Senin, 22 September 2014

Tentang Filsafat

Ada beberapa orang yang mungkin bertanya: Mengapa belajar filsafat? Pertanyaan ini tentu adalah pertanyaan yang baik karena menggunakan kata tanya “why”. Karena seringkali kita bertanya tentang “how” bukan tentang “why”. Tapi pertanyaan ini bisa menjadi suatu pertanyaan sinis yang sebenarnya tidak terlalu peduli apa pun jawaban atau tanggapan yang diberikan. Kita tidak akan pernah tahu mengapa, kalau tidak mencoba mengenal apa. Mengapa saya pakai gunting? Ini tidak akan jelas sebelum kita tahu gunting itu apa. Ketika kita tahu gunting adalah alat bantu untuk memotong sesuatu, kita tahu bahwa kita pakai gunting untuk memotong sesuatu. Maka dalam hal ini bisa dikatakan bahwa pengenalan mendahului penjelasan. Pengenalan yang tepat akan membawa kita pada penjelasan yang tepat pula. Maka sikap yang seharusnya lebih dulu diberikan adalah mengenal filsafat itu apa. 

Dalam arti katanya, filsafat berasal dari bahasa Yunani: philos (pencari, pencinta) dan sophia (hikmat, pengetahuan). Ini menggambarkan natur manusia itu sendiri yaitu sebagai pencari/pencinta hikmat/pengetahuan/kebenaran. Entah kita benar-benar mencarinya atau tidak menyadari bahwa kita sedang mencarinya. Pencarian ini tidak melulu berarti masuk suatu pendidikan tertentu, misalnya SD, SMP, SMA, Sekolah Tinggi dan lain-lain. Pencarian ini menyangkut seluruh hidup dari berbagai macam orang yang ada di dunia ini: anak kecil sampai orang tua, perempuan serta laki-laki, buruh sampai pejabat, siswa dan juga guru. Pencarian ini dimulai karena beberapa hal: keheranan, keraguan/kesangsian, kesadaran akan keterbatasan. 

Keheranan (Wonder/Amazed)
Sebagaimana tertulis dalam nisan Immanuel Kant (1724-1804): “Coelum stellatum supra me, lex moralis intra me.” Yang mengherankannya yaitu langit berbintang-bintang diatasnya dan hukum moral dalam hati manusia. Keheranan menjadi titik tolak awal manusia berfilsafat. 

Dalam tingkat pertumbuhan manusia, ada keheranan-keheranan dalam setiap tingkatnya. Ada banyak anak kecil bertanya-tanya: Kenapa orang tuanya pergi? Kenapa kita harus pindah rumah? Dan lain-lain. Seiring bertambahnya usia, keheranan pun berbeda lagi. Pertanyaan-pertanyaan orang dewasa “tidak sama” seperti anak kecil tadi. Pertanyaannya menjadi: Kenapa saya kerja? Apa itu rumah? Dan lain-lain. Tapi sayang sekali, zaman sekarang “sense of wonder” ini sudah berkurang baik pada anak kecil atau pun orang dewasa. Pada umumnya orang tidak lagi “heran” terhadap sekitarnya. Yang ada itu kecenderungan sikap “emang gue pikirin” atau “jadi gue harus bilang wow gitu?” Karena itu tidak heran filsafat menjadi semakin terasing. Padahal filsafat adalah “usaha” manusia untuk terus mengenali segala yang mengherankannya. 

Keraguan/Kesangsian
Apakah yang dikatakan oleh si A itu memang benar? Bagaimana saya tahu bahwa yang dikatakan oleh si A itu benar? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini sering sekali ditanyakan oleh kita. Dari keraguan/kesangsian kita mulai mencari tahu lebih dalam lagi akan segala sesuatu. Orang yang tidak pernah memiliki keraguan, pasti tidak pernah mempunyai keinginan untuk terus lebih tahu segala sesuatu. Maka di satu sisi “keraguan” sangat baik untuk kita terus berkembang. 

Kesadaran akan keterbatasan
Suatu kali saya naik kapal yang besar dan kami mengarungi lautan dari Banjarmasin ke Semarang. Suatu perjalanan yang cukup lama, 2 hari. Di tengah lautan beberapa hari, menimbulkan suatu kesadaran keterbatasan. Waktu yang lain lagi, ketika itu di Siau mau pergi ke Pulau Makalehi, kembali kesadaran tersebut muncul. Saya sadar saya terbatas, saya sadar dunia begitu luas. Saya sadar saya kecil, saya sadar dunia begitu besar. Di atas semua itu, terlebih lagi Sang Pencipta saya dan dunia ini jauh lebih besar dari apa pun. Kesadaran keterbatasan semakin mendorong kita untuk terus merenungkan, memikirkan dan mempelajari segala hal yang ada. 

Pada akhirnya, sebagaimana dalam Mazmur 8, kembali dipertanyakan: “Apakah manusia sehingga Engkau (Tuhan) mengingatnya? Apakah anak manusia sehingga Engkau mengindahkannya?”

Filsafat adalah pengetahuan metodis, sistematis dan koheren tentang seluruh kenyataan.

Pertanyaan-pertanyaan filosofis oleh Berlin seperti: Apa itu waktu? Apakah waktu bisa tetap? Apakah semua manusia bersaudara? Bagaimana kita tahu bahwa manusia yang lain bukan khayalan kita sendiri? Apa arti masa depan? (What is time?, Can time stand still?, Are all men truly brothers?, How do I know that other human beings (or material objects) are not mere figments of my own mind?, What is the meaning of the future?) Pertanyaan-pertanyaan filosofis tidak dapat dijawab dengan mudah baik secara “empirical” dan “formal”. Karena sebagaimana dijelaskan diawal, suatu pertanyaan bisa dijawab hanya jika kita tahu kemana mencari jawabannya (“where to look for the answer”). Sedangkan pertanyaan filosofis bisa dibilang tidak dalam keranjang yang sama dengan 2 ilmu pengetahuan di atas. Isaiah Berlin menyebut pertanyaan filosofis itu seperti berada dalam keranjang lanjutan/tengah (intermediate basket). Dimana pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak dengan mudah digolongan ke dalam empirical atau formal. Pertanyaan-pertanyaan filosofis sebagian tentang fakta, juga nilai (value), sebagian tentang kata-kata dan simbol, yang lain tentang metode yang digunakan, ada juga tentang “presuppositions of thinking”, juga berkaitan natur dan tujuan. Bahkan ia menyatakan bahwa jawaban-jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan filosofis sulit dijawab karena kita tidak tahu dimana mencari jawabannya: tidak ada di kamus, di ensiklopedia, compendia of knowledge, tidak ada para ahli, tidak ada para orthodoxies yang bisa menjawab dengan pasti. Terlebih lagi pertanyaan-pertanyaan tersebut ada yang bersifat umum dan ada tentang prinsip. Jadi tidak bisa dijawab oleh “the empirical” dan “the formal” karena tidak bisa diuji dalam dan melalui kategori tersebut.

Segala bentuk kajian filsafat sangat berdampak pada kehidupan manusia. Secara sadar atau tidak sadar, kajian filsafat tertentu memberikan dampak tertentu pada manusia. Ada yang membawa ke arah lebih baik, ada juga yang membawa pada kesengsaraan dan kegagalan manusia. Tugas filsafat adalah mengkaji model-model mana, bagaimana pola/struktur (pattern) dan apa akibatnya termasuk juga mengapa model-model yang berjalan selama ini tidak kebal atau tidak berjalan baik. Sehingga manusia menjadi lebih terbuka dan diterangi pengertian yang lebih baik lagi. Dan manusia tidak berjalan dalam kegelapan dan ketidakjelasan.

Referensi:
Pintu Masuk ke Dunia Filsafat oleh DR. Harry Hamersma
The Purpose of Philosophy oleh Isaiah Berlin (1909-1997)