Senin, 01 Desember 2014

Injil = Euangelion = Good News

Markus 1:1
Beberapa hal penting yang membuat suatu berita itu menjadi berita yang baik dan buruk adalah kapan berita itu disampaikan dan dampak berita tersebut bagi pendengarnya. Seorang yang sedang kelaparan mendapat berita bahwa minuman dirumahnya melimpah, maka berita itu bisa dipandang sebagai berita tidak baik. Tapi kalau ia mendapat berita bahwa makanan dirumahnya melimpah maka itu dipandang sebagai berita yang baik. Demikian juga ketika hari ini kita mendengar orang menyampaikan bahwa sebentar lagi akan hujan, ini bukanlah berita yang baik. Tapi ketika di zaman elia, semua orang menantikan hujan, ada berita bahwa sebentar lagi akan hujan, itu menjadi berita yang baik. Artinya berita bukan sekedar dihubungkan dengan kronos tapi kairos (momen). Ada suatu hal yang membuat berita tersebut menjadi penuh makna dan kepentingannya menyangkut kehidupan manusia. Lebih lagi, berita (yang bersifat kairos) tersebut menjadi begitu penting karena dalam kronos Tuhan Allah menyampaikan kehendakNya.

Markus menuliskan injilnya bukan sebagai biografi (kronos) dari Tuhan Yesus Kristus. Tapi merupakan suatu berita tentang Tuhan Yesus Kristus. Karena itu urutan kronologis tidak terlalu diutamakan, tapi berita teologis (bersifat kairos) begitu ditekankan. Dalam gaya penulisan Timur Tengah Kuno, tidak disusun berdasarkan urutan kronologis sebagaimana gaya penulisan modern. Demikian juga injil, ditulis untuk dibacakan dengan suara yang nyaring. Banyak pendengar tidak tahu bagaimana membaca tulisan tersebut. Karena itu untuk mempermudah cara pembacaan maka ada pengulangan, penekanan dan retorika dalam penulisan. Yang diutamakan adalah berita/pesan yang akan disampaikan dalam tulisan tersebut.

Markus bisa dinyatakan sebagai orang pertama yang menggunakan istilah “injil” yang dalam bahasa yunaninya euangelion berarti kabar baik. Istilah “injil” sendiri dalam Markus diulang sebanyak 7 kali. Sedangkan dalam Lukas hanya 4 kali. Mengejutkan dalam dalam Matius dan Yohanes istilah ini tidak ada. Markus begitu menekankan berita yang diwahyukan Tuhan Allah merupakan injil ini. Tidak heran dari awal, sudah dibuka dengan kalimat: “Inilah permulaan Injil tentang Yesus Kristus, Anak Allah” (Markus 1:1).

Penulisan injil Markus tidak lepas dari konteks saat itu. Kemungkinan besar injil Markus ditulis dalam konteks kekristenan di Roma. Yang mana kebanyakan penerima injil ini merupakan orang non yahudi (atau bukan yahudi asli). Beberapa indikasi ini didapat diantaranya dari begitu banyaknya penjelasan tentang tradisi yahudi dalam injil Markus misalnya dalam Markus 7:3-4. Dan yang lebih penting yaitu tentang pesan dari injil Markus itu sendiri yang sangat familiar dengan literature Romawi Yunani yaitu tentang “victory comes only through suffering”. Kalau kita melihat beberapa contoh dari mitologi yunani banyak diajarkan bahwa kemuliaan diperoleh dalam penderitaan. Dalam bukunya, Herodotus mencatat beberapa hal tentang legenda-legenda Yunani. Misalnya: Cleobis dan Bito. “Mereka merupakan keturunan ras Argos; kekayaan mereka cukup untuk memenuhi apa pun yang mereka inginkan, mereka juga diberkahi dengan kekuatan tubuh yang luar biasa sehingga mereka sanggup memenangkan begitu banyak penghargaan dalam berbagai pertandingan. Ada cerita suatu kali ada festival untuk menghormati dewi Juno di Argos, dan mereka harus mengantarkan sang ibunda menuju tempat perayaan tersebut dengan menggunakan sebuah kereta. Namun lembu peliharaan mereka tidak kembali pulang ke rumah tepat pada waktunya dari padang rumput. Karena kalau menunggu mereka akan terlambat, maka mereka memasang kuk ke leher mereka sendiri dan menjalankan kereta yang dinaiki oleh sang ibu. Mereka berhenti tepat di depan kuil disaksiakan oleh seluruh majelis pemuda yang berkumpul di kuil itu. Setelah itu, kehidupan mereka berakhir dengan cara yang indah. Dewa menunjukan bukti nyata yang amat jelas, bahwa kematian merupakan suatu peristiwa yang lebih indah bagi manusia dibandingkan dengan kehidupan. Para pria argos begitu memuji kekuatan luar biasa dua pemuda tersebut, para wanita memuji sang ibu yang dikaruniai dua putra demikian hebat. Sang ibu memohon kepada dewa agar 2 anaknya diberikan anugerah tertinggi dapat dicapai oleh umat manusia. Dua pemuda ini kemudian tertidur di kuil dan meninggal dalam tidurnya. Rakyat argos memandang mereka sebagai sosok terbaik diantara seluruh umat manusia. Untuk itu mereka membangun patung-patung pemujaan bagi keduanya, mereka tempatkan di kuil Delphi.” Selain itu, cerita yang terkenal yaitu tentang Achiles. Yang mana suatu kali diberikan pilihan: mati muda namun terkenal (memperoleh kemuliaan) atau mati tua menjadi seorang petani. Die as a hero or live as a loser. Achiles memilih mati muda namun memperoleh kemuliaan.

Berita “victory comes only through suffering” dalam injil Markus sungguh menjadi kabar baik (injil) karena konteks saat itu dimana kekristenan mengalami banyak penganiayaan di Roma. Sejak tahun 49 Masehi, kekristenan sangat sulit berkembang di Roma. Bahkan banyak yang diusir dari Roma. Puncaknya yaitu tahun 64-68 dimana Nero menganiaya banyak sekali orang-orang Kristen. Ini membuat banyak orang Kristen menjadi ketakutan. Dalam penganiayaan tersebut ada beberapa pilihan: mati dalam penganiayaan atau lari jauh dari penganiayaan.

Injil ini menjadi suatu kabar baik dimana ternyata kematian bukanlah menjadi sesuatu yang harus ditakuti atau dihindari. Tapi merupakan suatu jalan menuju kemuliaan yang lebih tinggi. Terlebih lagi karena kematian tersebut adalah kematian sebagai saksi Kristus. Selaras dengan apa yang dinyatakan oleh Petrus (bapak rohani dari Markus): Tetapi jika kamu berbuat baik dan karena itu kamu harus menderita, maka itu adalah kasih karunia pada Allah (1 Peter 2:20).

Jumat, 21 November 2014

Diaspora

Diaspora adalah istilah yunani berarti penyebaran1a) of Israelites dispersed among foreign nations 1b) of the Christians scattered abroad among the Gentiles. Istilah menjelaskan penyebaran bangsa Israel (Kristen) ke banyak tempat lain di luar Yerusalem (Israel). Kata ini dipakai beberapa kali dalam alkitab: Kisah Para Rasul 8:1 & 4, 11:19; Yakobus 1:1. Penyebaran dari satu tempat ke tempat lain. Namun bukan sekedar migrasi tapi suatu perpindahan yang sebenarnya cukup berat untuk dilakukan. Karena perpindahan tersebut dari “tanah air” atau tempat yang kita kenal sebagai "rumah” ke tempat yang kita tidak kenal, asing dan jauh. Perpindahan dari satu tempat dimana kita menjadi tuan tanah, sangat familiar dan dikenal ke tempat dimana kita menjadi tamu asing tidak dikenal.

Ada banyak alasan terjadinya penyebaran. Penyebaran itu menyenangkan dan dengan rela dijalankan jika penyebaran tersebut memang adalah inisiatif dari kita dan untuk kepentingan kita. Tapi menjadi sulit jika penyebaran karena di luar inisiatif dan kepentingan kita. Kekristenan pada awalnya tersebar karena dua hal: penginjilan dan penganiayaan. Keduanya bukanlah karena inisiatif dan kepentingan orang-orang tersebut. Keduanya terjadi karena dorongan dari yang lain. Yang pertama dorongan dari perintah Ilahi, yang kedua karena manusia.

Sekarang kita bisa melihat bahwa bangsa Israel adalah bangsa yang memiliki kecintaan bangsa dan tanah air begitu kental luar biasa. Namun jauh sebelum itu, kalau kita kembali menelusuri sejarah Israel, maka kita mendapatkan bahwa bangsa Israel merupakan bangsa berkelana (nomaden). Mulai dari nenek moyangnya yaitu Abraham yang diperintahkan untuk keluar dari tempat tinggalnya ke tempat yang ditujukan oleh Tuhan. Sesudah sampai di tanah perjanjian, mereka berpindah ke Mesir karena peristiwa kelaparan global di Ancient Near East Kuno. Ada Yusuf di Mesir yang dipakai Tuhan untuk memelihara umatNya. Sesudah itu, ketika Musa dilahirkan mulai lagi perjalanan kembali ke tanah perjanjian. Sesudah sampai dan membangun kerajaan yang besar dimana Daud dan Salomo menjadi raja-raja yang Tuhan pakai mengangkat puncak Kerajaan Israel. Sampai kemudian ada masa dimana Asyur, Babilonia dan Persia merebut Israel dan menyebarkan umat Israel. Pada masa pemerintahan Koresh, Raja Persia, mengizinkan Israel kembali ke tanahnya. Kurang lebih ada 50.000 kembali ke tanah air tercinta. Tanah yang merupakan dijanjikan oleh Tuhan sendiri. Namun, dari segala yang terjadi dalam sejarah tersebut, Tuhan menyebarkan bangsa Israel. Sehingga hampir di semua bangsa-bangsa peradaban agung di dalam sejarah manusia selalu ada bangsa Israel (keturunannya) di dalamnya.

Dalam Perjanjian Baru, Israel sejati yaitu semua orang yang percaya kepada Kristus. Yang mana memiliki iman yang sejati seperti Abraham, Ishak dan Yakub. Yakobus 1:1 menyatakan bahwa surat tersebut ditujukan kepada orang Kristen yang berada di perantauan. Yang tersebut ke seluruh bangsa di luar Israel dimana pun mereka berada. Ada yang di Eropa, Asia, Afrika dll. Sejak perintah dari Kristus dalam Matius 28:19-20, umat Kristen mempunyai misi penginjilan untuk menyebarkan ajaran Kristus (Kis. 11:19). Penyebaran dimana mungkin tidak dengan mudah mereka kerjakan. Karena itu berarti mereka meninggalkan pekerjaan yang lama dan mencari pekerjaan yang baru di tempat yang baru. Itu berarti juga mereka berada ditengah-tengah kebudayaan yang mereka tidak terlalu kenal. Seperti dikatakan dalam hukum Newton ke-3, ketika kita ingin berpindah dari satu tempat ke tempat lain, maka kita harus meninggalkan sesuatu di belakang. Mereka meninggalkan banyak hal di belakang untuk pergi menyebarkan injil Tuhan.

Di lain sisi, penyebaran juga terjadi karena penganiayaan. Ini bisa dilihat lebih berat daripada yang pertama. Di awal kekristenan lahir dan berkembang, banyak sekali penganiyaan terjadi bagi mereka. Penganiayaan dari bangsa Romawi dan juga bangsa Yahudi seperti secara fisik, mental dan sosial. Salah satu penyebab utama kekristenan tidak mau menyembah Kaisar setengah dewa Romawi. Diantaranya pada tahun 64-68 M, Kekaisaran Romawi dipimpin oleh Nero banyak menganiaya Kristen, juga ketika dipimpin oleh Kaisar Domitian pada 89-96 M, oleh Kaisar Trajan diantara 109-111 M, oleh Kaisar Hadrian pada 117-138 M. Tidak heran karena Kristus sudah mempersiapkan pengikutNya: “Dalam dunia kamu menderita penganiayaan, tetapi kuatkanlah hatimu, Aku telah mengalahkan dunia” (Yoh. 16:33). Namun menarik, penganiayaan tersebut bukan membuat injil menjadi terhenti. Justru penganiayaan menjadikan injil semakin tersebut. Mungkin inilah yang dimasudkan juga bahwa Kristus “telah mengalahkan dunia”. Dunia dengan kuasanya (pengeniayaan) mencoba menghentikan injil tapi yang terjadi sebaliknya.

Ketika Tuhan berkarya maka Dia bisa memakai apa saja untuk menggenapkan segala rencanaNya. Secara positif, penginjilan dan secara negatif, penganiayaan. Prinsip dasarnya dua hal tersebut “bukan dari manusia” dan “bukan diinginkan manusia”. Justru ini menyatakan betapa berkuasanya Dia dan tidak ada yang bisa menghentikan rencanaNya. Dan semakin nyata bahwa Kristus memang mengalahkan dunia. Soli Deo Gloria


Rabu, 15 Oktober 2014

John Calvin


John Calvin lahir di Noyon, Prancis 1509. Ayahnya seorang pengacara yang makmur dan Calvin mengikuti jejak ayahnya. Dia belajar di universitas Paris, di dalam masa studinya, Calvin menyadari bahwa ia lebih condong pada golongan Protestan meskipun ia sendiri lahir dari keluarga Katolik.

Calvin lantas makin mendalami bidang teologia. Pada tahun 1536 ia memutuskan untuk pergi ke Strasbourg, namun dalam perjalanan terjadi sebuah perang lokal, sehingga ia harus memutar melewati Jenewa. Pada saat itu, Jenewa baru saja menerima reformasi yang dipimpin oleh Guillaume Farel. Farel mengenali Calvin seorang sarjana muda yang bertalenta, ia meminta Calvin untuk melayani dan mereformasi gereja-gereja di Jenewa bersamanya. Awalnya Calvin menolak, namun Farel terus mendesak sampai akhirnya Calvin menyanggupi permintaan tersebut.

Usaha Calvin yang ingin melakukan reformasi secara cepat berbanding terbalik dengan kondisi gereja Jenewa yang masih sulit meninggalkan tata cara gereja Katolik Roma. Hal ini lantas membuat Calvin meninggalkan Jenewa pada 1538 dan melanjutkan perjalanannya ke Strasbourg dan melayani jemaat Perancis yang ada di sana. Meskipun keadaannya miskin tetapi cukup menyenangkan baginya. Ia juga berkesempatan bertemu dengan para reformator yang lain.

Di saat keadaan Jenewa semakin kacau, dewan kota memanggil Calvin untuk kembali ke Jenewa. Tetapi Calvin enggan kembali karena ia sudah jatuh cinta pada pelayanannya di Strasbourg. Martin Bucer, temannya di Strasbourg menyatakan bahwa sekarang ia sudah bersikap seperti Yunus. Ia pun kembali ke Jenewa.

Segera sesudah kembali, Calvin memberlakukan pemerintahan gereja yang sangat ketat serta disiplin yang ketat yang berbasis pada Alkitab. Ia memaksa seluruh masyarakat Jenewa untuk mentaati seluruh disiplin ini tanpa batas umur dan kedudukan. Bertahun-tahun ia menghadapi perlawanan dari para pejabat sampai pada akhirnya mereka tersingkir dari pemerintahan dan pemerintahan kota dipimpin oleh orang yang pro-Calvin.

Di dalam pemerintahan Calvin, Jenewa menjadi sebuah contoh dari kota yang mengalami reformasi secara menyeluruh. Calvin juga mendirikan sekolah bagi mereka yang ingin belajar doktrin yang berbasis pada Alkitab yang langsung disambut meriah oleh para intelektual dari berbagai negara. Dengan adanya akademi ini, maka reformasi dan penyebaran akan ide-ide dari Calvin semakin tersebar dengan cepat sehingga mempengaruhi banyak tempat.

Semasa hidupnya ia banyak menulis risalah polemis, baik untuk melawan gerakan Anabaptis, Pelagianisme dan juga sebagian melawan para pendeta dari golongan Lutheran. Selain itu Calvin meninggalkan tulisan berupa tafsiran-tafsiran terhadap Alkitab dan bukunya mengenai pengajaran agama kristen yang begitu terkenal yaitu Institutio, yang berisi pengajaran dasar dari kekristenan, seperti pengertian terhadap Allah, Roh Kudus, kesatuan dengan Kristus, pembenaran oleh iman, dan tentang geraja. Calvin terus berjuang sampai akhir hayatnya dalam usia 55 tahun.

Martin Luther


Martin Luther lahir di Eisleben pada 10 November 1483 dalam keluarga yang saleh kovensional. Suatu ketika Luther mengalami sebuah peristiwa yang tidak akan dilupakannya. Saat itu dia hampir tersambar petir, sedangkan kerabatnya mati tersambar petir. Kejadian ini membuatnya takut akan kematian yang kemudian mendorongnya untuk masuk biara walau tidak mendapat dukungan ayahnya. Di sana, ia banyak belajar teologi dalam ordo Agustinus, dan 1508-1509 masuk Universitas Wittenberg.

Didalam kehidupan sebagai biarawan di biara Agustin Eremit, Luther sangat sensitif terhadap dosa-dosanya bahkan didalam sebuah tulisannya ia berkata “Saya seorang biarawan yang suci, yang dihadapan Allah merasa berdosa dengan kesalahan yang tidak bisa dipercaya secara hati nurani. Saya tidak merasa yakin bahwa bisa menyenangkan Allah melalui apa yang saya lakukan. Saya tidak mencintai Dia. Tidak, saya benci akan Allah yang ‘benar’ yang menghukum orang berdosa. Di dalam keheningan, saya tidak mengatakan apa-apa yang menghina Tuhan, tetapi masih mengeluh dan saya menjadi marah dengan Allah.

Luther terus bergumul sampai dalam suatu perenungan, ia akhirnya mengerti bahwa manusia tidak dibenarkan melalui perbuatan tetapi oleh kasih karunia Allah melalui iman. Sejak saat itu Luther mampu melihat keseluruhan Alkitab dengan cara yang berbeda.

Luther juga sangat menentang praktek penjualan surat pengampunan dosa (Indulgensia) dan untuk melawan Johan Tetzel, agen penjualan Indulgensia di Jerman, Luther menulis 95 tesis dan memakukannya pada papan pengumuman gereja  di Wittenburg. Hasilnya bukan sebuah perdebatan akademik melainkan sebuah perdebatan diantara orang-orang Jerman sendiri karena beredarnya tesis-tesis tersebut.

Pada 1520 Paus mengeluarkan Luther dari gereja Katolik Roma, satu keputusan yang paling ditakuti oleh umat karena paham bahwa di luar gereja Katolik Roma tidak ada keselamatan. Luther menanggapi keputusan tersebut dengan membakar surat keputusan Paus, hal ini lantas dianggap sebagai pemberontakan.

Pada 17 April 1521 ia tampil dihadapan kaisar dan memintanya untuk mencaput kembali ajarannya. Luther tidak bergeming, dengan mantap ia membuat sebuah pernyataan yang menjadi sejarah:  kecuali kalau saya diyakinkan oleh Alkitab dan pengertian yang jelas, karena saya tidak percaya pada paus dan konsili, sejak setiap orang mengetahui bahwa mereka berkontradiksi pada diri mereka sendiri. hati nuraniku telah tertawan oleh Firman Tuhan dan saya tidak dapat kembali ke belakang karena tidak aman dan tidak benar melawan hati nurani. Disini saya berdiri, saya tidak dapat melakukan yang lain, Tuhan tolong saya, Amin.

Pada 18 Februari 1546 Luther meninggal di Eisleben, Jerman, namun kematian Luther tidak memadamkan semangat reformasi di seluruh dunia. 

Senin, 22 September 2014

Tentang Filsafat

Ada beberapa orang yang mungkin bertanya: Mengapa belajar filsafat? Pertanyaan ini tentu adalah pertanyaan yang baik karena menggunakan kata tanya “why”. Karena seringkali kita bertanya tentang “how” bukan tentang “why”. Tapi pertanyaan ini bisa menjadi suatu pertanyaan sinis yang sebenarnya tidak terlalu peduli apa pun jawaban atau tanggapan yang diberikan. Kita tidak akan pernah tahu mengapa, kalau tidak mencoba mengenal apa. Mengapa saya pakai gunting? Ini tidak akan jelas sebelum kita tahu gunting itu apa. Ketika kita tahu gunting adalah alat bantu untuk memotong sesuatu, kita tahu bahwa kita pakai gunting untuk memotong sesuatu. Maka dalam hal ini bisa dikatakan bahwa pengenalan mendahului penjelasan. Pengenalan yang tepat akan membawa kita pada penjelasan yang tepat pula. Maka sikap yang seharusnya lebih dulu diberikan adalah mengenal filsafat itu apa. 

Dalam arti katanya, filsafat berasal dari bahasa Yunani: philos (pencari, pencinta) dan sophia (hikmat, pengetahuan). Ini menggambarkan natur manusia itu sendiri yaitu sebagai pencari/pencinta hikmat/pengetahuan/kebenaran. Entah kita benar-benar mencarinya atau tidak menyadari bahwa kita sedang mencarinya. Pencarian ini tidak melulu berarti masuk suatu pendidikan tertentu, misalnya SD, SMP, SMA, Sekolah Tinggi dan lain-lain. Pencarian ini menyangkut seluruh hidup dari berbagai macam orang yang ada di dunia ini: anak kecil sampai orang tua, perempuan serta laki-laki, buruh sampai pejabat, siswa dan juga guru. Pencarian ini dimulai karena beberapa hal: keheranan, keraguan/kesangsian, kesadaran akan keterbatasan. 

Keheranan (Wonder/Amazed)
Sebagaimana tertulis dalam nisan Immanuel Kant (1724-1804): “Coelum stellatum supra me, lex moralis intra me.” Yang mengherankannya yaitu langit berbintang-bintang diatasnya dan hukum moral dalam hati manusia. Keheranan menjadi titik tolak awal manusia berfilsafat. 

Dalam tingkat pertumbuhan manusia, ada keheranan-keheranan dalam setiap tingkatnya. Ada banyak anak kecil bertanya-tanya: Kenapa orang tuanya pergi? Kenapa kita harus pindah rumah? Dan lain-lain. Seiring bertambahnya usia, keheranan pun berbeda lagi. Pertanyaan-pertanyaan orang dewasa “tidak sama” seperti anak kecil tadi. Pertanyaannya menjadi: Kenapa saya kerja? Apa itu rumah? Dan lain-lain. Tapi sayang sekali, zaman sekarang “sense of wonder” ini sudah berkurang baik pada anak kecil atau pun orang dewasa. Pada umumnya orang tidak lagi “heran” terhadap sekitarnya. Yang ada itu kecenderungan sikap “emang gue pikirin” atau “jadi gue harus bilang wow gitu?” Karena itu tidak heran filsafat menjadi semakin terasing. Padahal filsafat adalah “usaha” manusia untuk terus mengenali segala yang mengherankannya. 

Keraguan/Kesangsian
Apakah yang dikatakan oleh si A itu memang benar? Bagaimana saya tahu bahwa yang dikatakan oleh si A itu benar? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini sering sekali ditanyakan oleh kita. Dari keraguan/kesangsian kita mulai mencari tahu lebih dalam lagi akan segala sesuatu. Orang yang tidak pernah memiliki keraguan, pasti tidak pernah mempunyai keinginan untuk terus lebih tahu segala sesuatu. Maka di satu sisi “keraguan” sangat baik untuk kita terus berkembang. 

Kesadaran akan keterbatasan
Suatu kali saya naik kapal yang besar dan kami mengarungi lautan dari Banjarmasin ke Semarang. Suatu perjalanan yang cukup lama, 2 hari. Di tengah lautan beberapa hari, menimbulkan suatu kesadaran keterbatasan. Waktu yang lain lagi, ketika itu di Siau mau pergi ke Pulau Makalehi, kembali kesadaran tersebut muncul. Saya sadar saya terbatas, saya sadar dunia begitu luas. Saya sadar saya kecil, saya sadar dunia begitu besar. Di atas semua itu, terlebih lagi Sang Pencipta saya dan dunia ini jauh lebih besar dari apa pun. Kesadaran keterbatasan semakin mendorong kita untuk terus merenungkan, memikirkan dan mempelajari segala hal yang ada. 

Pada akhirnya, sebagaimana dalam Mazmur 8, kembali dipertanyakan: “Apakah manusia sehingga Engkau (Tuhan) mengingatnya? Apakah anak manusia sehingga Engkau mengindahkannya?”

Filsafat adalah pengetahuan metodis, sistematis dan koheren tentang seluruh kenyataan.

Pertanyaan-pertanyaan filosofis oleh Berlin seperti: Apa itu waktu? Apakah waktu bisa tetap? Apakah semua manusia bersaudara? Bagaimana kita tahu bahwa manusia yang lain bukan khayalan kita sendiri? Apa arti masa depan? (What is time?, Can time stand still?, Are all men truly brothers?, How do I know that other human beings (or material objects) are not mere figments of my own mind?, What is the meaning of the future?) Pertanyaan-pertanyaan filosofis tidak dapat dijawab dengan mudah baik secara “empirical” dan “formal”. Karena sebagaimana dijelaskan diawal, suatu pertanyaan bisa dijawab hanya jika kita tahu kemana mencari jawabannya (“where to look for the answer”). Sedangkan pertanyaan filosofis bisa dibilang tidak dalam keranjang yang sama dengan 2 ilmu pengetahuan di atas. Isaiah Berlin menyebut pertanyaan filosofis itu seperti berada dalam keranjang lanjutan/tengah (intermediate basket). Dimana pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak dengan mudah digolongan ke dalam empirical atau formal. Pertanyaan-pertanyaan filosofis sebagian tentang fakta, juga nilai (value), sebagian tentang kata-kata dan simbol, yang lain tentang metode yang digunakan, ada juga tentang “presuppositions of thinking”, juga berkaitan natur dan tujuan. Bahkan ia menyatakan bahwa jawaban-jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan filosofis sulit dijawab karena kita tidak tahu dimana mencari jawabannya: tidak ada di kamus, di ensiklopedia, compendia of knowledge, tidak ada para ahli, tidak ada para orthodoxies yang bisa menjawab dengan pasti. Terlebih lagi pertanyaan-pertanyaan tersebut ada yang bersifat umum dan ada tentang prinsip. Jadi tidak bisa dijawab oleh “the empirical” dan “the formal” karena tidak bisa diuji dalam dan melalui kategori tersebut.

Segala bentuk kajian filsafat sangat berdampak pada kehidupan manusia. Secara sadar atau tidak sadar, kajian filsafat tertentu memberikan dampak tertentu pada manusia. Ada yang membawa ke arah lebih baik, ada juga yang membawa pada kesengsaraan dan kegagalan manusia. Tugas filsafat adalah mengkaji model-model mana, bagaimana pola/struktur (pattern) dan apa akibatnya termasuk juga mengapa model-model yang berjalan selama ini tidak kebal atau tidak berjalan baik. Sehingga manusia menjadi lebih terbuka dan diterangi pengertian yang lebih baik lagi. Dan manusia tidak berjalan dalam kegelapan dan ketidakjelasan.

Referensi:
Pintu Masuk ke Dunia Filsafat oleh DR. Harry Hamersma
The Purpose of Philosophy oleh Isaiah Berlin (1909-1997)

Sabtu, 23 Agustus 2014

Pemeliharaan Tuhan

Roma 11:33-36 dan Ayub 42:2

Pemeliharaan Allah dikenal juga dengan istilah Providence of God. Providence artinya “melihat sesuatu sebelumnya atau lebih dahulu” atau “menyediakan untuk.” Allah adalah Allah yang memelihara ciptaanNya. Sejak semula Allah sudah mempunyai rencana yang indah. Ia mencipta bukan untuk menghancurkan ciptaan. Ia mencipta karena memiliki suatu rencana yang indah. Dan Ia menyatakan pemeliharaan atas ciptaanNya dengan hikmat, kuasa dan kedaulatanNya.

Pemeliharaan Tuhan tidak begitu terasa bagi kita yang mungkin selama ini menjalani hidup seolah-olah baik-baik saja. Mungkin kita tidak perlu banyak memikirkan tentang makanan kita atau harta kita. Kita sudah mempunyai semua itu. Kita juga mungkin tidak terlalu kuatir karena selalu ada keluarga dan teman-teman di sisi kita dalam keadaan apa pun. Pemeliharaan Tuhan tidak terlalu terasa saat kelancaran dan kenyamanan. Pemeliharaan Tuhan begitu terasa saat kita berada dalam kesusahan dan kesulitan. Tapi dalam keadaan apa pun, Tuhan terus pelihara kita.

Dalam keadaan lancar dan semua baik-baik saja, jangan kita lupa bahwa itu karena topangan Tuhan. Ingat tentang Israel yang menerima manna dari surga (Keluaran 16)? Pernahkah kita pikir kenapa manna itu diperbolehkan ambil cukup untuk satu hari saja? Kenapa Tuhan tidak berikan satu kali saja untuk satu minggu? Atau untuk satu bulan? Bangsa Israel pun tidak perlu repot untuk terus ambil tiap pagi. Yang terjadi kalau manna itu coba disimpan untuk persediaan makanan esok hari maka yang terjadi adalah manna tersebut jadi busuk. Manna diberikan hanya untuk hari itu saja. Jadi bangsa Israel perlu mengambil manna setiap pagi tiap harinya. Kenapa demikian? Supaya mereka terus bersandar dan berharap pada Tuhan setiap hari. Supaya dalam keadaan lancar dan kecukupan pun, mereka ingat bahwa itu bergantung pada pemeliharaan Tuhan. Mereka harus terus setiap pagi berdoa memohon pada Tuhan memelihara hidup mereka hari itu, kemudian membuka pintu tenda mereka dan mengambil apa yang Tuhan berikan hari itu.

Dalam keadaan sulit pun, kita ingat bahwa ada pemeliharaan Tuhan yang tersembunyi sehingga kita bisa sampai masuk dalam keadaan demikian. Tokoh paling mudah untuk kita renungkan dalam hal ini yaitu Yusuf dan Ayub. Yusuf adalah anak kesayangan Yakub yang mana membuat saudara-saudaranya iri. Saudara-saudaranya dengan maksud jahat mau menjauhkan Yusuf bahkan terpikir untuk membunuh Yusuf. Tapi akhirnya mereka menjual Yusuf. Ini sangat menguntungkan: Yusuf disingkirkan dan mereka dapat uang. Singkat cerita, Yusuf sampai ke Mesir dan bahkan menjadi orang kedua terpenting di Mesir. Akhirnya, keluarga ini pun bertemu kembali dengan posisi dimana saudara-saudara Yusuf minta tolong pada Yusuf yang saat itu belum mereka ketahui bahwa itu Yusuf. Ini merupakan kesempatan untuk membalas kejahatan yang sudah dikerjakan oleh saudara-saudara Yusuf. Pembalasan yang sempurna ketika orang yang jahat terhadap kita dalam keadaan helpless dan kita dalam posisi di atas dimana hidup mereka bergantung pada kita. Dimana kita menjadi penentu atau solusi bagi orang yang merugikan kita. Tapi Yusuf tidak memanfaatkan posisi tersebut, ia mengatakan kalimat terindah dan teologis yang begitu dalam: "Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan, dengan maksud melakukan seperti yang terjadi sekarang ini, yakni memelihara hidup suatu bangsa yang besar (Kej. 50:20)."

Demikian juga Ayub, orang yang saleh dan begitu takut Tuhan. Namun ia, dengan alasan tidak begitu jelas mengalami penderitaan yang harusnya tidak ia alami. Kehilangan harta dan ternaknya, anaknya dan isterinya. Dan temannya hanya tersisa beberapa orang saja. Sampai pada suatu titik nol dimana akhirnya dia mempertanyakan keputusan Tuhan atas hidupnya. Tuhan tidak menjawab Ayub dengan memulihkan keadaanya segera. Tapi Tuhan justru bertanya balik, yang intinya mau menyatakan apakah Ayub berhak bertanya dan meragukan keputusanNya. Respon Ayub menunjukkan kerendahan hatinya: “Aku tahu, bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencana-Mu yang gagal” (Ayub 42:2).

Iman Kristen adalah iman yang percaya pada pemeliharaan Tuhan dalam keadaan apa pun. Ketika yang kita alami kelancaran, maka kita percaya bahwa itu adalah topangan Tuhan. Dan kita harus tetap terus bersandar pada Tuhan. Ketika kita masuk dalam keadaan yang tidak nyaman, itu pun tidak lepas dari pemeliharaan Tuhan yang mungkin sangat sulit terlihat. Karena pemeliharaan Tuhan nyata atas setiap ciptaan, terlebih lagi atas umat pilihanNya.

Rabu, 20 Agustus 2014

Ibadah di Dunia dan Ibadah Sorgawi (Wahyu 4:1-11)

Kehidupan kita di sini merupakan latihan rohani menuju kehidupan yang akan datang di dalam Kristus. Salah satu latihan rohani yang penting bagi pertumbuhan iman kita yaitu ibadah. Marva J. Dawn mengatakan: “My major concern for the Church has to do with worship, because its character-forming potential is so subtle and barely noticed, and yet worship creates a great impact on the hearts and minds and lives of a congregation’s members. Indeed, how we worship both reveals and forms our identity as persons and community.” – Perhatian khusus saya pada ibadah gereja karena ibadah memiliki potensi untuk membentuk karakter secara tanpa disadari dan ibadah sangat dapat mempengaruhi hati, pikiran dan kehidupan umat Kristen. Bagaimana kita beribadah menyatakan dan membentuk identitas kekristenan kita secara pribadi dan bersama (Marva J. Dawn. Reaching Out without Dumbing Down : A Theology of Worship for This Urgent Time, Grand Rapids: Eerdmans, 1995, hal. 4). Ibadah sangat berperan dalam perubahan hati, pikiran dan sikap seseorang. Dengan kata lain dampak ibadah bagi diri kita secara pribadi sulit kita hindari dan masuk tanpa paksaan untuk merubah kita. Dari hal-hal yang sederhana sampai hal-hal besar dalam ibadah sangat mempengaruhi kita. Misalnya: durasi waktu beribadah, tempat atau setting ruangan ibadah, pilihan lagu dalam ibadah, susunan ibadah, siapa yang melayani dalam ibadah,  sikap hati dalam ibadah dan lain-lain. Ibadah yang memberi banyak waktu atau memiliki waktu lebih lama dalam menyampaikan firman Tuhan (kotbah) secara tidak langsung menekankan bahwa fokus ibadah tersebut adalah firman Tuhan. Sebaliknya, ibadah yang tidak mementingkan firman Tuhan dapat terlihat dari sedikitnya waktu yang dipakai untuk menyampaikan firman Tuhan.

Ibadah kita di dunia ini haruslah merupakan gambaran akan ibadah surgawi. Karena ibadah sangat besar pengaruhnya terhadap kita dalam menyikapi kehidupan yang akan datang. Hal ini dikatakan juga dalam Ibrani 8:5 mengenai ibadah di dunia sebagai gambaran dari ibadah surgawi, “Pelayanan mereka adalah gambaran dan bayangan dari apa yang ada di sorga, … .” Dalam Wahyu 4, Yohanes dinyatakan mengenai gambaran tentang ibadah surgawi. Beberapa hal diantaranya yaitu:

(1) Allah satu-satu yang bertahta (ayat 2-3)
Dalam ibadah yang bertahta adalah Tuhan Allah saja. Demikian yang digambarkan dalam Wahyu 4. Semua yang kita kerjakan dalam ibadah adalah untuk Tuhan. Dan merupakan respon kita di hadapan tahta Allah. Kita bisa dilayakkan berada di hadapan Allah karena Allah sudah lebih dahulu menebus kita di dalam Kristus. Ibrani 10:22, “Karena itu marilah kita menghadap Allah dengan hati yang tulus ikhlas dan keyakinan iman yang teguh, oleh karena hati kita telah dibersihkan dari hati nurani yang jahat dan tubuh kita telah dibasuh dengan air yang murni.”

(2) Kehadiran Kesucian Allah (ayat 5)
Ada sebuah lagu sekolah minggu yang kalimatnya demikian: “Dosa tak boleh masuk, Dosa tak boleh masuk. Surga tempat yang tinggi. Ada Bapa yang Suci. Dosa tak boleh masuk.” Lagu yang sederhana sekali namun mempunyai pesan yang sangat sesuai dengan apa yang diajarkan firman Tuhan. Dalam ibadah surgawi, Yohanes menyatakan ada kehadiran kesucian Allah. Demikian juga ibadah kita di dunia ini. Karena Allah adalah Allah yang suci dan kesucianNya dinyatakan dalam ibadah.

(3) Pujian pada Allah (ayat 8-11)
Nyanyian menjadi bagian ibadah yang memang sudah diajarkan oleh Alkitab. Nyanyian ada berbagai macam. Yang dimaksud di sini tentu adalah nyanyian pujian kepada Allah bukan pada manusia. Bayangkan suatu ibadah dimana terdapat banyak bangsa dan bahasa menyanyi bersama memuji Tuhan Allah. Karena "Anak Domba yang disembelih itu layak untuk menerima kuasa, dan kekayaan, dan hikmat, dan kekuatan, dan hormat, dan kemuliaan, dan puji-pujian!" (Wahyu 5:12).

Pasti setiap orang Kristen sudah tidak sabar lagi menantikan hari dimana kita menikmati bersama ibadah sorgawi. Dimana kita akan berada di hadapan Tuhan Allah Pencipta dan Penebus kita. Memang sekarang waktu itu belum tiba, namun kita bisa sedikit mencicipi ibadah sorgawi tersebut dalam ibadah yang kita kerjakan di dunia sekarang ini. 

Senin, 09 Juni 2014

Menanti Tuhan

Yesaya 40:31, tetapi orang-orang yang menanti-nantikan TUHAN mendapat kekuatan baru: mereka seumpama rajawali yang naik terbang dengan kekuatan sayapnya; mereka berlari dan tidak menjadi lesu, mereka berjalan dan tidak menjadi lelah.

Pesan keseluruhan kitab Yesaya adalah penghakiman (1-39) dan pemulihan (40-66). Yesaya berarti “the Lord is salvation”, anak amos yang kemungkinan masih ada hubungan keluarga dengan Raja Uzia (mungkin seperti keponakannya presiden/raja). Orang yang sebenarnya memiliki masa depan cerah. Bisa memilih untuk menikmati kenyamanan hidup karena ada hubungan keluarga dengan Raja. Yesaya diutus sebelum pembuangan kepada Kerajaan Yehuda sampai juga dalam masa pembuangan. Dia merupakan Nabi yang paling lama melayani dibandingkan dengan nabi yang lain yaitu selama 65 tahun (kira-kira sampai zaman Raja Hizkia). Hosea 45 tahun dipakai Tuhan melayani, Yeremia 40 tahun lebih, Mikha 20 tahun. Setiap nabi-nabi yang dipanggil Tuhan memiliki panggilan khusus yang mungkin berbeda satu sama lain. Dan ada yang mengatakan bahwa dia matinya digergaji. Sampai matinya pun, Yesaya tidak melihat karya keselamatan oleh Tuhan Allah atas umatNya.

Bukan hal yang mudah menanti keselamatan, pertolongan atau pimpinan Tuhan. Apalagi orang yang mengajarkan untuk menanti pertolongan Tuhan itu adalah orang yang juga tidak bisa menyelamatkan atau tidak mengalami keselamatan atas dirinya. Misalnya seperti Yesaya yang mengajarkan untuk menantikan pertolongan Tuhan, tapi dia sendiri matinya digergaji.

Menanti artinya tetap di satu tempat sampai sesuatu yang diharapkan terjadi (to stay in a place until an expected event happens, until someone arrives, until it is your turn to do something, etc). Tidak pernah satu hari pun kita lewati tanpa pengalaman ini. Menunggu anak-anak pulang sekolah. Menunggu suami atau isteri pulang dari kerja. Menunggu makanan diantarkan padahal kita sudah memesannya 20 menit yang lalu. Menunggu antrean di salah satu pusat perbelanjaan. Menunggu lampu lalu lintas atau kemacetan di jalan. Daftarnya bisa terus berlanjut dari hal-hal yang sederhana sampai yang lebih rumit dan menantang dalam hidup kita. Kita sering menunggu dalam hidup kita dan banyak tantangan yang kita hadapi. Menanti sesuatu yang pasti tapi tidak tahu kapan akan terjadi bukanlah hal yang mudah. Tidak heran penantian tersebut akan disertai keluhan dan ketidakpercayaan (lihat ayat 27). Apalagi kalau dalam konteks ini TUhan sendiri, Allah pencipta Langit dan Bumi yang Maha Kuasa tersebut berjanji akan menyelamatkan tapi tidak tahu sampai kapan harus menunggu Dia bertindak. Dan tidak jarang juga, akhirnya kita sendiri memutuskan untuk bertindak sesuai dengan apa yang kita pikir adalah yang terbaik untuk bisa kita kerjakan. 

Apa benefit/manfaatnya menanti Tuhan:

1. Mendapat kekuatan baru

Rajawali adalah burung yang memiliki "aerodinamika" yang sempurna. Dengan sayap yang lebih besar dari tubuhnya, rajawali memiliki kestabilan saat melayang-layang di udara. Karena kerja sayap lebih banyak untuk melayang dibandingkan untuk mengepak-ngepak, maka rajawali tidak pernah lelah saat berada di langit saat berada di langit. Rajawali mampu terbang melayang sepanjang hari, dibantu dengan arus udara. Sayap rajawali juga mampu membaca arus udara yang tidak teratur sehingga rajawali mampu menghindar dari gundangan dan mampu terbang dalam keadaan badai sekalipun. Untuk dapat terbang tinggi dan melayang-layang di udara, rajawali harus sabar menunggu hawa panas, sekalipun burung-burung lainnya beterbangan menikmati hembusan angin dan hangatnya sinar matahari.

Rajawali mendapat kekuatan baru dari angin yang terus mengangkatnya lebih tinggi lagi selagi ia menunggu waktu yang tepat untuk menangkap mangsanya. Kita mendapatkan kekuatan baru dari Roh Kudus ketika terus menanti dan berharap kepada Tuhan saja.

2. Mendapat sebuah perspektif yang lebih baik

Menanti dalam bahasa inggris juga berarti “To watch over.” Orang yang menanti Tuhan itu seumpama rajawali yang naik terbang ke tempat yang tinggi. Ini berarti memiliki perspektif yang lebih baik. Melihat dari tempat yang tinggi dan jauh seringkali memiliki penglihatan yang lebih baik secara keseluruhan. Lebih lagi digambarkan seperti bagaimana rajawali melihat dari tempat yang tinggi. Rajawali memiliki penglihatan yang begitu tajam. Bisa melihat kelinci kecil yang berjarak 3,2 km (3200 m)Rajawali bisa melihat ikan atau ular yang berada dalam air, kera di sela-sela pohon dari tempat jauh. Bahkan bisa memperbesar pandangannya (zoom natural, kalau handphone sekarang pakai zoom lens). Sedang kita harus memakai teropong yang zoom yang besar. Rajawali bisa melihat 8 kali lebih tajam daripada mata manusia.

Ada ungkapan seperti ini “the closer you look, the less you see.” Kita harus belajar melihat dari atas, dari sudut pandang Allah. Kita harus belajar mengerti rencana besar Allah. Salah satunya dengan cara Triangle perspektif (mis. Aku, Masalahku dan Tuhan).  

Melihat dari atas berarti melihat dari sudut pandang Tuhan Allah. Dengan demikian kita menyadari Allah seperti apa yang kita sembah. Ia adalah Allah yang bertindak secara aktif dalam mencipta, membentuk dan mengatur ciptaanNya. Istilah “create”, “form” dan “make” disejajarkan dalam Yesaya 45:18. Ia mencipta bukan tanpa rencana. Ia bukan Allah yang mencipta kemudian pergi membiarkan ciptaan berjalan sendiri seperti seorang pembuat jam. Ia adalah Allah yang memiliki pandangan dan rencana yang begitu luas. Bukan hanya untuk diri kita seorang tapi semua orang, semua bangsa, Kerajaan Allah. Ia adalah Allah yang tak pernah lelah dan lesu menggenapi rencana-Nya.

Kenapa kita seringkali lelah dan lesu dalam menjalani hidup, dalam pekerjaan, keluarga dan bahkan lelah dengan diri kita sendiri? Karena kita seringkali mengandalkan kekuatan diri sendiri. Tuhan Yesus mengatakan: “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Kupun ringan” (Matius 11:28-30). Marilah kita yang lelah letih lesu datang kepadaNya dan mengandalkan kekuatanNya. Karena Ia tidak pernah lelah, dan kukNya enak dan bebanNya ringan.

Senin, 19 Mei 2014

Pelayan Yang Melarikan Diri

Renungan ini merupakan refleksi dari kotbah Pdt. DR. Stephen Tong mengenai “Pelayan yang Melarikan Diri.” Yang mana kotbah ini diterbitkan menjadi buku kecil oleh penerbit Momentum. Pelayan yang digambarkan melarikan diri adalah Yunus. Dalam kitab Yunus jelas kita dapat melihat orang seperti apa Yunus ini. Yunus adalah seorang pelayan yang tidak sopan, tidak hormat dan tidak takut pada Tuhan. Sulit jadi teladan kita. Bagaimana kita dapat mengetahui semua kegagalan Yunus? Karena Yunus sendiri yang memberitahukan semua kegagalannya secara mendetail! Di sinilah justru letak keagungan sifat Yunus. Keagungan seseorang tidak terletak pada kebesarannya, kehebatannya, maupun kesuksesannya (yang sering dikejar oleh hamba-hamba Tuhan maupun orang Kristen). Namun, keagungan jiwa justru terlihat pada saat seseorang menceritakan dengan rela kegagalanya, kekurangannya, dan ketidakbaikannya.

Kitab suci begitu terbuka memaparkan kelemahan dan kekurangan hamba-hamba Tuhan yang teragung. Nuh pemabuk, Abraham pernah berbohong (Kej. 12:10-20; 20:1-18), Yakub memiliki 4 isteri dan juga penipu, Daud berzinah dan  pembunuh, Petrus cepat emosi, Paulus pembunuh, Gideon selalu lemah iman, Martha kuatir, Sarah tidak sabar, Elia depresi, Musa tidak pandai bicara, Zakeus pendek, dan seterusnya. Kenapa alkitab mengangkat hal-hal demikian? Karena alkitab menyatakan bahwa bagaimana Tuhan yang suci dapat mengubah orang najis menjadi orang suci, Tuhan mengampuni kesalahan-kesalahan manusia serta memberikan kekuatan kesucian kepada mereka yang taat pada Dia. Alkitab berbeda dengan buku biografi yang selalu mengangkat kelebihan dan hal-hal baik saja.

Selain itu setiap kita pasti memiliki pergumulan. Demikian juga seorang pelayan Tuhan ini, Yunus memiliki pergumulan yang unik. Pergumulan Yunus:

1.      Lepas dari Ikatan konsep rasisme. Orang Yahudi bersyukur kepada TUhan 3 hal: laki-laki bukan perempuan, tuan bukan budak, yahudi bukan kafir. Di dalam gereja tidak ada persoalan pribumi/nonpribumi. Tidak ada persoalan ras, kelas, laki-laki/perempuan, tuan/budak. Semua menjadi satu dalam Kristus. Kalau semangat ini belum kita ketahui berarti kita belum menjadi Kristen yang baik. Demikian penginjilan bukan hanya untuk orang tertentu saja, tapi semua orang/suku/bahasa/kelas dll.

2.      Lepas dari konsep Ilahi yang tidak benar. Melayani Tuhan harus memiliki konsep ketuhanan yang benar. Yunus mengira mempunyai pengenalan Allah yang sangat tepat tetapi ketepatannya itu ternyata meleset. Yunus tahu Allah mengasihi tapi pandangannya begitu sempit yaitu mengasihi yang tertentu saja.

3.      Lepas dari sikap pembenaran diri. Yunus menganggap diri benar dan berhak untuk marah kepada Allah. Ia membenarkan diri sampai pada tahap ini. Ia menganggap dirinya mutlak benar. Namun Tuhan mendidik Yunus dengan sabar. Ketika Yunus tertidur, tumbuh pohon jarak untuk menaungi Yunus. Bila dalam pelayanan kita menjumpai sedikit kesulitan, kita langsung marah. Tetapi ketika ada anugerah, hal itu kita anggap wajar dan biasa saja. Sewaktu Sewaktu motivasi pelayanan kita lepas dari perhitungan untung-rugi, baru kita dapat dipakai Tuhan.

4.      Lepas dari cara menilai hidup. Yunus mencintai pohon jarak yang melindungi kepalanya. Walaupun pohon tersebut tumbuh dengan sendirinya. Tuhan mengajarkan Yunus cara melihat dan menilai sesuatu. Bahwa demikian juga Tuhan yang terlebih lagi mencintai manusia (anak kecil niniwe) yang tidak bisa membedakan tangan kanan dan kiri. Konsep nilai yang seharusnya: yang besar itu besar, yang kecil itu kecil; yang penting itu penting, yang harus dikerjakan itu harus dikerjakan.

Ketika kita belajar dari tokoh-tokoh alkitab kembali kita diingatkan bahwa Tuhan yang besar memakai kita yang kecil dan terbatas untuk pekerjaan tanganNya. Dan akhirnya yang memperlengkapi juga adalah Tuhan. Hasilnya pun adalah untuk kemuliaan Tuhan saja.


Soli Deo Gloria !

Selasa, 13 Mei 2014

Miskin di Hadapan Allah

Matius 5:3 - “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.”

Kemiskinan seringkali diidentikan dengan hal materi. Orang yang miskin artinya orang yang kekurangan secara materi. Orang miskin adalah orang yang sulit memenuhi kebutuhan dasar (makanan dan bukan makanan). Yang menurut perhitungan di Indonesia itu yang penghasilannya 200-300rb per bulan. Dan ini hal yang paling kita sadari. Semua orang menghindari untuk menjadi miskin. Semua orang tidak ingin hidup kekurangan. Kita selalu ingin untuk berkecukupan dalam segala hal. Selain itu, kemiskinan sering disejajarkan dengan kejahatan. Semakin tinggi angka kemiskinan, semakin tinggi angka kejahatan. Kenapa seseorang mencuri, merampok, menipu, menculik? Pasti karena dia kekurangan uang.

Di dalam alkitab sendiri tidak dikatakan bahwa orang kaya itu orang yang dekat Tuhan atau orang miskin itu dekat dengan Tuhan. Alkitab mencatat bahwa ada pemuda kaya yang datang kepada TUhan Yesus yang menyatakan bahwa dirinya sudah melakukan hukum Taurat sejak kecilnya. Memang orang Yahudi diajarkan dari kecil mulai membaca alkitab, mengerti arti alkitab dan berbagian dalam ritual-ritual keagamaan. Tapi ketika pemuda kaya tersebut diperintahkan oleh Tuhan Yesus untuk menjual segala miliknya agar memberikannya kepada orang miskin dan mengikut TUhan Yesus. Ternyata ia tidak bisa, karena ia tidak mencintai Tuhan lebih daripada harta kekayaannya. Alkitab juga mencatat orang kaya yang cinta Tuhan misalnya Abraham, Ishak dan Yakub. Rela mengikut Tuhan walaupun sebenarnya kehidupan mereka sudah sangat nyaman sekali di negeri tempat tinggal mereka.

Di sisi yang lain, alkitab juga menceritakan bahwa ada orang miskin yang adalah pencuri kemudian ikut Tuhan Yesus tapi tetap jadi pencuri yaitu Yudas. Namun ada juga janda miskin yang tidak mempunyai apa-apa lagi namun mencintai TUhan. Ia mempersembahkan dua peser yaitu segala yang dimilikinya untuk Tuhan (Mark. 12:42).

Seperti apakah yang dimaksud dengan sikap hati yang miskin di hadapan Allah?

Lemah dan Tidak Berdaya (Helplessness)
Orang yang miskin adalah orang yang lemah dan tak berdaya. Orang yang sangat memerlukan pertolongan orang lain di dalam hidupnya. Orang itu tidak dikatakan miskin kalau tidak sampai pada titik ketidakberdayaan dimana ia membutuhkan pertolongan orang lain.

Ada orang kelihatan miskin, tapi sebenarnya tidak miskin. Ada berita di media (kompas) menyampaikan bahwa ada 2 warga subang, jawa barat yang berumur  54 dan 60 tahun yang sering menjadi pengemis di Pancoran, Jakarta Selatan. Mereka berpura-pura entah lumpuh atau paling tidak berpenampilan yang membuat orang lain menjadi kasihan kepada mereka. Mereka biasa mengemis pada malam hari. Dan baru 15 hari mengemis sudah mendapatkan penghasilan 25 juta. Diketahui sesudah ada petugas memeriksa pengemis tersebut, mereka terkejut karena menemukan uang berantakan di dalam satu kantong plastik yang dibawa pengemis berisi 7 juta. Kemudian petugas memeriksa kantong-kantong lainnya yang totalnya sekitar 25 juta. Ini bukan orang miskin. Kelihatannya miskin tapi tidak. Orang miskin adalah orang yang sungguh-sungguh lemah dan tak berdaya.

Dalam Perjanjian Lama, orang miskin digambarkan sebagai orang yang tertindas dan sengsara (Mzm 34:7, 40:18). Dan selalu dilanjutkan dengan suatu seruan petolongan kepada Tuhan. Agar Tuhan mengingat dan menyelamatkannya. Menjadi miskin berarti menjadi lemah dan tidak berdaya, tidak mempunyai hak, dan tidak mempunyai kemampuan untuk membela dan menyelamatkan diri sendiri. Mereka adalah orang yang bangkrut di dunia ini, yang karenanya kemudian mempercayai Tuhan sebagai satu-satunya harapan bagi perlindungan serta pembebasan mereka.

Saya pernah ngobrol dengan seorang pengamen di cikarang ini, saat itu memang dengan misi penginjilan (saya bagi traktat ke dia). Dia cerita bahwa dulu bekerja di kapal. Tapi pindah profesi jadi pengamen. Dia cerita bahwa kalau ngamen biasanya sehari itu dapat 200-300rb. Saya agak terkejut. Kalau orang ngamen sehari dapat segitu berarti sebulan bisa 6-9jt. Pantesan sampai sekarang ia ngamen. Ini bukan miskin. Kelihatannya miskin karena pakaian dan gaya hidupnya tidak begitu mewah. Ia tidak sedikit pun sebenarnya merasa lemah dan tidak berdaya.

Ketika kita sudah menjadi Kristen, sikap hati lemah dan tidak berdaya lama kelamaan mulai hilang. Kalau kita ingat pertama kali kita berkomitmen untuk hidup sebagai seorang Kristen, ada suatu kesadaran dalam diri kita bahwa kita lemah. Tapi lama-kelamaan kesadaran itu mulai hilang. Kita dibentuk menjadi Kristen yang kuat. Ini benar di satu sisi, tapi kita meninggalkan sisi yang lain. Apalagi lingkungan kita sering membentuk kita menjadi strong man atau strong woman. Semakin dewasa artinya semakin mandiri, tidak bergantung dengan orang lain. Semakin dewasa artinya malah semakin bisa menanggung beban orang lain juga. Ini jelas salah. Alkitab tidak pernah mengatakan bahwa semakin dewasa secara rohani berarti menjadi tidak bergantung dan selalu bisa menanggung beban orang lain. Atau dengan kata lain semakin dewasa rohani menjadi pahlawan rohani bagi yang lain. Ini bukanlah pandangan yang sepenuhnya tepat diajarkan oleh alkitab.

Semakin dewasa rohani artinya semakin melihat diri lemah dan tak berdaya tanpa pertolongan Tuhan. Semakin dewasa rohani artinya semakin bergantung pada Tuhan. Musa, selama di Mesir menerima pendidikan yang terbaik dan pasti dididik menjadi pemimpin bagi orang mesir. Dalam suatu film “Ten Commandments” memperkirakan bahwa musa pun sebenarnya pernah memimpin pasukan perang Mesir dan berhasil memperoleh kemenangan. Juga pernah terlibat dalam pembangunan Mesir misalnya pembangunan Piramida dll. Namun dalam satu titik di hidupnya ia merasa begitu lemah. Sampai ketika Tuhan bertemu Musa untuk menyatakan misiNya membebaskan orang Israel, musa menjadi begitu minder sekali. Bahkan sampai mengatakan bahwa ia tidak bisa berkata-kata sedikit pun. Ini sebenarnya self-pity yang berlebihan. Namun di sisi lain, sikap musa ini menyatakan bahwa ia sadar ia lemah dan tak berdaya. Ia sadar bahwa ia perlu pertolongan daripada Tuhan.


Sebagai orang Kristen kita tidak dibentuk untuk menjadi orang-orang kuat dan pahlawan rohani yang selalu kelihatan baik-baik saja. Tapi sebagai orang Kristen kita dibentuk untuk terus menyadari kelemahan dan ketidakberdayaan kita di hadapan Allah. Dan bukan berhenti di situ saja tapi menyadari dan mengakui bahwa pengharapan kita hanya ada pada Allah saja

Sabtu, 05 April 2014

A Short Biography: John Knox


John Knox lahir sekitar tahun 1513 di Haddington, tidak jauh dari Edinburgh. Ia belajar di Universitas St. Andrews lalu ditahbiskan. Pada umur 30 tahun ia pindah ke Protestan. Ia sangat terkesan oleh teman sezamannya George Wishart, yang berkotbah tanpa takut dan membayar dengan nyawanya ketika di bakar di St. Andrews pada tahun 1546. Selama 13 tahun berikutnya Knox merantau ke mana-mana. Ia menjadi budak kapal Perancis selama 19 tahun setelah ikut dalam pemberontakan di St. Andrews yang gagal. Ia berada di Inggris pada bagian akhir pemerintahan Edward VI dan ikut dalam tahap-tahap terakhir penyelesaian Book of Common Prayer dari Cranmer pada tahun 1552.

Ketika Mary naik tahta pada tahun 1553, ia melarikan diri ke daratan Eropa. Untuk sementara waktu ia menjadi gembala jemaat di Inggris dalam pelarian di Frankfurt, tempat ia terlibat dalam pertikaian. Knox dan yang lain sudah beranjak lebih jauh dari Book of Common Prayer dan memperkenalkan pola kebaktian yang lebih banyak lagi bersifat Calvinis. Akan tetapi pengungsi yang lain menyuruh Richard Cox untuk menegur John Knox. Mereka mengatakan bahwa ingin memiliki gereja berawajah Inggris. Knox menjawab, “Semoga Tuhan memberikan, supaya gereja itu berwajah Kristus.” Perselisihan ini menjadi pendahulu dari konflik Puritan yang berlangsung selama pemerintahan Elizabeth I, ketika satu pihak menghendaki agar Book of Common Prayer dipertahankan, sedangkan pihak lain menghendaki Reformasi yang lebih jauh sesuai dengan gereja-gereja Calvinis di daratan Eropa.

Pada tahun 1559 Knox kembali ke Skotlandia dan membantu memperbaharui gereja di sana. Dengan bantuan orang lain, ia menyusun Book of Discipline (Buku Disiplin, 1561) dan Book of Common Order (Buku Aturan Umum, 1564). Ia juga merupakan tokoh terpenting diantara “enam John” (yaitu enam Reformator Skotlandia bernama John), yang dalam waktu empat hari menyusun Scots Confession (Pengakuan Iman Skotlandia). Pengakuan Iman ini diterima Parlemen Skotlandia dan menjadi Pengakuan Iman Gereja Reformasi Skotlandia sampai tahun 1647, ketika Pengakuan Iman “Westminster” menggantikannya. Karya terbesarnya adalah History of the Reformation of Religion within the Realm of Scotland (Sejarah Reformasi Agama dalam Kerajaan Skotlandia), yang baru terbit secara lengkap pada tahun 1644. Knox meninggal tahun 1572.

Berikut kutipan dari Pengakuan Iman Skotlandia:

Bahkan setelah kita lahir kembali, kalau kita katakana bahwa kita tidak mempunyai dosa, kita membohongi diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada dalam diri kita. Oleh sebab itu, kita berpegang pada Yesus Kristus, pada kebenaranNya dan perdamaianNya karena Ia adalah tujuan dan perwujudan Taurat; juga karena kita dibebaskan oleh Dia supaya kita tidak kena murka Allah, walaupun kita tidak memenuhi Taurat secara menyeluruh. Sebab, kalau Allah melihat kita di dalam tubuh AnakNya Yesus Kristus, Ia akan menerima ketaatan kita yang tidak sempurna seolah-olah sempurna dan pekerjaan kita yang penuh noda ditutupiNya dengan kebenaran AnakNya (Scots Confession/Pengakuan Iman Skotlandia 15).

Rabu, 19 Februari 2014

A Short Biography: William Tyndale


William Tyndale lahir tahun 1490an di perbantasan Wales. Ia dididik di Magdalena Hall, Oxford dan kemudian di Cambridge. Kemudian ia menjadi tutor pada keluarga Sir John Walsh di Little Sodbury, di sebelah utara kota Bath. Sewaktu tinggal pada keluarga tersebut, Tyndale mengalami sendiri ketidaktahuan rohaniawan setempat. Kepada seorang rohaniawan, ia dilaporkan pernah mengatakan bahwa “sekiranya Allah member aku umur panjang, maka dalam waktu yang tak terlalu lama akan aku ajarkan anak yang membajak itu sehingga mengetahui lebih banyak alkitab daripada engkau sekarang.” Satu-satunya terjemahan Inggris dari Alkitab pada zaman itu adalah alkitab Wycliff yang disebar oleh pengikut-pengikut Wycliff yang disebut kaum Lollard. Gereja Inggris telah melarang penerbitan alkitab dalam bahasa Inggris sejak 1408. Tujuan Tyndale adalah untuk membuat terjemahan baru yang lebih cermat berdasarkan naskah aslinya dalam bahasa ibrani dan yunani. Ia mengharapkan lindungan Cuthbert Tunstall, uskup London yang terpelajar dan sahabat Erasmus. Namun, para uskup lebih memikirkan cara membendung penyebaran ide-ide Luther ke Inggris sehingga tidak mau mendorong penelaahan alkitab.

Jelas Inggris bukan tempat yang aman untuk menerjemahkan alkitab, sehingga Tyndale berangkat ke Jerman pada tahun 1524 dan ia tidak kembali lagi. Pada awal 1525, Perjanjian Baru siap untuk dicetak. Sewaktu sedang dicetak di Koln, phikah yang berwajib diberitahu dan mereka menggerebek percetakan itu. Tyndale sempat melarikan diri sambil membawa beberapa halaman yang sudah dicetak. Kemudian dicetak terbitan-terbitan berikut yang sudah diperbaiki. Pada tahun 1530, terjemahan Tyndale dari Pentatuekh (Kejadian sampai Ulangan) diterbitkan di Antwerpen, tempat tinggalnya saat itu.

Perjanjian Baru versi Tyndale diselundupkan ke Inggris. Pada akhir tahun 1526, Tunstall berkotbah melawannya dan secara formal beberapa eksemplar dibakar di St. Paul’s Cross. Tahun berikutnya Uskup Agung Warham dari Canterbury membeli sejumlah besar. Dengan demikian sebenarnya memungkinkan biaya percetakan ulang. Terjemahan Tyndale sangat besar pengaruhnya. Karena itu Tyndale disebut sebagai “Bapa Alkitab Inggris.” Hampir dapat dikatakan bahwa setiap Perjanjian Baru berbahasa Inggris sampai dengan abad lalu hanya merupakan penyempurnaan dari karya Tyndale. Kira-kira 90 persen dari kata-kata dalam karya Tyndale dipakai lagi dalam King James Version (Alkitab terjemahan versi Raja James) dan 75 persen dalam Revised Standard Edition (Alkitab Edisi Standar yang sudah diperbaiki).


Tyndale merencakan untuk menterjemahkan seluruh Perjanjian Lama. Tetapi pada tahun 1535, ia dikhianati oleh orang senegaranya di Antwerpen dan ditangkap. Tahun berikutnya ia dicekik dan dibakar. Kata-kata terakhirnya: “Tuhan bukalah mata Raja Inggris.” Apakah doa ini berpengaruh, kita tidak tahu, tetapi Raja Henry VIII, atas desakan Thomas Cranmer mengizinkan penerbitan-penerbitan alkitab terjemahan Inggris sejak tahun 1535, yang semuanya banyak mengambil dari Tyndale. Kesemuanya ini meratakan jalan masuknya gagasan-gagasan protestan pada masa pemerintahan Edward VI.

Senin, 17 Februari 2014

Kaya di Hadapan Allah

Lukas 12:13-21

Dengan kejelasan secara ilahi, Kristus melihat konflik yang terjadi diantara kita semua disebabkan oleh cinta akan uang (bandingkan 1 Timotius 6:10), meskipun Dia hidup di zaman ketika kebutuhan orang-orang sepertinya lebih mudah dipuaskan daripada di zaman kita sekarang. Faktanya, memang uang berperan dalam kehidupan kita. Pada umumnya, dengan uang kita dapat tenang menjalani hidup, tanpa uang kita akan terus gelisah dan kuatir. Mencari uang tidaklah sepenuhnya salah. Menjadi salah ketika hal tersebut memperbudak kita. Dimana membuat kita melupakan Tuhan dan aspek hidup kita yang lain (misalnya kasih kepada sesama). Maka uang berpotensi menjadi mammon (satu lagi yaitu iblis) dalam hidup kita. Uang di tangan adalah kekuatan bagi yang memilikinya. Tetapi ketika apa yang ada di dalam tangan menentukan apa yang ada di dalam hati, maka apa yang sungguh-sungguh menggerakkan kita bukan lagi uang tetapi mammon (Mendekat kepada Allah, Abraham Kuyper). Salah satunya dalam hal menentukan penilaian terhadap segala sesuatu berdasarkan uang atau untung-rugi. Dan kita pasti tidak bisa mempunyai dua tuan (Matius 6:24). Tidak seorang pun dapat tunduk kepada Allah dan sekaligus tunduk kepada mammon. Orang-orang yang menyadari dirinya adalah hamba-hamba Allah mengerti bahwa uang itu melayani kita dan Tuhan. Dan tidak mudah tergoda akan hal-hal yang bersifat material dan sementara.

Orang kaya materi dan kaya rohani – Mungkin ada, tapi harus terus minta Tuhan selidiki hatinya apakah meninggikan Tuhan atau malahan mammon. Misalnya: Abraham, Ishak, Yakub.
Orang kaya materi dan miskin rohani – Orang memiliki harta duniawi dan mungkin sangat terikat, hatinya kosong (secara rohani) karena diisi dengan hal-hal yang bersifat sementara dan tidak mencintai Tuhan. Misalnya: Orang kaya (Lukas 12:13, 16-21), Orang muda kaya (Matius 19:16-23), Ananias & Safira (Kis. 5:1-11).
Orang miskin dan miskin rohani – orang yang tidak memiliki apa pun. Melihat kehidupan hanya menawarkan sedikit kebaikan tetapi penuh dengan masalah dan kekerasan hati yang tak pernah berakhir.
Orang miskin dan kaya rohani – Orang yang tetap melihat Allah terutama walaupun kesulitan secara materi. Misalnya: Lazarus (dalam perumpamaan Yesus, Lukas 16:20-22) dan Janda Miskin (Markus 14:42-44).

“Menjadi kaya di hadapan Allah adalah memiliki Dia, menjadi bait-Nya, membawa serta di dalam hati kita sesuatu yang suci dan mulia ke mana pun kita pergi. Menjadi kaya di hadapan Allah adalah disegarkan terus-menerus oleh sumber dari segala yang baik di hati seseorang yang paling dalam. Kekayaan yang diberikan Allah tidaklah terbatas sebab Dia kekal.” - Mendekat kepada Allah, Abraham Kuyper

Mendekat kepada Allah berarti memiliki keyakinan bahwa kekayaan kita ada di dalam Tuhan dan bukan dalam hal-hal dari dunia ini – dan kemudian menjalankan prinsip tersebut. - Mendekat kepada Allah, Abraham Kuyper

Minggu, 12 Januari 2014

Relasi Bapa-Anak (Father-Son Relationship)

Lukas 15:1-32 bertemakan tentang keterhilangan yang kemudian ditemukan. Tiga perumpamaan dalam Lukas 15 ini yaitu ada domba yang hilang, dirham yang hilang, anak yang hilang. Secara keseluruhan perumpamaan-perumpamaan ini menyatakan sikap Tuhan Yesus terhadap orang farisi dan ahli taurat yang mengeluh: “Ia menerima orang-orang berdosa dan makan bersama-sama dengan dia.” Sekarang ketika kita mendengar kalimat ini, kita mungkin berpikir bahwa ini adalah hal yang biasa. Tapi bagi orang farisi dan ahli taurat ini bukan hal biasa. Pada waktu itu ketika seseorang satu meja makan bersama, itu berarti ada suatu kesamaan derajat dan hak diantara mereka. Ketika Yesus satu meja makan dengan orang berdosa berarti itu menyamakan diriNya dengan orang berdosa. Dan hal ini tidak mungkin mau dilakukan oleh orang farisi dan ahli taurat. Melalui perumpamaan domba yang hilang, Tuhan Yesus mau membukakan cara pandang kita melihat orang berdosa. Orang berdosa bukan untuk dijauhi tapi untuk dijangkau dan dibawa kembali kepada Tuhan. Tidak bergantung pada kuantitas (jumlah) secara kasat mata: 1, 10, 100, 1000 dst. Satu orang manusia berdosa tetap merupakan satu jiwa yang berharga di mata Tuhan. Dan ketiga perumpamaan selalu dimunculkan adanya suatu sukacita besar ketika yang hilang kembali ditemukan. Gembala dan perempuan itu digambarkan memanggil sahabat dan tetangga untuk merayakan ditemukannya domba dan dirham yang hilang. Demikian juga ketika Sang Bapa menemukan anak yang hilang, Ia mengadakan suatu pesta yang begitu besar untuk merayakan kedatangan anaknya. Perbedaannya, dalam perumpamaan anak yang hilang ada respon dari anak bungsu yang mana kita akan merenungkan bersama pada hari ini.

Dalam kesempatan ini kita akan merenungkan bersama Lukas 15:11-32, “Seperti apakah relasi yang sejati antara umat Allah dengan Tuhan Allahnya”

Kita tahu bahwa pada umumnya keterhilangan itu di luar rumah, tapi di sini dicatat ada juga keterhilangan di dalam rumah. Kenapa bisa terjadi keterhilangan di dalam rumah? Karena Si sulung memiliki pengenalan yang salah terhadap Bapa. Dia melihat relasi Bapa-Anak berhenti pada pengertian Tuan-hamba. Ia melihat Bapa sebagai Tuan, anak itu hamba (bandingkan dengan Matius 20:11-12). Tuan itu mengikat dan tidak membuat hamba bebas mengerjakan apa yang hamba mau. Memang alkitab memakai beberapa gambaran mengenai relasi Tuhan dengan umatNya: Gembala-domba, Tuan-hamba, Mempelai laki-laki-Mempelai perempuan, Pokok Anggur-carangnya, Bapa-Anak dst. Karena itu pasti tepat kalau kita melihat diri sebagai hamba, Tuhan sebagai Tuan dan Raja hidup kita. Dan kita harus melakukan dengan taat dan setia terhadap apa yang dikehendakiNya. Selain itu, memang alkitab menekankan bahwa anak itu harus mentaati bapanya (Amsal 2:1; 3:1). Namun relasi Kristen bukan berhenti pada Tuan-hamba saja, tapi juga Bapa-anak memiliki keunikan tersendiri.

Jadi bagaimana seharusnya relasi Bapa-anak yang sejati (kita kepada Allah)? Ini dinyatakan dalam kalimat Bapa kepada anak sulung: “Anakku, engkau selalu bersama-sama dengan aku, dan segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu.” (Luk. 15:31)

1. “Selalu bersama dengan Aku.” Andrew Murray menyebutkan ini merupakan unbroken fellowship with Him. Ini merupakan hal yang begitu penting dalam kehidupan Kristen yaitu Tuhan bersama kita, kita bersama Tuhan. Ketika Ia mengikat perjanjian kepada Abraham kemudian meneguhkannya lagi kepada Ishak, Allah mengatakan: “Jangalah takut, sebab Aku menyertai engkau” (Kej. 26:24). Demikian juga Janji Tuhan kepada Yosua ketika Musa diangkat kemudian Yosua harus meneruskan memimpin Israel masuk ke tanah perjanjian: “seperti Aku menyertai Musa, demikianlah Aku akan menyertai engkau; Aku tidak akan membiarkan engkau dan tidak akan meninggalkan engkau” (Yoshua 1:5). Ketika Tuhan Yesus naik ke surga, Ia memberkati murid-muridNya dan berkata: “Dan ketahuilah Aku menyertai kamu hingga akhir zaman” (Matius 28:20). Ini merupakan suatu janji yang digenapi ketika kita dijadikan anak-anak Allah. Ini yang membedakan ikatan Bapa-anak dengan Tuan-hamba yaitu “selalu bersama”, ikatan yang tidak terpisahkan. Bukan “kadang-kadang”, “sementara” tapi “selalu bersama”. Sebagaimana dialami oleh Henokh dari hidup sampai akhir hidupnya dia bergaul dengan Tuhan Allah (Kej. 5:22-24).

Inilah juga yang membedakan kita, anak-anak Allah, dengan yang diluar kita. Seringkali kita menjadi lupa bahwa kita sebagai anak-anak Allah hidup bersama-sama dengan Dia dalam setiap langkah hidup kita. Kita sering lupa ketika menghadapi banyak penderitaan, masalah, sakit dan lain-lain. Ketika menghadapi itu semua, kita merasa seharusnya kita tidak mengalami segala pergumulan tersebut. Tapi yang lebih penting lagi dari semua itu yang harusnya tidak kita lupakan bahwa Allah tetap bersama dengan kita. Kita tidak dibiarkan sendiri ketika menghadapi segala pergumulan hidup kita. Ada suatu peristiwa menarik yang dicatat dalam Perjanjian Baru, Lukas 8:22-25. Ketika itu Yesus dan murid-murid naik perahu kemudian secara cepat datanglah taufan. Semua murid menjadi takut. Dan saat seperti itu, alkitab mencatat Yesus tertidur. Saat itu terjadi, seolah-olah Tuhan tidak peduli dan tidak berbuat apa-apa. Murid-murid mulai kehilangan iman. Tapi saat itu, Tuhan Yesus tetap bersama mereka. Kenapa mereka menjadi takut? Bukankah Tuhan Yesus bersama dengan mereka? Karena mereka lupa bahwa yang bersama mereka adalah Tuhan Allah Pencipta Langit dan Bumi dan segala isinya. Demikian juga, seringkali ketika taufan hidup menyerang kita, kita langsung menjadi takut dan lupa bahwa Tuhan bersama dengan kita. Mungkin Dia seolah-olah diam, tapi Dia tidak membiarkan kita sendirian, Dia tidak pernah meninggalkan kita.

Di sisi yang lain kita sering lupa hal ini ketika hidup kita mulai lancar dan nyaman. Kita mulai jarang berdoa, tidak terlalu lagi bergantung dan berharap kepada Tuhan sepenuhnya. Karena kita merasa ada banyak jaminan yang bisa kita pegang dalam hidup kita yang nyaman. Ini sama saja dengan membuang Tuhan dan mengindahkan keberadaanNya dalam hidup kita. Kita tidak lagi menghargai dan menghormati bahwa selama ini kita ada sebagaimana kita ada sekarang karena topangan dari Tuhan saja.

Relasi Bapa-anak berarti relasi yang tidak terputuskan. Relasi Bapa-anak yaitu relasi dimana kita terus bersama dengan Bapa yang menikmati kehadiranNya dalam setiap langkah hidup kita dalam titik terendah atau tertinggi dalam hidup kita.

2. “Kepunyaanku adalah kepunyaanmu.” Ini artinya Dia sudah memberikan segala sesuatu yang ada padaNya kepada anak-anakNya. “He has given us all things that are in Him.” Kalimat ini bisa disalahgunakan. Kita bisa saja mengerti ini bahwa kalau Tuhan berkuasa untuk menyembuhkan maka harusnya aku juga punya kuasa demikian. Kalau Tuhan yang empunya langit bumi dan segala isinya, maka aku pun berhak mempunyai paling tidak sebagian besarnya. Namun di sisi lain lagi yang begitu kontras, kita menjadi takut terhadap kalimat ini. Kita takut dipandang terlalu sombong bahkan kita menjadi lupa akan hal ini. Sehingga kita jadi tidak berani meminta apa pun kepada Tuhan. Dua respon tersebut salah.

Anak sulung melihat berbeda lagi. Ia melihat Tuan-hamba, jadi selama ini Ia tidak merasa semua adalah milik dia juga. Artinya selama ini ia tidak merasa ada relasi Bapa-anak tapi sebatas Tuan-hamba. Kalau kita membayangkan ada suatu interview kepada anak sulung, dia mungkin sekali mengatakan: “Segala yang ku miliki ini adalah karena usaha kerja keras ku. Bapa dulu langsung memberikan warisan kepada bungsu untuk dia habiskan, berbeda dengan aku. Aku dari nol bekerja sehingga menjadi cukup berada sekarang.Tapi tidak pernah Bapa mengucap syukur dan merayakan keberhasilanku.” Sulung begitu tidak menyadari bagaimana seharusnya relasi Bapa-anak yang sesungguhnya.

Jadi apa yang dimaksud dengan ayat ini? Kalimat ini bukan untuk kesombongan kita. Bukan pula untuk membuat kita menjadi takut. Dan juga jangan sampai kita lupa akan relasi Bapa-anak bahwa apa yang dimiliki Bapa adalah dimiliki anak. Tapi apa itu? Tuhan Allah sudah memberikan segala yang ada padaNya. Terutama dari semua itu yaitu Anak-Nya yang Tunggal Tuhan kita Yesus Kristus yang diberikan kepada dunia berdosa untuk menjadi tebusan umatNya (Yoh. 3:16). Yang mana kemudian atas karya Roh Kudus kita akan terus disempurnakan semakin serupa dengan Dia. Kita memiliki kekudusanNya, kebenaranNya, keadilanNya, kasihNya, dll.

Kebanyakan orang Kristen mungkin tidak lagi seperti anak bungsu yang terhilang di luar rumah. Tapi seperti anak sulung, yang terhilang di dalam rumah. Yang mengerjakan kehidupan sehari-hari baik pelayanan, pekerjaan, studi dan lain-lain dalam sebatas relasi Tuan-hamba. Tidak diatas dasar kasih yang sungguh-sungguh, tapi dalam suatu rutinitas yang tanpa makna (meaningless activity). Setiap hari berdoa, baca alkitab, studi, bekerja dan melayani tapi kehilangan relasi Bapa-anak yang sejati. Tidak lagi menyadari bahwa Allah selalu bersama dengan kita karena kita sudah terlalu terbiasa dengan ritual keagamaan kekristenan kita. Tidak lagi merasa bahwa kepunyaan Dia adalah kepunyaan kita yaitu segala kebenaran, kekudusan, keadilan, kasihNya dll.

“Anakku, engkau selalu bersama-sama dengan aku, dan segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu.” (Luk. 15:31)


Tidakkah kita akan berkata: “Atas pertolongan Allah, aku akan memulai suatu perjalanan iman yang baru, dan tidak akan berhenti sampai mencapai rencana kekal Allah atas hidup ku. Aku akan percaya bahwa setiap langkah adalah di hadapan Allah dan segala kepunyaanNya adalah kepunyaanku?”