Rabu, 25 Juli 2018

Korban Hidup

Tuhan ku berserah jadi korban hidup
Roh-Mu dan Darah-Mu bakar sucikanku
B'rikan ku firman-Mu, curahkan kasih-Mu
Pakailah hidupku mengabarkan injil-Mu
(Musik & Lirik: Stephen Tong)

Pdt Stephen Tong lahir tahun 1940 di kota Xiamen, Cina. Ayahnya berasal dari Cina dan Ibunya berasal dari Indonesia. Dari keluarga ini lahirlah 7 orang anak yang terdiri dari 6 anak laki-laki dan 1 anak perempuan. Ayahnya meninggal dunia ketika Pak Tong berumur 3 tahun. Sejak itu Ibunya mengasuh 7 orang anak ini sendirian. Ketika Pak Tong berumur 9 tahun, Ibunya membawa mereka ke Indonesia. Mereka pun tinggal di Surabaya. Ketika Pak Tong berumur 17 tahun, dia mengikuti suatu kebaktian yang dipimpin oleh seorang hamba Tuhan bernama Andrew Gih. Dalam kebaktian itu, dia dan 4 saudaranya laki-lakinya menyerahkan diri untuk hidup melayani Tuhan seumur hidup mereka. Kelima orang ini adalah Peter, Caleb, Solomon, Stephen dan Joseph. Mereka pun sampai sekarang menjadi hamba Tuhan dan melayani di beberapa tempat di dunia. Pdt. DR. Stephen Tong sendiri sudah melayani lebih dari 50 tahun di berbagai negara.

Selain melayani di beberapa Negara di dunia, Pak Tong juga menulis banyak lagu. Salah satunya yaitu “Korban Hidup”. Lagu dengan lirikdan melodi yang sederhana ini merupakan doa kerinduan untuk dipakai Tuhan. Istilah “korban” dalam alkitab mengacu pada persembahan untuk Tuhan. Dalam ibadah Perjanjian Lama terdapat berbagai persembahan untuk Tuhan dalam bentuk korban bakaran (misalnya untuk menghapus dosa). Dalam Perjanjian Baru dinyatakan bahwa kita tidak lagi memberikan korban bakaran karena Kristus sudah menggenapi tuntutan taurat dengan mati di kayu salib untuk menghapus dosa kita. Persembahan yang kita bawa sekarang sebagai umat tebusan adalah hidup kita sendiri. Roma 12:1, Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati. Maka korban hidup berarti mempersembahan hidup kita untuk Tuhan. Bagaimana hidup kita dapat menjadi persembahan yang menyenangkan Tuhan? Dalam lagu ini dinyatakan: harus suci (disucikan oleh Roh Kudus dan darah Kristus), dengan firman Tuhan sebagai pedoman, menyatakan kasih Allah dan mengabarkan injil. Kiranya kita dimampukan untuk mempersembahkan hidup kita sebagai korban hidup untuk kemuliaan Allah.

Senin, 23 Juli 2018

Too Much Love?

Saya sebenarnya bingung dengan kalimat ini: “too much love”. Saya tahu dan pernah mengalami makan  “terlalu banyak”. Ukurannya adalah perut saya yang terasa penuh tidak seperti biasanya. Saat itu saya lebih memilih untuk duduk bahkan berebah daripada berjalan. Karena begitu penuh, minum pun rasanya tak sanggup. Saya ingin cepat-cepat untuk “buang air besar atau air kecil” supaya meringankan beban. Saya juga sepertinya tahu dan pernah mengalami belajar “terlalu banyak”. Saat saya sedang mengerjakan tesis S2, saya sering berjam-jam membaca buku dan hanya mengetik beberapa baris saja karena terus memikirkan per kalimat. Kepala saya seolah penuh bahkan sampai sulit merangkai apa yang sudah saya baca dalam bentuk tulisan. Saya pernah berbicara “terlalu banyak”. Rahang terasa lelah dan lidah terasa kering. Dan banyak hal lagi yang dapat kita alami “terlalu banyak” karena calculable. Tapi apakah ada mencintai “terlalu banyak”? apa ukurannya? Apakah cinta itu calculable

Saya teringat akan firman Tuhan Yohanes 3:16, “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” Tuhan Allah mengasihi manusia begitu besar sehingga mengaruniakan Anak-Nya (Tuhan Yesus Kristus) sampai mati di kayu salib untuk menebus manusia berdosa. Kita tidak memisahkan Allah Bapa dan Allah Anak dalam esensi, Allah Bapa dan Anak adalah satu adanya. Maka dapat disimpulkan: “Karena begitu besar kasih Allah akan manusia berdosa sehingga Ia memberikan Diri-Nya sendiri menjadi tebusan”. Self-sacrifice merupakan dasar dari kasih alkitabiah. Apakah ini mencintai “terlalu banyak”? 

Rabu, 18 Juli 2018

Orang-orang Kusta

2 Raja-raja 7:1-10

Dalam sejarah kehidupan manusia, kita akan menemukan narasi besar dan narasi kecil. Narasi besar adalah cerita yang dominan dan seringkali diingat, diperhatikan dan terlihat sangat berpengaruh secara fenomenal dalam sejarah. Sedangkan narasi kecil adalah cerita pinggiran yang seringkali terlupakan, dianggap remeh, marginal dan seolah tidak berpengaruh secara fenomenal. Narasi besar seperti Air Bah, Israel vs Mesir, Israel vs bangsa-bangsa asing, Kerajaan Penguasa Israel saat di pembuangan (Asyur, Babilonia, Persia, Romawi-Yunani), Perang Salib, Perang Dunia I & II dan masing banyak lagi. Narasi besar juga dapat diidentikan dengan tokoh tertentu bahkan “zaman” disertai dengan nama tokoh tersebut seperti “zaman” Nuh, Musa, Saul, Daud, Salomo, Yosia, Yosafat, Napoleon, Hitler, Roosevelt, Lincoln, Soekarno, Soeharto dan seterusnya. Namun dibalik narasi besar juga terdapat narasi kecil cenderung dipinggirkan seperti siput yang menuju bahtera Nuh, para wanita dan anak-anak kecil di Israel, orang-orang asing yang juga ikut menjadi bangsa Israel seperti Rahab, tokoh-tokoh di negeri asing seperti Ester dan Mordekhai, para tukang masak dan buruh di masa Napoleon dan perang-perang dunia. Modernisme cenderung mengutamakan narasi besar dan meremehkan narasi kecil. Pasca-modernisme cenderung mengagungkan narasi kecil yang darinya narasi besar dapat berdiri kokoh. Modernisme akan menyatakan yang merubah dunia adalah tokoh-tokoh seperti Napoleon. Namun menurut Pasca-modernisme Napoleon tidak akan dapat pergi perang dan menang jika saat itu tukang masaknya menyediakan makanan yang beracun dan membuatnya sakit. Kecenderungan lainnya adalah membesarkan yang kecil, mengecilkan yang besar. Narasi kecil namun dianggap besar, narasi besar namun dianggap kecil. Dengan demikian dapat saja sebagian menyimpulkan bahwa tukang masak Napoleon yang merubah dunia, bukan Napoleon. 

Bagaimana dengan alkitab? Benar dalam alkitab terdapat narasi besar dan narasi kecil. Namun menarik, semua cerita besar dan kecil dalam alkitab mempunyai kesinambungan, keunikan dan dampak masing-masing yang mengantar kita pada Tuhan Yesus Kristus. Dalam hal ini mungkin ada yang menyimpulkan bahwa Tuhan Yesus Kristus adalah narasi besar alkitab. Ya, dalam hal-hal tertentu kesimpulan tersebut tidak perlu untuk dibantah lagi. Namun kita ingat bahwa Tuhan Yesus Kristus yang berinkarnasi masuk ke dalam narasi kecil. Dia adalah anak Tukang kayu (Matius 13:55; Markus 6:3), dijadikan paling hina dan rendah sampai mati di kayu salib (Yes. 53:3; 2 Korintus 5:21). Ia juga memanggil orang-orang pinggiran dari Galilea bukan Yerusalem. Bahkan alkitab menekankan hal ini bahwa “Tetapi apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat, dan apa yang tidak terpandang dan yang hina bagi dunia, dipilih Allah, bahkan apa yang tidak berarti, dipilih Allah untuk meniadakan apa yang berarti, supaya jangan ada seorang manusiapun yang memegahkan diri di hadapan Allah” (1 Korintus 1:27-29). Dengan demikian kita dapat menyimpulkan bahwa dalam alkitab narasi besar dan kecil berkesinambungan namun sekaligus tidak menganggap remeh atau melebihkan keunikan dan dampak dari masing-masing narasi.

Salah satu cerita menarik dalam alkitab yang tentang orang-orang kusta dalam 2 Raja-raja 7:1-10. Cerita besarnya adalah perang antara Aram dan Israel (Utara). Aram mengepung ibu kota Israel Utara yaitu Samaria. Hal ini mengakibatkan orang-orang Israel di Samaria beraktivitas terbatas yang kemudian berdampak secara ekonomi, moral, psikologi dan bahkan spiritualitas dari Israel Utara. Di Samaria terjadi kelaparan yang hebat. Perekonomian yang kacau yang digambarkan demikian: kepala keledai berharga delapan puluh syikal perak dan seperempat kab tahi merpati berharga lima syikal perak (2 Raja 6:25). Sederhananya, apa yang sebelumnya dianggap sampah dan barang-barang yang remeh bahkan hina menjadi bernilai tinggi karena akses dari luar Samaria terbatas (bahkan tertutup). Samaria mengalami semacam embargo ekonomi oleh Aram. Bukan saja itu, kerusakan berdampak juga secara moral dan psikologi. Orang-orang yang tertekan di Samaria rela memakan anak-anak mereka sendiri (2 Raja 28-29). Dan hal ini pun dianggap wajar dalam keadaan tertekan demikian. Raja mengoyakkan pakaiannya, mengenakan kain berkabung dan berjalan di tembok. Gambaran pemimpin yang sudah putus harapan begitu mendalam. Siksaan batin yang lebih menyakitkan bahkan daripada kehilangan nyawanya. Hal ini juga membuat orang-orang Samaria kehilangan spiritualitas sejati sehingga tidak lagi berharap kepada Allah (2 Raja 6:33). Penderitaan yang begitu mendalam dengan spiritualitas yang salah membuat kita melihat Allah begitu kecil daripada masalah dan penderitaan kita. 

Apakah Allah diam? Tidak, Ia memakai Elisa (“Narasi Besar”) dan Orang-orang kusta (“Narasi Kecil”). Elisa sebagai Nabi Tuhan mewakili Tuhan menyampaikan firman-Nya. Firman yang seringkali sulit diterima oleh manusia berdosa. Firman yang menerobos segala kemungkinan pikiran manusiawi. Firman yang menyatakan suatu perspektif ilahi sejati yang menyatakan “Besok kira-kira waktu ini sesukat tepung yang terbaik akan berharga sesyikal dan dua sukat jelai akan berharga sesyikal di pintu gerbang Samaria.” (2 Raja 7:1). Sederhananya menyatakan apa yang terbaik seharusnya bernilai tinggi namun dalam seketika akan bernilai murah dan dapat diperoleh semua orang dari berbagai kalangan masyarakat. Bagaimana mungkin hal ini terjadi? Hal ini mungkin karena Allah yang mengerjakannya. Inilah yang membedakan firman Allah sejati dengan perkataan manusia. Kita dapat memahami firman Allah hanya jika keilahian (kuasa) Firman tersebut dirasakan/dialami pada saat yang sama. Firman Allah pasti terwujud entah sekecil apa pun kemungkinannya menurut pikiran manusia. Dan dalam hal ini, Allah seringkali berkarya secara misterius, ia memakai orang-orang kusta.

Siapa orang kusta? Orang-orang kusta adalah orang yang terpinggirkan, hina dan tidak punya masa depan. Dalam kehidupan masyarakat (sosial), orang kusta tergolong dalam golongan paling rendah bahkan lebih tepatnya seringkali tidak masuk hitungan. Alkitab mencatat beberapa hal tentang orang kusta: (1) Najis (Imamat 13:3) – tekanan jesmani dan rohani. Orang kusta dinyatakan najis oleh imam. Imam adalah seorang yang sangat dihormati dalam masyarakat Israel karena mereka menyimbolkan kekudusan Allah. Orang kusta dinyatakan najis oleh orang yang dipandang mewakili kekudusan Allah. Pernyataan tersebut bukanlah sekedar pernyataan omong kosong atau kepentingan suatu kelompok tapi menyatakan kekudusan Allah. (2) Dikucilkan (Bilangan 5:2) – tekanan sosial. Orang kusta disuruh untuk meninggalkan tempat perkemahan. Mereka dikucilkan dari lingkungan masyarakat supaya mereka tidak menajiskan tempat perkemahan. Bahkan seorang raja pun jika terkena kusta akan mengalami pengasingan (2 Taw. 26:21). Dengan demikian orang kusta mengalami tekanan sosial. Mereka menjadi kelompok yang sangat tersendiri bahkan mereka tidak dapat bersama dengan keluarga. Bagi masyarakat, mereka seolah sudah tidak ada. Mereka dilupakan dan tidak diperhitungkan.

Namun, menarik, Tuhan memakai orang-orang kusta dalam ketidaktahuan mereka. Mereka yang melakukan hanya untuk persoalan hidup-mati mereka, Tuhan ubahkan untuk menggenapi rencana-Nya yang disampaikan oleh Elisa. Ia adalah Allah yang turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah (Roma 8:28). Ia dengan sengaja memakai orang-orang yang terpinggirkan, terkucilkan dan tidak diperhitungkan. Orang-orang yang seringkali dipandang sebagai narasi kecil untuk menggenapi rencana agung-Nya. Ia seringkali memakai orang-orang yang yang bodoh, lemah, hina dan tidak berarti bagi dunia untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, kuat dan sombong (1 Korintus 1:27-29). Dia sendiri mengosongkan diri-Nya menjadi anak tukang kayu yang lahir di kota kecil Betlehem, memanggil murid-murid-Nya kebanyakan dari Galilea dan mati di bukit tengkorak untuk menggenapi karya keselamatan yang agung atas manusia berdosa.