Aku mau bersyukur kepada TUHAN dengan segenap
hatiku,
Aku mau menceritakan segala perbuatan-Mu yang
ajaib.
Mazmur 9:2
Kebanyakan dari kita mengakui bahwa segala milik
kita berasal dari Allah, tetapi seberapa seringkah kita berdiam sejenak untuk
bersyukur kepada-Nya? Di akhir hari kerja, apakah Anda mengambil waktu untuk
berkata, “Terima kasih, Bapa surgawi, karena Engkau memberiku keterampilan,
kemampuan, dan kesehatan untuk melakukan pekerjaanku hari ini”? Apakah Anda
pernah menjelajahi langsung ataupun sekedar membayangkan rumah Anda dan berkata
kepada Allah, “Semua yang ada di rumah ini, makanan di lemari dan mobil (atau
beberapa mobil) di garasi, adalah pemberian-Mu. Terima kasih atas pasokan-Mu
yang baik hati dan penuh kemurahan”? ketika Anda berdoa sebelum makan, apakah
doa itu rutin dan asal saja atau merupakan ungkapan tulus dari rasa syukur Anda
kepada Allah atas pasokan kebutuhan jasmani yang terus diberikan-Nya?
Kita bisa menganggap biasa saja segala pasokan
jasmani dan berkat rohani yang dilimpahkan Allah kepada kita, sehingga kita
gagal untuk selalu bersyukur kepada-Nya. Hal itu adalah salah satu dosa yang
kita anggap “wajar.” Bahkan, banyak sekali orang Kristen yang tidak
menganggapnya sebagai dosa. Ketika menggambarkan orang yang dipenuhi Roh,
Paulus, memberikan gambaran berikut: “Ucaplah syukur senantiasa atas segala
sesuatu … kepada Allah" (Efesus 5:20). Perhatikanlah kata senantiasa dan
segala sesuatu. Itu berarti seluruh hidup kita harus terus menjadi hidup yang
bersyukur.
Mengucap syukur atas berkat jasmani dan rohani dari
Allah dalam hidup kta bukan saja baik untuk dilakukan – itu adalah prinsip
moral Allah. Kegagalan untuk bersyukur dengan selayaknya kepada Allah adalah
dosa. Bagi kita dosa itu mungkin tampak tidak berbahaya karena tidak merugikan
orang lain. Tetapi itu (tidak bersyukur) adalah penghinaan dan penistaan terhadap Dia yang
menciptakan kita dan yang menunjang hidup kita setiap detik.
(Jerry Bridges: Holiness Day by Day)