Senin, 31 Desember 2018

Rahmat Allah yang Tersembunyi


Ketika mendekati akhir tahun salah satu yang hal yang kita renungkan adalah melihat ke belakang bagaimana kita menjalani hidup sepanjang tahun (misalnya 2018). Sesudah itu kita mulai membandingkan bagaimana hidup kita tahun 2017, 2018 dan rencana 2019. Ketika kita merenungkan kehidupan kita sepanjang tahun, apa yang kita renungkan? Kemungkinan kita dapat menyimpulkan paling tidak 2 hal: (1) Kehidupan yang lancar dan penuh keberhasilan, (2) Kehidupan yang tersendat dengan kesulitan dan tantangan tanpa henti. Sebagai umat Tuhan kita diperintahkan untuk bersyukur dalam segala hal. Salah satunya terdapat dalam 1 Tesalonika 5:18, Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu. Hati yang penuh syukur merupakan kehendak dari Kristus untuk terus kita jalankan. Bersyukur tentang apa? Segala hal. Bersyukur atas mawar yang indah dan duri yang tajam.

Seringkali lebih mudah bagi kita untuk bersyukur atas kelancaran dan keberhasilan. Ketika hidup kita penuh kesulitan, apa yang kita lakukan? Seringkali kita berdoa untuk dikeluarkan dari kesulitan. Tentu tidak salah berdoa demikian, namun bukankah dengan berdoa demikian merupakan ekspresi pelarian dari kesulitan untuk mendapatkan kelancaran. Dengan kata lain, kita melihat kesulitan itu sepenuhnya jahat dan harus dijauhi. Secara tidak langsung ini seperti teologi kemakmuran: tidak makmur identik dengan tidak disertai Tuhan. Jangan-jangan kita berdoa untuk dilepaskan dari kesulitan karena kita secara tanpa sadar percaya bahwa penyertaan Tuhan itu hanya ada dalam kelancaran.

Apa kata alkitab? Rasul Paulus pernah berdoa supaya Tuhan melepaskan “duri dalam daging” yang sangat mengganggu dia. Masih ingat jawaban doa dari Tuhan? Sang Rasul yang begitu dikasihi Tuhan dan dipakai Tuhan secara luar biasa dalam mengabarkan injil Kristus mendapat jawaban: “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna” (2 Korintus 12:9). Dengan kata lain, Tuhan tidak mengabulkan doa tersebut. “Duri dalam daging” itu terus ada sepanjang hidup Paulus. Apa yang bisa kita pelajari? Kita pelajari ini: Hidup kristen sejati bukan tanpa “duri dalam daging”. Hidup seperti ini sangat sulit dipahami oleh teologi kemakmuran. Hidup seperti ini melampaui konsep hidup duniawi. Hidup seperti ini adalah hidup yang mengimani bahwa setiap kesulitan merupakan blessing in disguise, rahmat tersembunyi dari Sang Ilahi. Di balik kesulitan hidup kristen tersembunyi terang yang sedikit terhalang oleh kelemahan iman kita. Rahmat tersembunyi itu tiada lain selain karya Allah yang misterius dalam hidup umat-Nya.

Sepanjang tahun ini, ada banyak berita kita dengar tentang krisis ekonomi dunia yang berdampak pada lapangan pekerjaan termasuk pekerjaan kita pribadi selama sepanjang tahun. Ada banyak berita kita dengar tentang bencana alam yang menimbulkan kerusakan dan korban begitu besar. Angka perceraian yang semakin meningkat. Keluarga kristen yang hancur. Berlaksa-laksa kisah hidup memilukan dialami seluruh manusia termasuk umat Tuhan. Penderitaan, kesakitan dan dosa menghampiri manusia tanpa bertanya apa agama kita. Identitas umat Tuhan sejati dinyatakan bagaimana kita meresponi segala kesulitan yang dialami. Iman sejati dalam Kristus mampu melihat rahmat Allah yang tersembunyi baik dalam kelancaran maupun kesulitan.  Karena itu, marilah dalam akhir tahun ini kita kembali melihat ke belakang dengan kacamata iman sejati dalam Kristus. Melihat ke belakang dengan berpegang bahwa “Kristus telah mengaruniakan kepada kita segala berkat rohani di dalam sorga” (Efesus 1:3). Marilah kita menghitung rahmat Allah yang tersembunyi sepanjang tahun ini baik dalam kelancaran maupun kesulitan. Marilah kita bersyukur atas semua itu. Bersyukur atas mawar yang indah dan duri yang tajam. Ketika Charles Spurgeon merenungkan hidupnya, ia mampu mengatakan: Aku bersyukur pada Tuhanku untuk setiap badai hidup yang menghempaskan aku kepada Sang Batu Karang, Yesus Kristus (I Thank my God for every storm that has wrecked me upon The Rock, Christ Jesus!). Kiranya kita dimampukan melihat rahmat Allah yang tersembunyi dan bersyukur atasnya karena pada akhirnya semua yang terjadi dapat membawa kita lebih dekat pada-Nya.

Jumat, 10 Agustus 2018

Menabur dengan air mata, Menuai dengan Sorak-sorai


Mazmur 126:4-6 
Pulihkanlah keadaan kami, ya TUHAN, seperti memulihkan batang air kering di Tanah Negeb!  Orang-orang yang menabur dengan mencucurkan air mata, akan menuai dengan bersorak-sorai. Orang yang berjalan maju dengan menangis sambil menabur benih, pasti pulang dengan sorak-sorai sambil membawa berkas-berkasnya.

Sebagai seorang kristen yang hanya beberapa tahun saja jika dibandingkan dengan orang kristen lain yang sudah puluhan tahun, saya menyadari betapa sulitnya hidup di dunia ini. Pertama, musuh terbesar yang terus saya hadapi adalah diri saya sendiri. Semakin mencoba menjadi kristen yang sejati, sepertinya semakin besar dan nyata musuh itu. Semakin besar konflik diri. Semakin besar rasa sakit ketika mencoba mematikan musuh itu. Kedua, dunia sepertinya semakin gencar untuk menjatuhkan saya. Banyak godaan yang semakin nyata di hadapan mata. Sistem dunia menghimpit dan menyudutkan sedemikian kuat memaksa diri untuk melakukan perkataan dunia daripada firman Allah. Ketiga, setan seolah menggoncang semakin giat. Banyak suara tuduhan pada dosa-dosa masa lalu. Dan banyak peristiwa dihadapi menimbulkan keluhan-keluhan yang sepertinya menyatakan keberhasilan setan menggoncangkan iman saya. 

Kesulitan hidup, pergumulan di bawah matahari: fitnah, patah hati, kecewa dan lainnya merupakan fakta sulitnya hidup kristen. Tapi saya ingat bahwa “Orang-orang yang menabur dengan mencucurkan air mata, akan menuai dengan bersorak-sorai. Orang yang berjalan maju dengan menangis sambil menabur benih, pasti pulang dengan sorak-sorai sambil membawa berkas-berkasnya.”

Catatan: Lukisan "The Sower" (1888) oleh Van Gogh

Rabu, 25 Juli 2018

Korban Hidup

Tuhan ku berserah jadi korban hidup
Roh-Mu dan Darah-Mu bakar sucikanku
B'rikan ku firman-Mu, curahkan kasih-Mu
Pakailah hidupku mengabarkan injil-Mu
(Musik & Lirik: Stephen Tong)

Pdt Stephen Tong lahir tahun 1940 di kota Xiamen, Cina. Ayahnya berasal dari Cina dan Ibunya berasal dari Indonesia. Dari keluarga ini lahirlah 7 orang anak yang terdiri dari 6 anak laki-laki dan 1 anak perempuan. Ayahnya meninggal dunia ketika Pak Tong berumur 3 tahun. Sejak itu Ibunya mengasuh 7 orang anak ini sendirian. Ketika Pak Tong berumur 9 tahun, Ibunya membawa mereka ke Indonesia. Mereka pun tinggal di Surabaya. Ketika Pak Tong berumur 17 tahun, dia mengikuti suatu kebaktian yang dipimpin oleh seorang hamba Tuhan bernama Andrew Gih. Dalam kebaktian itu, dia dan 4 saudaranya laki-lakinya menyerahkan diri untuk hidup melayani Tuhan seumur hidup mereka. Kelima orang ini adalah Peter, Caleb, Solomon, Stephen dan Joseph. Mereka pun sampai sekarang menjadi hamba Tuhan dan melayani di beberapa tempat di dunia. Pdt. DR. Stephen Tong sendiri sudah melayani lebih dari 50 tahun di berbagai negara.

Selain melayani di beberapa Negara di dunia, Pak Tong juga menulis banyak lagu. Salah satunya yaitu “Korban Hidup”. Lagu dengan lirikdan melodi yang sederhana ini merupakan doa kerinduan untuk dipakai Tuhan. Istilah “korban” dalam alkitab mengacu pada persembahan untuk Tuhan. Dalam ibadah Perjanjian Lama terdapat berbagai persembahan untuk Tuhan dalam bentuk korban bakaran (misalnya untuk menghapus dosa). Dalam Perjanjian Baru dinyatakan bahwa kita tidak lagi memberikan korban bakaran karena Kristus sudah menggenapi tuntutan taurat dengan mati di kayu salib untuk menghapus dosa kita. Persembahan yang kita bawa sekarang sebagai umat tebusan adalah hidup kita sendiri. Roma 12:1, Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati. Maka korban hidup berarti mempersembahan hidup kita untuk Tuhan. Bagaimana hidup kita dapat menjadi persembahan yang menyenangkan Tuhan? Dalam lagu ini dinyatakan: harus suci (disucikan oleh Roh Kudus dan darah Kristus), dengan firman Tuhan sebagai pedoman, menyatakan kasih Allah dan mengabarkan injil. Kiranya kita dimampukan untuk mempersembahkan hidup kita sebagai korban hidup untuk kemuliaan Allah.

Senin, 23 Juli 2018

Too Much Love?

Saya sebenarnya bingung dengan kalimat ini: “too much love”. Saya tahu dan pernah mengalami makan  “terlalu banyak”. Ukurannya adalah perut saya yang terasa penuh tidak seperti biasanya. Saat itu saya lebih memilih untuk duduk bahkan berebah daripada berjalan. Karena begitu penuh, minum pun rasanya tak sanggup. Saya ingin cepat-cepat untuk “buang air besar atau air kecil” supaya meringankan beban. Saya juga sepertinya tahu dan pernah mengalami belajar “terlalu banyak”. Saat saya sedang mengerjakan tesis S2, saya sering berjam-jam membaca buku dan hanya mengetik beberapa baris saja karena terus memikirkan per kalimat. Kepala saya seolah penuh bahkan sampai sulit merangkai apa yang sudah saya baca dalam bentuk tulisan. Saya pernah berbicara “terlalu banyak”. Rahang terasa lelah dan lidah terasa kering. Dan banyak hal lagi yang dapat kita alami “terlalu banyak” karena calculable. Tapi apakah ada mencintai “terlalu banyak”? apa ukurannya? Apakah cinta itu calculable

Saya teringat akan firman Tuhan Yohanes 3:16, “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” Tuhan Allah mengasihi manusia begitu besar sehingga mengaruniakan Anak-Nya (Tuhan Yesus Kristus) sampai mati di kayu salib untuk menebus manusia berdosa. Kita tidak memisahkan Allah Bapa dan Allah Anak dalam esensi, Allah Bapa dan Anak adalah satu adanya. Maka dapat disimpulkan: “Karena begitu besar kasih Allah akan manusia berdosa sehingga Ia memberikan Diri-Nya sendiri menjadi tebusan”. Self-sacrifice merupakan dasar dari kasih alkitabiah. Apakah ini mencintai “terlalu banyak”? 

Rabu, 18 Juli 2018

Orang-orang Kusta

2 Raja-raja 7:1-10

Dalam sejarah kehidupan manusia, kita akan menemukan narasi besar dan narasi kecil. Narasi besar adalah cerita yang dominan dan seringkali diingat, diperhatikan dan terlihat sangat berpengaruh secara fenomenal dalam sejarah. Sedangkan narasi kecil adalah cerita pinggiran yang seringkali terlupakan, dianggap remeh, marginal dan seolah tidak berpengaruh secara fenomenal. Narasi besar seperti Air Bah, Israel vs Mesir, Israel vs bangsa-bangsa asing, Kerajaan Penguasa Israel saat di pembuangan (Asyur, Babilonia, Persia, Romawi-Yunani), Perang Salib, Perang Dunia I & II dan masing banyak lagi. Narasi besar juga dapat diidentikan dengan tokoh tertentu bahkan “zaman” disertai dengan nama tokoh tersebut seperti “zaman” Nuh, Musa, Saul, Daud, Salomo, Yosia, Yosafat, Napoleon, Hitler, Roosevelt, Lincoln, Soekarno, Soeharto dan seterusnya. Namun dibalik narasi besar juga terdapat narasi kecil cenderung dipinggirkan seperti siput yang menuju bahtera Nuh, para wanita dan anak-anak kecil di Israel, orang-orang asing yang juga ikut menjadi bangsa Israel seperti Rahab, tokoh-tokoh di negeri asing seperti Ester dan Mordekhai, para tukang masak dan buruh di masa Napoleon dan perang-perang dunia. Modernisme cenderung mengutamakan narasi besar dan meremehkan narasi kecil. Pasca-modernisme cenderung mengagungkan narasi kecil yang darinya narasi besar dapat berdiri kokoh. Modernisme akan menyatakan yang merubah dunia adalah tokoh-tokoh seperti Napoleon. Namun menurut Pasca-modernisme Napoleon tidak akan dapat pergi perang dan menang jika saat itu tukang masaknya menyediakan makanan yang beracun dan membuatnya sakit. Kecenderungan lainnya adalah membesarkan yang kecil, mengecilkan yang besar. Narasi kecil namun dianggap besar, narasi besar namun dianggap kecil. Dengan demikian dapat saja sebagian menyimpulkan bahwa tukang masak Napoleon yang merubah dunia, bukan Napoleon. 

Bagaimana dengan alkitab? Benar dalam alkitab terdapat narasi besar dan narasi kecil. Namun menarik, semua cerita besar dan kecil dalam alkitab mempunyai kesinambungan, keunikan dan dampak masing-masing yang mengantar kita pada Tuhan Yesus Kristus. Dalam hal ini mungkin ada yang menyimpulkan bahwa Tuhan Yesus Kristus adalah narasi besar alkitab. Ya, dalam hal-hal tertentu kesimpulan tersebut tidak perlu untuk dibantah lagi. Namun kita ingat bahwa Tuhan Yesus Kristus yang berinkarnasi masuk ke dalam narasi kecil. Dia adalah anak Tukang kayu (Matius 13:55; Markus 6:3), dijadikan paling hina dan rendah sampai mati di kayu salib (Yes. 53:3; 2 Korintus 5:21). Ia juga memanggil orang-orang pinggiran dari Galilea bukan Yerusalem. Bahkan alkitab menekankan hal ini bahwa “Tetapi apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat, dan apa yang tidak terpandang dan yang hina bagi dunia, dipilih Allah, bahkan apa yang tidak berarti, dipilih Allah untuk meniadakan apa yang berarti, supaya jangan ada seorang manusiapun yang memegahkan diri di hadapan Allah” (1 Korintus 1:27-29). Dengan demikian kita dapat menyimpulkan bahwa dalam alkitab narasi besar dan kecil berkesinambungan namun sekaligus tidak menganggap remeh atau melebihkan keunikan dan dampak dari masing-masing narasi.

Salah satu cerita menarik dalam alkitab yang tentang orang-orang kusta dalam 2 Raja-raja 7:1-10. Cerita besarnya adalah perang antara Aram dan Israel (Utara). Aram mengepung ibu kota Israel Utara yaitu Samaria. Hal ini mengakibatkan orang-orang Israel di Samaria beraktivitas terbatas yang kemudian berdampak secara ekonomi, moral, psikologi dan bahkan spiritualitas dari Israel Utara. Di Samaria terjadi kelaparan yang hebat. Perekonomian yang kacau yang digambarkan demikian: kepala keledai berharga delapan puluh syikal perak dan seperempat kab tahi merpati berharga lima syikal perak (2 Raja 6:25). Sederhananya, apa yang sebelumnya dianggap sampah dan barang-barang yang remeh bahkan hina menjadi bernilai tinggi karena akses dari luar Samaria terbatas (bahkan tertutup). Samaria mengalami semacam embargo ekonomi oleh Aram. Bukan saja itu, kerusakan berdampak juga secara moral dan psikologi. Orang-orang yang tertekan di Samaria rela memakan anak-anak mereka sendiri (2 Raja 28-29). Dan hal ini pun dianggap wajar dalam keadaan tertekan demikian. Raja mengoyakkan pakaiannya, mengenakan kain berkabung dan berjalan di tembok. Gambaran pemimpin yang sudah putus harapan begitu mendalam. Siksaan batin yang lebih menyakitkan bahkan daripada kehilangan nyawanya. Hal ini juga membuat orang-orang Samaria kehilangan spiritualitas sejati sehingga tidak lagi berharap kepada Allah (2 Raja 6:33). Penderitaan yang begitu mendalam dengan spiritualitas yang salah membuat kita melihat Allah begitu kecil daripada masalah dan penderitaan kita. 

Apakah Allah diam? Tidak, Ia memakai Elisa (“Narasi Besar”) dan Orang-orang kusta (“Narasi Kecil”). Elisa sebagai Nabi Tuhan mewakili Tuhan menyampaikan firman-Nya. Firman yang seringkali sulit diterima oleh manusia berdosa. Firman yang menerobos segala kemungkinan pikiran manusiawi. Firman yang menyatakan suatu perspektif ilahi sejati yang menyatakan “Besok kira-kira waktu ini sesukat tepung yang terbaik akan berharga sesyikal dan dua sukat jelai akan berharga sesyikal di pintu gerbang Samaria.” (2 Raja 7:1). Sederhananya menyatakan apa yang terbaik seharusnya bernilai tinggi namun dalam seketika akan bernilai murah dan dapat diperoleh semua orang dari berbagai kalangan masyarakat. Bagaimana mungkin hal ini terjadi? Hal ini mungkin karena Allah yang mengerjakannya. Inilah yang membedakan firman Allah sejati dengan perkataan manusia. Kita dapat memahami firman Allah hanya jika keilahian (kuasa) Firman tersebut dirasakan/dialami pada saat yang sama. Firman Allah pasti terwujud entah sekecil apa pun kemungkinannya menurut pikiran manusia. Dan dalam hal ini, Allah seringkali berkarya secara misterius, ia memakai orang-orang kusta.

Siapa orang kusta? Orang-orang kusta adalah orang yang terpinggirkan, hina dan tidak punya masa depan. Dalam kehidupan masyarakat (sosial), orang kusta tergolong dalam golongan paling rendah bahkan lebih tepatnya seringkali tidak masuk hitungan. Alkitab mencatat beberapa hal tentang orang kusta: (1) Najis (Imamat 13:3) – tekanan jesmani dan rohani. Orang kusta dinyatakan najis oleh imam. Imam adalah seorang yang sangat dihormati dalam masyarakat Israel karena mereka menyimbolkan kekudusan Allah. Orang kusta dinyatakan najis oleh orang yang dipandang mewakili kekudusan Allah. Pernyataan tersebut bukanlah sekedar pernyataan omong kosong atau kepentingan suatu kelompok tapi menyatakan kekudusan Allah. (2) Dikucilkan (Bilangan 5:2) – tekanan sosial. Orang kusta disuruh untuk meninggalkan tempat perkemahan. Mereka dikucilkan dari lingkungan masyarakat supaya mereka tidak menajiskan tempat perkemahan. Bahkan seorang raja pun jika terkena kusta akan mengalami pengasingan (2 Taw. 26:21). Dengan demikian orang kusta mengalami tekanan sosial. Mereka menjadi kelompok yang sangat tersendiri bahkan mereka tidak dapat bersama dengan keluarga. Bagi masyarakat, mereka seolah sudah tidak ada. Mereka dilupakan dan tidak diperhitungkan.

Namun, menarik, Tuhan memakai orang-orang kusta dalam ketidaktahuan mereka. Mereka yang melakukan hanya untuk persoalan hidup-mati mereka, Tuhan ubahkan untuk menggenapi rencana-Nya yang disampaikan oleh Elisa. Ia adalah Allah yang turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah (Roma 8:28). Ia dengan sengaja memakai orang-orang yang terpinggirkan, terkucilkan dan tidak diperhitungkan. Orang-orang yang seringkali dipandang sebagai narasi kecil untuk menggenapi rencana agung-Nya. Ia seringkali memakai orang-orang yang yang bodoh, lemah, hina dan tidak berarti bagi dunia untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, kuat dan sombong (1 Korintus 1:27-29). Dia sendiri mengosongkan diri-Nya menjadi anak tukang kayu yang lahir di kota kecil Betlehem, memanggil murid-murid-Nya kebanyakan dari Galilea dan mati di bukit tengkorak untuk menggenapi karya keselamatan yang agung atas manusia berdosa.

Senin, 05 Februari 2018

Hari yang Bahagia (O Happy Day)

Rimbault lahir pada 13 Juni 1816 di London. Dia adalah seorang pemain organ yang pernah melayani di Gereja St. Peter’s (Vere Street), Gereja Presbyterian St. John’s Wood dan salah satu gereja Swiss yang ada di London. Dia ikut membangun Musical Antiquarian Society pada 1840. Dia juga membuat beberapa opera kecil, lagu-lagu sekular dan juga lagu-lagu kristen. Dia menerima posisi sebagai profesor musik di Harvard College. Pada 26 September 1876, di meninggal dunia.

Philip Doddridge adalah seorang penulis himne terkenal di kalangan puritan pada abad ke-18. Lahir di London pada 26 Juni 1702, seorang anak paling bungsu di antara 12 bersaudara. Kesehatannya pun tidak terlalu baik dan bahkan tidak diperhitungkan akan dapat bertahan lama saat dia kecil. Dia sering sakit-sakitan di sepanjang hidupnya. Sebelum Philip bisa membaca, ibunya selalu membacakan cerita mengenai Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Bisa dikatakan ibunya paling berpengaruh dalam hidupnya. Kedua orang tuanya meninggal saat dia masih kecil. Kemudian dia tinggal dengan teman dari orang tuanya. Dia pun semakin bertumbuh menjadi pemuda yang pintar sampai akhirnya mendapatkan dukungan untuk melanjutkan sekolah di Cambridge. Tapi dia tidak menerimanya karena sekolah tersebut berada di bawah Gereja Anglican. Yang mana berbeda kepercayaannya dengan Puritan. Kemudian dia melanjutkan studi di sekolah yang bersifat independent. Dia menjadi seorang penginjil di Gereja Independent di Inggris. Selama pelayanannya, dia mengajar lebih dari 200 orang tentang bahasa ibrani, yunani, filsafat, alkitab dan teologi. Pada 1736, Universitas Aberdeen memberikan penghormatan Doctor of Divinity karena apa yang sudah dia capai. Dia juga berkotbah. Bahkan dikatakan dia sangat terkenal karena kotbahnya yang mana praktikal, membangun dalam hal kehidupan spiritualitas jemaat dan mencerdaskan. 

Dia juga aktif dalam menulis buku. Salah satu bukunya yang begitu terkenal sampai diterjemahkan dalam 7 bahasa yaitu "The Rise and Progress of Religion in the Soul". Buku ini yang mempengaruhi William Wilberforce yang kemudian menjadi kristen dan mendorong Wilberforce untuk memerangi perbudakan yang waktu itu sedang berjalan dimana-mana. Selain itu masih ada buku-buku lain tentang teologi dan tafsiran Perjanjian Baru. Doddridge juga menulis lebih dari 400 himne. Kebanyakan himne itu dia tulis sebagai satu kesimpulan dari kotbah-kotbahnya. Dengan tujuan untuk membantu para jemaat mengekspresikan respon mereka akan kebenaran firman Tuhan. Namun himne yang dia tulis tidak pernah diterbitkan dalam bentuk satu buku selama dia hidup.

Selama 48 tahun melayani, dia terus menderita tuberculosis. Philip Doddridge meninggal pada 26 Oktober 1751 dan dimakamkan di pemakaman inggris yang ada di Lisbon. Sesudah kematiannya, teman-temannya mengumpulkan lagu-lagu yang dia tulis. Diantaranya yaitu "O Happy Day". Ini mungkin merupakan lagu yang sangat terkenal diantara lagu-lagu lain yang dia tulis. Lagu ini didasarkan pada II Tawarikh 15:15, "Seluruh Yehuda bersukaria atas sumpah itu, karena dengan segenap hati mereka bersumpah setia dan dengan kehendak yang bulat mereka mencari TUHAN. TUHAN berkenan ditemui oleh mereka dan mengaruniakan keamanan kepada mereka di segala penjuru." Lagu ini mengekspresikan hubungan pribadi yang indah dengan Tuhan. Karena kita sudah diberikan anugerah untuk masuk dalam covenant of grace sehingga kita dipandang sebagai umat Tuhan.