Kamis, 02 Februari 2023

Jadi Bijak, Jangan Bodoh (Pengkhotbah 10:5-15)

 

The Fall of Phaeton (c. 1640) oleh Jacob Jordaens

The Fall of Phaeton merupakan lukisan yang terinspirasi dari mitologi Yunani. Jacob Jordaens berusaha menggambarkan kisah tragis karena kebodohan dari Phaeton yang terjatuh dari kereta kuda Apollo, ayahnya. Kisah ini diawali dari pesan-pesan yang didengar Phaeton setiap pagi oleh ibunya, Clymene. Setiap pagi, Clymene mengajak Phaeton melihat terbitnya matahari dan mengatakan bahwa yang membawa matahari berputar itu adalah ayah Phaeton, Apollo. Phaeton kagum dengan ayahnya dan juga dirinya sebagai keturunan salah satu dewa yang sangat hebat. Ia membanggakan diri di hadapan teman-temannya yang akhirnya kesal sehingga meminta bukti dari pernyataan Phaeton. Oleh karena itu, Phaeton menanyatakan ibunya bagaimana ia dapat menemui Apollo. Pada akhirnya, ia pun dapat bertemu dengan ayahnya itu. Apollo mengakui Phaeton sebagai anaknya. Tapi bagi Phaeton pengakuan saja tidak cukup, ia minta bukti dari Apollo dengan mengizinkannya mengendarai kereta kuda untuk membawa matahari sehingga bisa menunjukkan kepada teman-temannya. Dengan berat hati, Apollo mengabulkan permintaan anaknya tapi dengan persiapan yang sungguh-sungguh. Alih-alih mendengarkan pesan-pesan Apollo, Ia langsung naik kereta kuda dan membawa matahari. Pada awalnya berjalan baik, lalu ia menjadi sombong mau menunjukkan kepada teman-temannya dengan mendekati bumi. Ketika matahari mendekati bumi maka bumi menjadi panas terik dan terbakar sehingga banyak orang tersiksa, binatang, tumbuhan, dan semuanya menderita. Phaeton cepat-cepat menjauh dari bumi tapi ternyata terlalu jauh sehingga bumi menjadi dingin. Para rakyat pun berseru kepada Zeus karena kesusahan ini. Zeus melihat Phaeton lalu menghukum Phaeton sehingga jatuh dari kereta dan mati.

Mitos bukanlah kisah nyata tapi kisah bijak untuk mengajarkan sesuatu kepada pendengarnya. Dalam kisah kejatuhan Phaeton, ini menyatakan bahwa tindakan bodoh dan sombong hanya akan membuahkan kerugian bagi orang lain dan bahkan kematian bagi diri sendiri. Inilah juga yang menjadi salah satu pesan Pengkhotbah 10:5-15 bahwa menjadi bijak lebih baik daripada menjadi bodoh di dalam dunia yang sungsang ini. 

Dalam ayat 5-7, Pengkhotbah menyatakan realitas dunia yang sungsang secara makro dimana terdapat jungkir balik dalam hal kekuasaan dan politik. Yang berkuasa bukanlah orang bijak dan yang bijak tidak mempunyai posisi dan kuasa secara sosial-ekonomi. Hal ini dapat kita lihat terjadi dalam kehidupan masyarakat kita sampai saat ini. Mengapa? Karena dosa. Dosa membuat setiap sistem kerja dunia menjadi tercemar dan rusak. Lebih rinci lagi, Craig G. Bartholomew menyatakan ini adalah dosa kelalaian atau kekhilafan (sin of inadvertence). Dosa yang tidak disengaja (bdk. Im. 5:18) namun nyata dan sama seriusnya dengan dosa yang disengaja. Dosa ini sama-sama perlu penebusan Kristus. 

Dalam ayat 8-11, Pengkhotbah menyatakan dunia yang sungsang secara mikro di mana hal-hal sehari-hari juga membahayakan dan tidak dapat diprediksi. Ia mengamati kegiatan sehari-hari seperti orang-orang yang bekerja menggunakan peralatan tajam (ay. 9-10) yang dapat terluka dari peralatan itu sekalipun orang itu seorang ahli. Seseorang ahli dalam membuat jebakan untuk berburu dapat saja terjebak oleh jebakannya sendiri (ay. 8, bdk. Mzm. 7:16). Selain dapat terluka atau kerugian dari peralatan yang digunakan atau jebakannya sendiri, seseorang mungkin saja mendapat kerugian atau kecelakaan dari hal-hal lain seperti ular yang bersembunyi di celah-celah yang kemudian menyerang pekerja itu (ay. 8). 

Kecelakaan dapat terjadi di mana saja, kapan saja, dan kepada siapa saja baik secara makro maupun mikro. Realitas kehidupan menyatakan bahwa peristiwa seringkali terjadi begitu saja tanpa dapat dijelaskan, tanpa bisa diantisipasi, dan tanpa tahu solusi yang tepat. Hal-hal buruk dapat terjadi kepada siapa pun termasuk seorang ahli atau moralitas baik tanpa bisa diprediksi. 

Lalu bagaimana kita dapat hidup di dunia yang sungsang ini? Tips dari Pengkhotbah: Jadilah bijak, bukan bodoh (ay. 12-15). Pengkhotbah membandingkan antara orang bijak dan bodoh. Orang bodoh itu (1) ayat 12, mulutmu harimaumu, (2) ayat 13, perkataan bodoh dan bebal yang mencelakakan, (3) ayat 14, banyak bicara tanpa tahu apa-apa (tong kosong nyaring bunyinya), (4) orang yang memberi nasihat tentang kota, tapi tidak tahu jalan ke Kota. Sedangkan orang bijak (bdk. Ams. 10:19; 17:27) itu (1) ayat 12, kata-katanya menarik, membangun (gracious), dan menginspirasi, (2) ayat 13, kata-kata hikmat dan menguntungkan atau meringankan kecelakaan, (3) ayat 14, sedikit bicara tapi tahu bicara apa, (4) meringankan kesusahan karena ada sedikit tahu jalan ke kota. 

Ia menyimpulkan bijak lebih baik daripada bodoh. Memang menjadi bijak tidak menghilangkan kesusahan hidup, tapi dapat meringankan kesusahan yang didapat. Hikmat membantu kita untuk meringankan risiko yang mungkin kita terima dalam menjalani kehidupan di dunia yang sungsang.