelah lulus sekolah. Tetap konsentrasi dan fokus utamanya yaitu melayani. Sehingga di gereja pun ia aktif menjadi koordinator sekolah minggu dan pemimpin paduan suara. Sebelumnya, gerejanya tidak mengijinkan adanya alat musik di gereja. Ia dan rekan-rekannya memperjuangkan agar alat musik seperti organ, piano dan lainnya bisa dipakai dalam ibadah gereja. 

Pada umur 23 tahun, ia menikah dengan Fanny V. Edwards yang merupakan anggota paduan suaranya dan salah seorang guru sekolah minggu. Mereka mempunyai 3 anak laki-laki. Ira juga dikenal sebagai penyanyi gereja dengan suara yang bagus. Ia menerima ribuan undangan bernyanyi baik di kebaktian rohani, konvensi, suatu pertemuan-pertemuan besar lainnya. Ira begitu diberkati sejak kecilnya, remaja dan kehidupan keluarganya namun ia belum melihat apa rencana besar Tuhan dalam hidupnya. Sampai suatu ketika ia mendengar ada seorang hamba Tuhan bernama Dwight L. Moody yang terus mengadakan kebaktian kebangunan rohani dimana-mana. Ia mendapat kesempatan untuk menghadiri salah satu kebaktian kebangunan rohani tersebut di Indianapolis, Indiana. Disitulah ia bertemu dengan Pendeta Moody. Saat itu ia diberikan kesempatan melayani dengan memimpin suatu pujian. Suasana kebaktian pun begitu luar biasa menjadi lebih hidup dan setiap jemaat yang hadir siap menyambut firman Tuhan. Di hari berikutnya, Pdt. Moody bertemu dengan Ira dan menawarkan dia untuk menjadi pemimpin pujian dalam kebaktian rohaninya dimana pun di seluruh dunia. Ira baru menjawab panggilan tersebut 6 bulan kemudian. Pelayanan pertamanya sesudah itu di Chicago. Ia yang saat itu berumur 30 tahun (pada tahun 1870) pun melepas pekerjaannya sebelumnya dan fokus pelayanan bersama Pdt. Moody. Ia melayani bersama tim penginjilan tersebut sampai Pdt. Moody meninggal 29 tahun kemudian. Ia tidak menulis lirik lagu seperti dikerjakan oleh Fanny Crosby dan Phillip Bliss, tapi ia menuliskan melodi-melodi indah ribuan hymn dari penulis lagu tersebut. dan lagu ini merupakan salah satu lagu yang menjadi berkat bagi kita semua yang mana salah satu lagu yang dinyanyikan pada saat pemakamannya.


Rabu, 01 Juli 2015

David Brainerd: "Sorgaku, MenyenangkanMu" (2)

Cabang Sungai Delaware (1744-45)
Pada tahun 1744, ia pernah setidaknya 2x (gereja atau lembaga yang berbeda) diminta menjadi hamba Tuhan di Sheffield, Massachusetts dengan jaminan yang begitu besar. Namun ia memutuskan untuk kembali ke ladang misi kepada suku Indian. Ini merupakan ladang misinya yang baru dari lembaga misi sebelumnya. Ia memasuki pedalaman begitu jauh dari tanah kelahirannya itu sendirian. Saat itulah ia mengingat bahwa banyak juga anak-anak Tuhan yang pernah melakukan perjalanan yang begitu jauh sedemikian demi injil. Dan di alkitab sendiri, Abraham juga diutus Tuhan untuk pergi ke tempat ia tidak mengetahuinya. Ini menjadi penghiburan baginya. Di daerah misi yang baru ini, orang Indian hidup berpencar-pencar. Ini juga yang menjadi tantangan pelayanannya sehingga ia pergi ke beberapa tempat ketika pelayanan karena tidak bisa mengumpulkan di satu tempat. Selain itu, semangatnya sempat kendur karena belum menemukan penterjemah tapi ia terus melayani. Ia tetap menjaga disiplin rohaninya seperti berdoa dan bersaat teduh setiap harinya.

Pada juni 1744, koresponden yang mengutus Brainerd memutuskan untuk mentahbiskannya. Ia berkuda 2 hari lamanya ke Newark dimana pentahbisannya akan dilaksanakan. Sebelum ditahbiskan ia harus mengikuti ujian lalu kotbah dari ayat yang ditetapkan yaitu Kis. 26:17-18, ujian lagi tentang pengenalan praktis kekristenan dan kotbah saat pentahbisan. Ia pun akhirnya ditahbiskan. Pada 24 juni, tubuhnya begitu lemah dan hampir tidak sanggup berjalan namun ia tetap kembali melayani di antara Indian di Cabang Sungai Delaware.

Semakin ia melayani, semakin besar kerinduannya agar Kristus menegakkan kerajaanNya di tengah orang Indian. Keberadaan rakyat dalam kebutaan rohani dan kemerosotan moral justru memperkuat tekadnya untuk berjuang demi keselamatan mereka. Pada 6 juli 1744, Ia menuliskan: “Tahun lalu, saya rindu untuk bersiap-siap masuk ke dalam alam kemuliaan dan cepat-cepat meninggalkan dunia ini; tetapi belakangan ini segenap pemikiran saya tertuju kepada pertobatan orang kafir dan untuk tujuan ini saya ingin tetap hidup.” Pada 21 juli, “ saya rindu sekali agar Tuhan mendapat nama bagi diriNya di antara orang kafir. … saya tidak memiliki konsep tentang sukacita dari dunia ini; saya tidak peduli diman atau bagaimana saya hidup, atau penderitaan apa yang harus saya alami, asalkan saya dapat memenangkan jiwa-jiwa bagi Kristus.”

Dalam pelayanan ini juga ia sering berhadapan dengan para guru-guru kepercayaan dikenal sebagai powwow. Mereka dipercaya memiliki kuasa-kuasa gelap dan ajaran-ajaran yang jauh dari kekristenan. Ini merupakan peperangan rohani yang dihadapi Brainerd. Namun tetap ia bersandar pada keyakinan besar akan kuasa Allah. Bersandar pada kuasa Allah tidak berarti ia diam saja. Tapi ia terus melakukan berbagai hal supaya orang Indian bertobat khususnya doa. Karena pertobatan adalah sesuatu yang di luar kuasa manusia dank arena hanya Allah saja yang sanggup melaksanakan pekerjaan ini, ia bergumul berjam-jam dalam permohonan syafaat. Ia terbiasa berdoa sendiri di hutan dan memohon agar Allah menyatakan anugerah keselamatan kepada orang Indian. Namun sampai tahun terakhir misinya yaitu 1745, ia belum memenangkan satu petobat pun. Walaupun memang banyak orang Indian mulai meninggalkan ritual-ritual kepercayaannya dan bahkan dengan serius dan berkaca-kaca mendengarkan kotbahnya tentang Kristus. Saat inilah ia mulai menganggap dirinya sebagai beban dari lembaga misinya. Ia mempertimbangkan untuk mengundurkan diri bila tidak juga mempertobatkan orang Indian pada misi berikutnya.

Crossweeksung (1745-46)
Di tahun inilah banyak pertobatan dari orang Indian melalui pelayanannya. Seperti seorang perempuan yang sakit bersalin, ia sudah menanti-nantikan begitu lama akan peristiwa pertobatan dari orang Indian. Ia keluar menabur benih yang mahal sambil menangis dan sekarang ia pulang dengan bersorak-sorai sambil membawa berkas-berkasnya. Pada periode inilah bisa dikatakan pelayanannya paling berhasil mempertobatkan orang Indian. Banyak orang Indian yang bertobat dan mau menjadi pengikut Kristus di Crossweeksung.

Ia tiba di crossweeksung pada 19 juni 1745. Ini pun tempatnya sangat terpencar. Bedanya mereka sangat terbuka untuk mendengarkan injil yang disampaikannya. Mereka serius dan penuh minat dan tidak cenderung menentang dan mencari-cari kesalahan sebagaimana dilakukan oleh orang Indian di tempat lain. pendengar pertamanya terdiri dari para wanita dan anak-anak. Mereka begitu tertarik hingga menempuh perjalanan 15 mil dalam satu hari untuk menceritakan pada orang-orang lain mengenai pria kulit putih yang menyampaikan tentang injil Kristus ini. Gerakan ini seperti api yang menjalar sampai ke setiap penjuru. Tiga hari sesudah kedatangannya ada sekitar 30 orang datang. Ketika 2 juli ia harus kembali ke Cabang Sungai Delaware, banyak mereka yang sangat mengharapkan kedatangannya kembali. Dan ia pun berjanji akan datang kembali mengajarkan tentang Kristus di Crossweeksung.

Ketika kembali ke Cabang Sungat Delaware, ia melihat buah-buah sulung dari tuaian diantara orang Indian. Roh Allah bekerja dengan nyata dan hasil jerih lelah selama 2 setengah tahun mulai muncul.  Ini dimulai dari seorang petobat bernama Moses Finda Fautaury yakni sebagai penterjemah Brainerd. Ia bertobat pada agustus 1744, dimana penyesalannya begitu kuat atas dosanya dan sampai menyadari bahwa tidak ada seorang manusia pun yang bisa menolongnya. Ia menyadari bahwa hanya Allah yang mampu menolongnya, ia pun menjadi seorang Kristen.

Dari juli sampai dengan agustus 1744, sekembalinya ia ke Crossweeksung, ia melihat bagaimana Tuhan menyatakan anugerahnya mempertobatkan orang-orang Indian yang dilayaninya. Banyak orang Indian seperti tertusuk anak panah dari Yang Mahakuasa dan menangis untuk memohon pengampunan. Pertobatan mereka seperti air bah yang begitu deras menerjang dan tak terbendung. Ada seorang wanita Indian setelah mendengar kotbah, ia terbaring sambil berseru: “Guttummaukalummeh wechaumeh kmeleh Ndah” berarti “Kasihanilah aku dan tolong aku untuk memberikan hatiku padaMu.” Brainerd mengatakan ini merupakan manifestasi kuasa Allah yang cukup untuk meyakinkan seorang atheis akan kebeanran dan kuasa dan pentingnya firman Allah. Pada 25 agustus, ia membaptiskan banyak orang Indian yang bertobat tersebut. Sejak itulah sungguh-sungguh nyata pemeliharaan Tuhan atas umatNya. Banyak orang Indian setiap kali mendengarkan kotbah Brainerd yang terus terdorong untuk mohon ampun dan hidup suci. Siapa yang dapat membayangkan bahwa suatu daerah yang prospeknya begitu buruk, tempat iblis bersemayam dapat berubah menjadi ajang pencurahan air mata pertobatan dan kasih kudus? Nubuat Yesaya 41:18-20 digenapi di daerah liar New Jersey.

Dari sini kita dapat belajar empat karakteristik dari kebangunan rohani:
1. Berasal dari sumber ilahi. Brainerd pernah mengatakan: “saya rasanya tidak berbuat apa-apa, dan memang tidak ada yang bisa diperbuat kecuali berdiri tetap dan melihat keselamatan dari Tuhan, … tampaknya Allah bekerja sendirian dan saya rasa tidak ada alasan untuk menganggap pekerjaan ini berasal dari manusia.”
2. Bersifat rasional. Dimana tidak terdapat fenomena seperti orang yang kejang tubuh, pingsan dan lain-lain. Orang Indian yang bertobat memiliki kesadaran akan kefasikan hati dan perbuatan mereka dan takut akan murka Allah. Hanya sedikit yang memang mengalami gangguan mentap seperti penglihatan, kerasukan dan imajinasi. Yang menggugah mereka adalah doktrin mengenai kerusakan manusia dan perlunya kelahiran kembali dan keutamaan Kristus.
3. Kebangunan rohani ini praktis dalam perwujudannya. Orang yang bertobat sungguh menyatakan perubahan hidup dalam keseharian mereka.
4. Berdampak permanen. Orang-orang yang sudah menjadi Kristen tersebut tetap menjadi Kristen ketika ia harus meninggalkan mereka karena kesehatan yang memburuk. Pelayanannya kemudian diteruskan oleh John, saudaranya.

Daerah Susquehanna (1744-46)
Pelayanan di Daerah Susquehanna dilakukan pulang pergi ke Cabang Sungai Delaware, kadang ia juga kembali ke Crossweek. Pada 2 Oktober 1744, dia memulai perjalanannya bersama Moses Finda Fautaury (penterjemahnya), 2 orang Indian dan James Byram, seorang pendeta. Mereka pergi ke Daerah Susquehanna. Ini merupakan perjalanan yang paling sulit dan berbahaya. Mereka harus melewati gunung-gunung yang tinggi, ngarai-ngarai yang dalam, dan bukit batu terjal. Di tengah perjalanan kaki kuda yang dinaikinya patah, dan terpaksa membunuhnya karena tidak ada tempat atau rumah terdekat untuk dijadikan tempat istirahat. Ia pun melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Hingga malam tiba, mereka belum menemukan perumahan untuk istirahat maka mereka beristirahat di atas tanah dan tidur dengan tenang di tengah dinginnya malam. Atas kemurahan dan perlindungan Allah mereka dapat terus melanjutkan perjalanan hingga ke ladang misi. Mereka sampai di Opeholhaupung dimana terdapat 12 rumah orang Indian. Mereka pun menyampaikan injil Kristus. Orang Indian bersemangat mendengarkan dan juga mau mengajukan keberatan akan injil tersebut. Ketika Brainerd harus pergi, orang Indian tersebut ingin kemblai mendengarkan pengajarannya akan injil Kristus. Ketika ia kembali lagi, ia pergi juga ke perkampungan yang lain sehingga injil Tuhan semakin tersebar. Yang terakhir yaitu Shaumoking. Mereka diterima ramah di sini namun mereka kesulitan dalam bahasa. Selain itu, orang Indian di sini begitu memperihatinkan bagi Brainerd karena mereka masih saja melakukan tarian dan pesta-pesta penyembahan berhala. Ditambah lagi orang kulit putih yang berdiam dekat tempat tersebut menjual minuman keras kepada mereka sehingga banyak dari mereka menjadi pemabuk. Setelah 2 minggu melayani di tempat ini dengan penuh tekanan demikian, akhirnya ia kembali pulang ke tempat pelayanan lainnya.

Di Crossweek, ia melayani di gereja yang kebanyakan orang Indian dan semakin hari semakin banyak. Ia pun mulai memikirkan tentang pelayanan misinya. Ia memikirkan bagaimana jikalau ia berkeluarga dan melayani di tempat yang tetap yaitu Crossweek. Sampai suatu ketika ia mengambil keputusan sebagaimana dicatat dalam buku hariannya:

“Namun kini pemikiran-pemikiran ini (untuk menetap dll) hancur berkeping-keping, bukan dengan paksa, melainkan dengan pilihan sukarela; sebaba saya merasa bahwa Allah telah bekerja dalam hidup saya untuk mempersiapkan saya untuk hidup dalam kesendirian dan penderitaan dan bahwa saya tidak akan kehilangan apa-apa dalam hal yang terkait dengan dunia, jadi saya tidak rugi apa pun bila saya melepaskan semua keinginan itu. Bagi saya adalah baik bila saya miskin, tanpa rumah dan keluarga dan tanpa kenyamanan hidup yang dinikmati umat Allah yang lain untuk mana saya bersukacita bagi mereka. Namun, bersamaan dengan ini saya melihat begitu banyak dari kemuliaan kerajaan Kristus dan begitu kuat kerinduan untuk memperluasnya di dunia sehingga hal ini menelan semua pemikiran saya yang lain dan membuat saya rela bahkan bersukacita untuk menjadi musafir yang sendirian di padang belantara sampai akhir hayat saya, asalkan saya boleh mengambil bagian dalam pekerjaan yang indah dari Penebus saya yang agung. Sekarang saya berikrar untuk mempersembahkan jiwa saya kepada Allah untuk melayani Dia sepenuhnya. Segenap pikiran dan kerinduan saya menyerukan, ‘ini saya, Tuhan, utuslah saya, utuslah saya sampai ke ujung bumi; utuslah saya kepada bangsa kafir yang liar dan ganas di padang belantara; utuslah saya menjauhi segala sesuatu yang dinamakan kenyamanan di bumi, atau kenyamanan dunia dalam pelayanan bagiMu untuk memperluas kerajaanMu.’ Pada waktu yang sama, saya merasakan sekilas nilai kenyamanan duniawi: namun ini tak berarti apa-apa dibandingkan dengan nilai kerjaan Kristus dan pemberitaan InjilNya. Perkampungan yang tenang, tempat tinggal yang tetap, persahabatan yang lembut, yang saya harap akan saya nikmati bila say amemilih keadaan itu, kelihatan sangat berharga bagi saya bila dipertimbangkan secara tersendiri; namun bila dipandang dalam perbandingan ini seolah-olah tak ada artinya. Dibanding dengan nilai berharganya perluasan kerajaan Kristus, semua itu sirna ibarat cahaya bintang pada saat matahari terbit. Sekalipun kehidupan yang nyaman tampak berharga dan menyukakan bagi saya anmun saya mepersembahkan diri saya seutuhnya, tubuh dan jiwa, dalam pelayanan kepada Allah dan demi perluasan kerajaan Kristus; kendati itu berarti saya akan kehilangan semua yang lain, saya tak dapat berbuat lain, sebab saya tidak dapat dan tidak mau memilih yang lain. Atas pilihan saya sendiri, saya terpaksa mengatakan, ‘selamat berpisah, teman-teman dan kenyamanan duniawi, juga yang paling saya kasihi, bila Tuhan memintanya: selamat tinggal, selamat tinggal; saya rela menghabiskan hidup saya sampai saat terakhir dalam gua-gua dan celah-celah gunung di bumi bila dengan demikian kerajaan Kristus dapat diperluas.” (David Brainerd: Misionaris bagi suku Indian amerika, Surabaya: Momentum. 2006, hal. 78-9)

Pada 12 agustus, ia meninggalkan Cranberry bersama enam orang indian Kristen yang dipilihnya dari antara jemaatnya untuk membantu dia dalam pekerjaan antara jemaatnya untuk membantu dia dalam pekerjaan ini. Ketika sampai di Shaumoking, ia menlanjutkan perjalanan ke utara. Namun tubuhnya semakin lemah. Begitu lemahnya hingga sepertinya ia tidak bisa berada di tengah udara terbuka pada malam hari. Sehingga ia memanjat sebuah pohon pinus dan dengan pisaunya ia memotong beberapa dahan untuk membuat tempat bernaung dari embun; namun tetap ia basah kuyup. Pada 4 september, ia kembali ke Shaumoking dan melayan di sana. Banyak orang Indian yang begitu mendapat berkat dari pelayanan dan mengalami pertobatan. Sampai 11 september, ketika tubuh sangat lemah, ia memutuskan untuk kembali ke Cranberry.

Cranberry (1746-47)
Inti doctrinal dari ajaran Brainerd tercatat dalam bagian penutup buku hariannya: keberadaan dan kesempurnaan Allah, kewajiban umat manusia untuk mengasihi dan menghormati Dia, keadaan manusia yang sarat dengan dosa dan ketidakmampuan mereka menyelamatkan diri sendiri bahwa perbuatan baik ataupun reformasi lahiriah tidak dapt membawa manusia ke dalam perkenanan Allah; mutlak perlunya seorang Juruselamat; betapa melimpah dan kayanya kasih karunia Ilahi dan langkah yang harus diambil oleh setiap orang berdosa untuk memperoleh pengampunan dari Allah melalui Kristus. Ia juga menekankan Pribadi Kristus dan karyaNya.

Di Cranberry, ia menjadi gembala sidang dimana harus melayani kebutuhan rohani dan jesmani jemaat Indian. Ia memikirkan apa yang harus diajarkan, metode bagaimana, bagaimana membina jiwa-jiwa, bagaimana menerapkan prinsip-prinsip kekristenan pada masalah-masalah ekonomi, domestic dan sosial, dan banyak lagi. Setelah jemaat Indian tersebut mencapai tingkat pengertian yang lebih baik mengenai kekristenan. Ia memutuskan untuk membimbing melalui Katekismus. Ia mengajukan pertanyaan-pertanyaan doktrinal  dan membahas setiap bagian dengan lebih dalam. Banyak orang Indian Kristen tersebut ternyata siap akan pengajaran seperti demikian.

Dalam bulan juni 1746, Brainerd membuat laporan mengenai Indian sebagaimana diminta oleh lembaga misinya. Secara ringkas dari laporan tersebut menyatakan: (1) Orang Indian memiliki sikap menolak kekristenan yang telah berakar. Bahkan menentang dan membenci nama Kristus. (2) Kendala bahasa merupakan hal yang penting dalam pekabaran injil. Karena setiap suku Indian bisa memiliki bahasa yang berbeda. (3) Situasi yang tidak nyaman, tingkah laku liar dan cara hidup orang Indian yang tidak menyenangkan menjadi tantangan dalam pekabaran injil. (4) Kesulitan terakhir yaitu perlawanan dari orang-orang kulit putih sendiri. Bahkan ada yang mencoba menfitnah Brainerd agar tidak diterima di tengah-tengah orang Indian.

Pada 9 Oktober, setelah sakit paru-paru yang berkepanjangan dan dirawat di rumah Jonathan Edwards, ia meninggal. Selama sakitnya, tidak sedikit pun ia mengeluh. Bahkan ia terus bersiap jikalau Tuhan memanggilnya. Ia ingin segera bertemu dengan Tuhan, melayani dan menyenangkanNya dalam tubuh yang sempurna. Pada bulan Februari tahun berikutnya, Jerusha, anak Jonathan Edwards yang juga adalah perempuan yang dikasihi Brainerd meninggal karena penyakit yang sama.

Banyak orang yang begitu kagum dan terinspirasi dari pelayanan misi David Brainerd. Namun Brainerd juga adalah seorang yang sangat menekankan doktrin yang dipercayanya dalam setiap pelayanannya yaitu ajaran Calvinis. Ia dan Jonathan Edwards merupakan pemegang kental tradisi Puritan. Ia menyadari bahwa Allah memanggil dia bukan untuk berhasil melainkan untuk setia. Apa yang dia lakukan untuk Tuhan di dalam setiap pelayanan bukanlah menjadi penyebab ia dibenarkan atau diselamatkan. Karena keselamatan semata-mata anugerah Tuhan. Demikian juga pelayanan yang dia kerjakan adalah semata-mata karya Allah. Seperti yang ditulisnya pada 3 Februari 1745: “Saya merasakan kedamaian dalam jiwa saya dan saya tahu bahwa seandainya tidak seoarang pun dari orang Indian bertobat oleh pemberitaan saya dan semuanya menuju penghukuman, namun saya tetap diterima dan mendapat pahala atas kesetiaan saya; sebab saya yakin, Allah yang memampukan saya untuk itu.”

ia begitu mementingkan kemuliaan Tuhan daripada kebaikan bagi manusia maka ia tak pernah menggunakan metode-metode yang tidak alkitabiah untuk memikat orang indian dan ia tak pernah menurunkan standar praktis atau pun doktrinalnya dengan maksud menjaring lebih banyak petobat. Sebagaimana orang Puritan, ia tidak menganggap doktrin kedaulatan Ilahi bertentangan dengan pemberitaan injil. Tanggung jawab atas dosa terletak pada manusia dan dosa manusia semakin berat bila menolak tawaran rahmat Allah.

Kristus memilih orang-orang kudusNya melalui “dapur kesengsaraan” untuk memurnikan rohani mereka. Pencari mutiara harus menyelam ke dasar lautan yang dalam. Penambang menemukan batu permata pilihan jauh di bawah permukaan tanah, dimana tekanan bumi yang amat besar mengubah unsure karbon menjadi batu berlian yang berharga. Hal yang sama berlaku di alam rohani. Dalam lembah kelam dan curam, Tuhan membuat diriNya berharga bagi umatNya dan mengerjakan anugerah yang langka dalam hati mereka. (David Brainerd: Misionaris bagi suku Indian amerika, Surabaya: Momentum. 2006, hal. 112)

1 Kor. 1:21

Oleh karena dunia, dalam hikmat Allah, tidak mengenal Allah oleh hikmatnya, maka Allah, maka Allah berkenan menyelamatkan mereka yang percaya oleh kebodohan pemberitaan injil.

Disadur dari David Brainerd: Misionaris bagi suku Indian amerika, Surabaya: Momentum. 2006.