“Sorgaku adalah menyenangkan Allah, dan memuliakan Dia dan memberikan
segalanya kepada Dia dan sepenuhnya mengabdi pada kemuliaanNya: itulah sorga
yang kurindukan, itulah agamaku dan itulah kebahagiaanku dan senantiasa demikian
… Aku bukan pergi ke sorga untuk ditinggikan, tetapi untuk meninggikan Allah.“
(Katekismus Singkat Westmister, 204, penerbit momentum).
Sejak membaca kutipan
dari catatan harian David Brainerd (20
April 1718 – 9 Oktober 1747) di Katekismus Westmister, saya terinspirasi dan
terdorong. Kutipan pendek tersebut membuat saya merenungkan kembali apa artinya
menjadi seorang Kristen sejati, apa artinya menjadi pelayan Tuhan di dunia ini.
Dan saya jadi tertarik untuk membaca lebih lanjut tentang cerita hidup dari
seorang hamba Tuhan yang luar biasa ini. Mungkin bisa dikatakan bahwa tidak ada
tulisan biografi tentang Brainerd yang lebih lengkap dan dengan dasar
pengenalan yang luar biasa dekat dibandingkan dengan tulisan Jonathan Edwards (5 Oktober 1703 – 22
Maret 1758) yang berjudul: The Memoirs of
The Rev. David Brainerd. Selain tentunya karena kemampuan menulis dari
hamba Tuhan puritan Amerika Jonathan Edwards ini. Ia juga pernah menjadi hamba
Tuhan dimana Brainerd kecil bergereja di Northampton. Bahkan ketika kuliah di
Yale University, Edwards juga pernah berkotbah di sana. Selain itu ternyata
Edwards juga mendukung perkembangan dari Yale University untuk membangkitkan
pemuda-pemuda dengan kualitas pendidikan tinggi. Dan Brainerd pun membaca
banyak tulisan dari Edwards. Salah satu bukunya yang begitu menginspirasi
sehingga Brainerd terus menganjurkan buku itu dibaca banyak orang Kristen yaitu
A Treatise Concerning Religious Affections (1746). Mereka saling mengenal
ketika hadir di upacara wisuda di Yale tahun 1743. Edwards berkotbah saat itu. Brainerd
menyukai kotbah dan pandangan teologis dari Edwards. Dan Edwards begitu
terkesan dengan pengabdian pribadi, pengertian rohani dan kerendahan hati dari
Brainerd. Sejak itulah mereka saling mengenal satu sama lain. Di hari-hari
terakhirnya Brainerd tinggal di rumah Edwards. Dan Brainerd memberikan segala
catatan pribadinya kepada Edwards yang kemudian dijadikan sumber biografi
tulisannya.
Siapa David Brainerd? Ia
dikenal sebagai salah satu misionaris Amerika ke suku Indian dan menginspirasi
banyak orang khususnya para hamba Tuhan dan misionaris seperti Henry Martyn,
William Carey dan lain-lain. Perlu diingat bahwa ia menjadi misionaris bukan
sebagai pelariannya atau pun ketidakmampuannya di bidang lain. Ia menjadi
misionaris karena meresponi panggilan Tuhan dimana ia disadarkan akan
pentingnya injil keselamatan bagi manusia berdosa. Secara akademis, tidak
diragukan lagi ia adalah salah satu mahasiswa terbaik di Yale University pada
zamannya. Pada umur 20 tahun, ia melanjutkan studi di Yale University. Awalnya
ia tidak ingin melanjutkan karena ia kuatir apakah ia bisa menjalani kehidupan
rohani yang ketat di perguruan tinggi nanti. Namun dalam catatan hariannya
dinyatakan bahwa ia bersyukur karena dalam perguruan tinggi tersebut Tuhan
mengungkapkan hal-hal indah dari kasihNya. Yang mendukakan ia adalah
ketidakpedulian dan apatisme rohani dari rekan-rekannya. Di tahun terakhirnya
1741, terlihat bahwa kecerdasan dan ketekunan belajarnya membawa dia mendapat
ranking tertinggi di kelasnya dan itu berarti ia memiliki prospek yang cerah.
Tinggal menunggu waktu dimana ia akan dinyatakan sebagai lulusan Yale yang
terbaik saat itu. Namun ia dikeluarkan. Salah satu penyebab tidak langsungnya
yaitu kebangunan rohani yang terus berlangsung di Amerika. Kebangunan rohani
ini sudah berjalan antara 1730-1740 melalui KKR besar yang diadakan oleh para
hamba Tuhan yang begitu dipakai Tuhan seperti Jonathan Edwards (1734), Jonathan
Dickson di Newark (1738), John Seccumb di Harvard (1739) dan George Whitefield
(1739). Brainerd begitu digerakan oleh kebangunan rohani tersebut.
Sampai-sampai ia jatuh pada kesalahan dimana ia pun mengecam dengan pedas
orang-orang Kristen yang mengaku Kristen namun terus dalam dosa dengan. Ketika
seorang dosen bernama Whittelsey tergerak untuk memimpin doa chapel mahasiswa
di Yale University, Brainerd berkomentar bahwa Whittelsey kurang urapan. Sejak
itulah kemudian ia bermasalah dengan perguruan tinggi tempatnya studi dan
akhirnya ia dikeluarkan. Kemudian hari, Brainerd menyadari ini sebagian memang
kesalahan dari dia juga. Sejak itu ia menjadi cenderung melankolis dan tertekan
mengingat hilangnya status kemahasiswaannya.
Titik mula panggilannya
ini dimulai dalam pertobatannya. Secara moral, ia memang tidak melakukan suatu
kejahatan yang luar biasa. Malahan bisa dikatakan ia adalah seorang yang
“baik-baik saja”. Namun suatu di tahun 1738, ketika ia sedang berjalan-jalan
untuk berdoa seperti kebiasannya, ia tiba-tiba diliputi rasa gentar akan murka
Allah. Yang membuat dia takut yaitu dia tidak bisa mencapai kualitas yang
ditentukan oleh Tuhan Allah. Sejak itu, ia terus melakukan kesalehan seperti
berpuasa, berdoa, membaca alkitab dan terus mengintropeksi diri. Namun ia tetap
tidak menemukan kedamaian sejati. Ia menjadi sangat menyadari akan keberdosaannya.
Setidaknya ada 3 hal yang terus dia renungkan dan membuat dia begitu bergumul
yaitu: tuntutan tinggi hukum Allah, kenyataan hanya iman dapat membawa
keselamatan, dan kedaulatan Allah. Ia berusaha memenuhi hukum Allah
tapi semakin berusaha ia semakin sadar bahwa ia tidak mampu. Ia juga tidak
dapat memahami apa itu iman dan bagaimana memperolehnya. Dan paling sulit dia
terima yaitu kedaulatan Allah bahwa keselamatan sepenuhnya tergandung pada
Allah (ia merenungkan Roma 9:11-23).
Pada tahun 1739, ketika
ia terus merenungkan pergumulannya, ia secara bertahap disadarkan bahwa
keselamatan itu diluar kemampuannya sendiri. Dan segala yang dilakukannya
seperti berdoa, berpuasa dan kewajiban-kewajibannya didasarkan pada kepentingan
sendiri dan tidak untuk kemuliaan Tuhan. Ia menyadari bahwa apa yang kita
lakukan tidak bisa memaksa Tuhan atau menjadi penyebab Tuhan menyelamatkan
kita. Akhirnya, 12 Juli 1739, hatinya terbuka dan disadarkan bukan tentang
Trinitas tapi Kemuliaan Ilahi. Ia menjadi kagum dan bersukacita karena Allah
begitu agung dan mulia. Ia sampai tidak lagi memikirkan tentang keselamatannya
sendiri dan hampir tidak menyadari kalau ada manusia seperti dia. Ia sampai
pada tahap dimana ia melihat dirinya “nothing”
di hadapan Allah yang mulia. Sejak “kemuliaan yang tak terkatakan” itu
kerinduannya untuk mempermuliakan Penebusnya tidak pernah pudar sampai akhir
hidupanya.
Pada musim semi tahun
1742, untuk kedua kalinya ia menumpang di rumah seorang pendeta, Jedediah
Mills, seorang lulusan Yale dan hamba Allah sejati. Di sinilah ia melanjutkan
kesalehannya: membaca, berdoa, berpuasa dan merenung. Ia mencatat pada 11 mei,
“saya tak sanggup hidup di tengah keramaian. Saya rindu untuk menikmati Allah
sendirian.” Pada 14 april, “Jiwaku rindu bersekutu dengan Kristus dan ingin
mematikan kebejatan dalam diriku, terutama kesombongan rohani.” Lagi 27 april,
“Oh Penebusku yang manis! Siapa yang kumiliki di sorga kalau bukan Engkau? Dan
tak ada satu pun di dunia yang kuinginkan selain Engkau. Seandainya aku mempunyai
seribu nyawa, jiwaku dengan sukarela akan menyerahkan semua itu sekaligus untuk
dapat berada bersama Kristus.” Pada 18 juni, “Jiwaku mendambakan kesucian hidup
dalam pengabdian penuh pada Allah senantiasa.” Pada masa-masa itulah di suatu
sore, ia begitu tergerak dan sungguh-sungguh berdoa bagi perluasan kerajaan
Kristus antara orang-orang kafir. Hasratnya untuk menyebarkan injil Tuhan ke
orang Indian pun semakin bertumbuh.
Pada 19 November 1942, ia
menerima surat dari Ebenezer Pemberton dari New York yang meminta dia untuk
bekerja diantara orang Indian. Lembaga ini memang merupakan lembaga yang
mempunyai fokus misi penginjilan. Lembaga ini mengirim surat kepada Brainerd
atas usulan dari Aaron Burr yang mengenal Brainerd berbeban pada orang Indian. Pada
bulan itu juga, Brainerd pergi mengunjungi beberapa temannya yang kemungkinan
besar tidak dilihatnya lagi. Ia menjual semua barang miliknya dan bersiap
menjalankan misi kepada orang Indian. Selama hidupnya Brainerd pergi ke
beberapa ladang misi: Kaunaumeek (1743-44), Cabang Sungai Delaware
(1744-45), Crossweeksung (1745-46), Daerah Susquehanna (1744-46), Cranberry
(1746-47).
Kaunaumeek (1743-44)
Sebelum ke Kaunaumeek, ia
berkunjung ke rumah John Sergeant yang adalah seorang misionaris berpengalaman.
Ia menginap di sana selama 2 hari. Ia meminta pentunjuk-petunjuk dalam berbagai
aspek penginjilan kepada orang Indian. Kemudian ia menuju Kaunaumeek berbekal
beberapa potong pakaian, makanan dalam perjalanannya, sebuah kamus ibrani dan
hati yang melimpah dengan kasih Allah dan jiwa-jiwa abadi. Dengan berkuda
sejauh 20 mil, melewati daerah pendalaan yang sangat liar, ia sampai ke pondok
orang Indian.
Pelayanannya dimulai 10
April 1743. Setiap hari ia bangun pagi-pagi, pergi keluar dan meluangkan waktu
yang cukup lama untuk berdoa dan saat teduh di hutan. Sesudah itu ia pergi
melayani. Ia mencatat bahwa orang Indian pada umumnya tenang ketika mendengar
kotbah, ada juga yang terlihat prihatin dengan jiwanya, dan ada juga yang
sambil bercakap-cakap. Ada seorang yang menyatakan bahwa hatinya menangis sejak
pertama kali ia mendengar Brainerd berkotbah. Setelah beberapa kali melayani,
ia menyadari betapa sulit tugasnya. Pada 16 April, ia mencatat keputusasaannya
bahwa ia kuatir tidak ada suatu pun yang berfaedah yang dapat dilakukannya bagi
orang Indian. Salah satu kendalanya yaitu komunikasi.
Ia sangat membutuhkan penerjemah yang mengerti istilah-istilah Kristen. Karena
memang ada kata-kata dalam pengertian Kristen sulit diterjemahkan ke bahasa
Indian: Tuhan, Juruselamat, keselamatna, pendosa, keadilan, penghukuman, iman,
pertobatan, pembenaran, adopsi, pengudusan, anugerah, kemuliaan, sorga dan
banyak kata-kata penting lainnya. Ketika diterjemahkan cenderung memiliki arti
lain seperti lahir baru yang diterjemahkan sebagai “hati dijadikan baik,” masuk
dalam kemuliaan disebut “dijadikan lebih senang.” Ia pun menemukan orang yang
bisa dipekerjakan sebagai penterjemah yaitu Wauwaumpequunnaunt yang oleh John
Sergeant sudah diajari menterjemahkan. Ini menjadi pertolongan yang berarti
baginya. Selain itu, ia tertekan karena kesepian dan kekurangan di ladang misi.
Dalam suratnya kepada John, saudaranya, ia menuliskan betapa kurang makanannya
dan banyak kesulitan lainnya seperti berjalan kaki sejauh 1,5 mil hampir setiap
hari. Ia terus berdoa agar Tuhan menguatkannya dalam penderitaan penginjilan
itu. Bahkan dia melihat bahwa penderitaan itu baik baginya: “aku tertindas itu
baik bagiku, agar aku bisa sepenuhnya mati terhadap dunia ini.” Ia juga
menuliskan: “aku puas dengan keadaanku dan berserah seutuhnya pada Tuhan. Dalam
doa aku menikmati kebebasan besar, dan aku memuji Tuhan untuk keadaanku saat
ini seolah-olah aku seorang raja, dan aku dapat merasa puas dalam keadaan apa
pun. Terpujilah Allah.”
Dalam suratnya kepada
john, ia menuliskan:
“Seluruh dunia ini bagi
saya ibarat ruang hampa udara yang kosong dan luas sekali, dimana tidak akan
diperoleh sesuatu pun yang didambakan atau setidaknya yang dapat memuaskan dan
saya rindu untuk mematikan semua keinginan ini hari lepas hari; sekalipun saya
tidak memperoleh penghiburan itu dari perkara-perkara rohani yang sangat saya
dambakan. Kesenangan duniawi yang timbuh dari ketenaran, kekayaan,
penghormatan, dan kenikmatan daging adalah jauh lebih buruk dari pada tanpa
kesenangan sama sekali. Kiranya Tuhan melepaskan kita dari segala kesia-siaan.
… Tak ada yang lebih kondusif bagi hidup Kekristenan daripada memanfaatkan
waktu yang berharga dengan ekerja keras, rajin dan setia. Jadi marilah kita
dengan setia mengerjakan tugas yang diberikan kepada kita melalui providensi
ilahi, dengan sekuat tenaga jasmani dan kemampuan jiwa kita. Mengapa kita harus
hanyut dalam keputusasaan karena pencobaan dan kesulitan yang harus kita hadapi
di dunia? Maut dan kekekalan ada di depan kita; beberapa lemparan gelombang
lagi dan kita akan dihempaskan ke dunia roh, dan kita berharap oleh anugerah
yang tak terbatas, kita akan masuk dalam sukacita yang tak lekang oleh waktu
dan istirahat dan damai kekal.” (David
Brainerd: Misionaris bagi suku Indian amerika, Surabaya: Momentum. 2006, hal.
39-40)
Menjelang musim semi
1744, semakin sedikit orang indian tinggal di Kaunaumeek. Hal ini karena banyak
orang kulit putih merampas tanah mereka dan mendesar mereka pindah. Brainerd
pun menyatakan bahwa ia akan pergi juga. Hal ini membuat orang-orang Indian
yang dilayaninya menjadi sedih dan berusaha membujuknya tetap tinggal. Brainerd
pergi karena lembaga misi akan mengutusnya ke tempat yang lain yaitu Cabang Sungai Delaware.
Disadur dari David Brainerd: Misionaris bagi suku Indian amerika, Surabaya: Momentum. 2006.