Selasa, 30 Juni 2015

David Brainerd: “Sorgaku, MenyenangkanMu” (1)


David Brainerd, seorang misionaris dari Amerika mengatakan:
“Sorgaku adalah menyenangkan Allah, dan memuliakan Dia dan memberikan segalanya kepada Dia dan sepenuhnya mengabdi pada kemuliaanNya: itulah sorga yang kurindukan, itulah agamaku dan itulah kebahagiaanku dan senantiasa demikian … Aku bukan pergi ke sorga untuk ditinggikan, tetapi untuk meninggikan Allah.“ (Katekismus Singkat Westmister, 204, penerbit momentum).

Sejak membaca kutipan dari catatan harian David Brainerd (20 April 1718 – 9 Oktober 1747) di Katekismus Westmister, saya terinspirasi dan terdorong. Kutipan pendek tersebut membuat saya merenungkan kembali apa artinya menjadi seorang Kristen sejati, apa artinya menjadi pelayan Tuhan di dunia ini. Dan saya jadi tertarik untuk membaca lebih lanjut tentang cerita hidup dari seorang hamba Tuhan yang luar biasa ini. Mungkin bisa dikatakan bahwa tidak ada tulisan biografi tentang Brainerd yang lebih lengkap dan dengan dasar pengenalan yang luar biasa dekat dibandingkan dengan tulisan Jonathan Edwards (5 Oktober 1703 – 22 Maret 1758) yang berjudul: The Memoirs of The Rev. David Brainerd. Selain tentunya karena kemampuan menulis dari hamba Tuhan puritan Amerika Jonathan Edwards ini. Ia juga pernah menjadi hamba Tuhan dimana Brainerd kecil bergereja di Northampton. Bahkan ketika kuliah di Yale University, Edwards juga pernah berkotbah di sana. Selain itu ternyata Edwards juga mendukung perkembangan dari Yale University untuk membangkitkan pemuda-pemuda dengan kualitas pendidikan tinggi. Dan Brainerd pun membaca banyak tulisan dari Edwards. Salah satu bukunya yang begitu menginspirasi sehingga Brainerd terus menganjurkan buku itu dibaca banyak orang Kristen yaitu A Treatise Concerning Religious Affections (1746). Mereka saling mengenal ketika hadir di upacara wisuda di Yale tahun 1743. Edwards berkotbah saat itu. Brainerd menyukai kotbah dan pandangan teologis dari Edwards. Dan Edwards begitu terkesan dengan pengabdian pribadi, pengertian rohani dan kerendahan hati dari Brainerd. Sejak itulah mereka saling mengenal satu sama lain. Di hari-hari terakhirnya Brainerd tinggal di rumah Edwards. Dan Brainerd memberikan segala catatan pribadinya kepada Edwards yang kemudian dijadikan sumber biografi tulisannya.  

Siapa David Brainerd? Ia dikenal sebagai salah satu misionaris Amerika ke suku Indian dan menginspirasi banyak orang khususnya para hamba Tuhan dan misionaris seperti Henry Martyn, William Carey dan lain-lain. Perlu diingat bahwa ia menjadi misionaris bukan sebagai pelariannya atau pun ketidakmampuannya di bidang lain. Ia menjadi misionaris karena meresponi panggilan Tuhan dimana ia disadarkan akan pentingnya injil keselamatan bagi manusia berdosa. Secara akademis, tidak diragukan lagi ia adalah salah satu mahasiswa terbaik di Yale University pada zamannya. Pada umur 20 tahun, ia melanjutkan studi di Yale University. Awalnya ia tidak ingin melanjutkan karena ia kuatir apakah ia bisa menjalani kehidupan rohani yang ketat di perguruan tinggi nanti. Namun dalam catatan hariannya dinyatakan bahwa ia bersyukur karena dalam perguruan tinggi tersebut Tuhan mengungkapkan hal-hal indah dari kasihNya. Yang mendukakan ia adalah ketidakpedulian dan apatisme rohani dari rekan-rekannya. Di tahun terakhirnya 1741, terlihat bahwa kecerdasan dan ketekunan belajarnya membawa dia mendapat ranking tertinggi di kelasnya dan itu berarti ia memiliki prospek yang cerah. Tinggal menunggu waktu dimana ia akan dinyatakan sebagai lulusan Yale yang terbaik saat itu. Namun ia dikeluarkan. Salah satu penyebab tidak langsungnya yaitu kebangunan rohani yang terus berlangsung di Amerika. Kebangunan rohani ini sudah berjalan antara 1730-1740 melalui KKR besar yang diadakan oleh para hamba Tuhan yang begitu dipakai Tuhan seperti Jonathan Edwards (1734), Jonathan Dickson di Newark (1738), John Seccumb di Harvard (1739) dan George Whitefield (1739). Brainerd begitu digerakan oleh kebangunan rohani tersebut. Sampai-sampai ia jatuh pada kesalahan dimana ia pun mengecam dengan pedas orang-orang Kristen yang mengaku Kristen namun terus dalam dosa dengan. Ketika seorang dosen bernama Whittelsey tergerak untuk memimpin doa chapel mahasiswa di Yale University, Brainerd berkomentar bahwa Whittelsey kurang urapan. Sejak itulah kemudian ia bermasalah dengan perguruan tinggi tempatnya studi dan akhirnya ia dikeluarkan. Kemudian hari, Brainerd menyadari ini sebagian memang kesalahan dari dia juga. Sejak itu ia menjadi cenderung melankolis dan tertekan mengingat hilangnya status kemahasiswaannya.

Titik mula panggilannya ini dimulai dalam pertobatannya. Secara moral, ia memang tidak melakukan suatu kejahatan yang luar biasa. Malahan bisa dikatakan ia adalah seorang yang “baik-baik saja”. Namun suatu di tahun 1738, ketika ia sedang berjalan-jalan untuk berdoa seperti kebiasannya, ia tiba-tiba diliputi rasa gentar akan murka Allah. Yang membuat dia takut yaitu dia tidak bisa mencapai kualitas yang ditentukan oleh Tuhan Allah. Sejak itu, ia terus melakukan kesalehan seperti berpuasa, berdoa, membaca alkitab dan terus mengintropeksi diri. Namun ia tetap tidak menemukan kedamaian sejati. Ia menjadi sangat menyadari akan keberdosaannya. Setidaknya ada 3 hal yang terus dia renungkan dan membuat dia begitu bergumul yaitu: tuntutan tinggi hukum Allah, kenyataan hanya iman dapat membawa keselamatan, dan kedaulatan Allah. Ia berusaha memenuhi hukum Allah tapi semakin berusaha ia semakin sadar bahwa ia tidak mampu. Ia juga tidak dapat memahami apa itu iman dan bagaimana memperolehnya. Dan paling sulit dia terima yaitu kedaulatan Allah bahwa keselamatan sepenuhnya tergandung pada Allah (ia merenungkan Roma 9:11-23).

Pada tahun 1739, ketika ia terus merenungkan pergumulannya, ia secara bertahap disadarkan bahwa keselamatan itu diluar kemampuannya sendiri. Dan segala yang dilakukannya seperti berdoa, berpuasa dan kewajiban-kewajibannya didasarkan pada kepentingan sendiri dan tidak untuk kemuliaan Tuhan. Ia menyadari bahwa apa yang kita lakukan tidak bisa memaksa Tuhan atau menjadi penyebab Tuhan menyelamatkan kita. Akhirnya, 12 Juli 1739, hatinya terbuka dan disadarkan bukan tentang Trinitas tapi Kemuliaan Ilahi. Ia menjadi kagum dan bersukacita karena Allah begitu agung dan mulia. Ia sampai tidak lagi memikirkan tentang keselamatannya sendiri dan hampir tidak menyadari kalau ada manusia seperti dia. Ia sampai pada tahap dimana ia melihat dirinya “nothing” di hadapan Allah yang mulia. Sejak “kemuliaan yang tak terkatakan” itu kerinduannya untuk mempermuliakan Penebusnya tidak pernah pudar sampai akhir hidupanya.

Pada musim semi tahun 1742, untuk kedua kalinya ia menumpang di rumah seorang pendeta, Jedediah Mills, seorang lulusan Yale dan hamba Allah sejati. Di sinilah ia melanjutkan kesalehannya: membaca, berdoa, berpuasa dan merenung. Ia mencatat pada 11 mei, “saya tak sanggup hidup di tengah keramaian. Saya rindu untuk menikmati Allah sendirian.” Pada 14 april, “Jiwaku rindu bersekutu dengan Kristus dan ingin mematikan kebejatan dalam diriku, terutama kesombongan rohani.” Lagi 27 april, “Oh Penebusku yang manis! Siapa yang kumiliki di sorga kalau bukan Engkau? Dan tak ada satu pun di dunia yang kuinginkan selain Engkau. Seandainya aku mempunyai seribu nyawa, jiwaku dengan sukarela akan menyerahkan semua itu sekaligus untuk dapat berada bersama Kristus.” Pada 18 juni, “Jiwaku mendambakan kesucian hidup dalam pengabdian penuh pada Allah senantiasa.” Pada masa-masa itulah di suatu sore, ia begitu tergerak dan sungguh-sungguh berdoa bagi perluasan kerajaan Kristus antara orang-orang kafir. Hasratnya untuk menyebarkan injil Tuhan ke orang Indian pun semakin bertumbuh.

Pada 19 November 1942, ia menerima surat dari Ebenezer Pemberton dari New York yang meminta dia untuk bekerja diantara orang Indian. Lembaga ini memang merupakan lembaga yang mempunyai fokus misi penginjilan. Lembaga ini mengirim surat kepada Brainerd atas usulan dari Aaron Burr yang mengenal Brainerd berbeban pada orang Indian. Pada bulan itu juga, Brainerd pergi mengunjungi beberapa temannya yang kemungkinan besar tidak dilihatnya lagi. Ia menjual semua barang miliknya dan bersiap menjalankan misi kepada orang Indian. Selama hidupnya Brainerd pergi ke beberapa ladang misi: Kaunaumeek (1743-44), Cabang Sungai Delaware (1744-45), Crossweeksung (1745-46), Daerah Susquehanna (1744-46), Cranberry (1746-47).

Kaunaumeek (1743-44)
Sebelum ke Kaunaumeek, ia berkunjung ke rumah John Sergeant yang adalah seorang misionaris berpengalaman. Ia menginap di sana selama 2 hari. Ia meminta pentunjuk-petunjuk dalam berbagai aspek penginjilan kepada orang Indian. Kemudian ia menuju Kaunaumeek berbekal beberapa potong pakaian, makanan dalam perjalanannya, sebuah kamus ibrani dan hati yang melimpah dengan kasih Allah dan jiwa-jiwa abadi. Dengan berkuda sejauh 20 mil, melewati daerah pendalaan yang sangat liar, ia sampai ke pondok orang Indian.

Pelayanannya dimulai 10 April 1743. Setiap hari ia bangun pagi-pagi, pergi keluar dan meluangkan waktu yang cukup lama untuk berdoa dan saat teduh di hutan. Sesudah itu ia pergi melayani. Ia mencatat bahwa orang Indian pada umumnya tenang ketika mendengar kotbah, ada juga yang terlihat prihatin dengan jiwanya, dan ada juga yang sambil bercakap-cakap. Ada seorang yang menyatakan bahwa hatinya menangis sejak pertama kali ia mendengar Brainerd berkotbah. Setelah beberapa kali melayani, ia menyadari betapa sulit tugasnya. Pada 16 April, ia mencatat keputusasaannya bahwa ia kuatir tidak ada suatu pun yang berfaedah yang dapat dilakukannya bagi orang Indian. Salah satu kendalanya yaitu komunikasi. Ia sangat membutuhkan penerjemah yang mengerti istilah-istilah Kristen. Karena memang ada kata-kata dalam pengertian Kristen sulit diterjemahkan ke bahasa Indian: Tuhan, Juruselamat, keselamatna, pendosa, keadilan, penghukuman, iman, pertobatan, pembenaran, adopsi, pengudusan, anugerah, kemuliaan, sorga dan banyak kata-kata penting lainnya. Ketika diterjemahkan cenderung memiliki arti lain seperti lahir baru yang diterjemahkan sebagai “hati dijadikan baik,” masuk dalam kemuliaan disebut “dijadikan lebih senang.” Ia pun menemukan orang yang bisa dipekerjakan sebagai penterjemah yaitu Wauwaumpequunnaunt yang oleh John Sergeant sudah diajari menterjemahkan. Ini menjadi pertolongan yang berarti baginya. Selain itu, ia tertekan karena kesepian dan kekurangan di ladang misi. Dalam suratnya kepada John, saudaranya, ia menuliskan betapa kurang makanannya dan banyak kesulitan lainnya seperti berjalan kaki sejauh 1,5 mil hampir setiap hari. Ia terus berdoa agar Tuhan menguatkannya dalam penderitaan penginjilan itu. Bahkan dia melihat bahwa penderitaan itu baik baginya: “aku tertindas itu baik bagiku, agar aku bisa sepenuhnya mati terhadap dunia ini.” Ia juga menuliskan: “aku puas dengan keadaanku dan berserah seutuhnya pada Tuhan. Dalam doa aku menikmati kebebasan besar, dan aku memuji Tuhan untuk keadaanku saat ini seolah-olah aku seorang raja, dan aku dapat merasa puas dalam keadaan apa pun. Terpujilah Allah.”

Dalam suratnya kepada john, ia menuliskan:
“Seluruh dunia ini bagi saya ibarat ruang hampa udara yang kosong dan luas sekali, dimana tidak akan diperoleh sesuatu pun yang didambakan atau setidaknya yang dapat memuaskan dan saya rindu untuk mematikan semua keinginan ini hari lepas hari; sekalipun saya tidak memperoleh penghiburan itu dari perkara-perkara rohani yang sangat saya dambakan. Kesenangan duniawi yang timbuh dari ketenaran, kekayaan, penghormatan, dan kenikmatan daging adalah jauh lebih buruk dari pada tanpa kesenangan sama sekali. Kiranya Tuhan melepaskan kita dari segala kesia-siaan. … Tak ada yang lebih kondusif bagi hidup Kekristenan daripada memanfaatkan waktu yang berharga dengan ekerja keras, rajin dan setia. Jadi marilah kita dengan setia mengerjakan tugas yang diberikan kepada kita melalui providensi ilahi, dengan sekuat tenaga jasmani dan kemampuan jiwa kita. Mengapa kita harus hanyut dalam keputusasaan karena pencobaan dan kesulitan yang harus kita hadapi di dunia? Maut dan kekekalan ada di depan kita; beberapa lemparan gelombang lagi dan kita akan dihempaskan ke dunia roh, dan kita berharap oleh anugerah yang tak terbatas, kita akan masuk dalam sukacita yang tak lekang oleh waktu dan istirahat dan damai kekal.” (David Brainerd: Misionaris bagi suku Indian amerika, Surabaya: Momentum. 2006, hal. 39-40)

Menjelang musim semi 1744, semakin sedikit orang indian tinggal di Kaunaumeek. Hal ini karena banyak orang kulit putih merampas tanah mereka dan mendesar mereka pindah. Brainerd pun menyatakan bahwa ia akan pergi juga. Hal ini membuat orang-orang Indian yang dilayaninya menjadi sedih dan berusaha membujuknya tetap tinggal. Brainerd pergi karena lembaga misi akan mengutusnya ke tempat yang lain yaitu Cabang Sungai Delaware.

Disadur dari David Brainerd: Misionaris bagi suku Indian amerika, Surabaya: Momentum. 2006.

Jumat, 26 Juni 2015

Tiada Yang Mustahil

(Nothing Is Impossible)

Eugene L. Clark lahir pada tanggal 23 Maret 1924, Eugene L. Clark dianggap sudah bisa mewakili judul hymne-nya yang paling terkenal, “ Tiada yang Mustahil” (Nothing is Impossible). Clark adalah seorang yang begitu piawai memainkan piano, jarinya seolah melayang ketika menyentuh tuts-tuts piano tetapi di kemudian hari dia menderita penyakit radang sendi yang melumpuhkannya dan akhirnya Clark pun mengalami kebutaan total.  Ketika akhirnya sudah tidak mungkin lagi bagi Clark untuk melanjutkan main piano ataupun organ, dia meminta untuk dibawakan mesin tik ke sisi sebelah tempat tidurnya.

Dengan alat penemuan yang pada zaman itu tergolong baru dan hebat, serta pemikirannya yang tajam, Clark terus mempersembahkan musik-musiknya yang indah dari atas tempat tidur. Tiap not demi not, jeda demi jeda, serta bar demi bar dalam kertas lagu Clark, mesin tik itu sudah membantunya menciptakan produk-produk dari pikirannya yang masih aktif- sesuatu hal yang baik karena penyakit radang sendi ataupun kebutaan total tidak bisa membelenggu bakat yang diberikan Tuhan kepadanya.

Ratusan musik tentang Injil, hymne, beberapa gubahan musik koor, juga 3 kantata misionaris telah mengalir melalui hati dan pikiran Clark yang berdedikasi dalam memperkaya musik dunia keKristenan. Satu lagunya paling terkenal yang terinspirasi dari Lukas 18:27 yaitu “Tiada yang Mustahil” pertama kali diperkenalkan pada tahun 1964. Karena cinta kasih, kesetiaan, dan kesabaran istrinya yang selalu mendampingi dia dan juga menjadi salah satu asset paling berharga bagi Clark dalam menciptakan karya-karyanya maka Clark memberikan penghargaan kepada istrinya atas keberhasilan pelayanannya.

Senin, 15 Juni 2015

Gara-gara Kierkegaard

Beberapa waktu ini saya membaca tentang Kierkegaard. Dari biografi sampai pandangannya. Menarik ia menyimpulkan bahwa ada 3 jalan hidup manusia menyatakan eksistensinya: estetik, etik dan religious. Ketiganya ini bukanlah bersifat kronologis. Tapi lebih seperti masa-masa dimana kadang setiap kita memasuki tahap-tahap ini secara bergantian dan berulang. Walaupun begitu tetap kita tidak sama lagi dengan sebelumnya. Estetika sangat menekankan hidup sesuai dengan kemauan sendiri dan yang dikejar adalah kepuasan diri. Jadi pertanyaannya berhubungan dengan puas atau tidak puas diri kita. Misalnya ketika kita memilih makan sesuatu karena memang kita suka dan makanan itu memuaskan kelaparan kita. Sedangkan etika berhubungan dengan kehidupan moral. Jadi yang dikejar adalah tentang baik dan jahat. Saya memilih makanan tertentu bukan karena itu memuaskan saya tapi karena makanan itu baik bagi saya. Dan lebih lagi pada tahap ini lebih memikirkan tentang orang lain. Saya hidup bukan untuk diri saya tapi bagi orang-orang di sekitar saya. Maka saya tidak bisa memakai uang seenaknya membeli makanan sepuasnya. Tapi juga membagikan ke yang lain. Dan terakhir yaitu religious. Dimana kita menyadari ada suatu yang melampaui moralitas manusia. Dan ini berhubungan dengan iman. Ketika kita mengalami segala pergumulan, pergolakan, kesulitan dan segala hal yang akhirnya membawa kita pada keputusasaan. Ketika kita melihat  bahwa sesuatu itu humanly impossible. Di sini kita menyadari perlunya langkah atau lompatan iman. Dan sebenarnya inilah yang menyatakan eksistensi yang sejati dan tertinggi dari manusia. Titik tolak dari pemikiran Kierkegaard ini menekankan pada subjektivitas. Artinya ia menyadari bahwa kebenaran objektif itu tidak bisa kita pegang karena memang keterbatasan kita. Tapi yang kita bisa adalah meresponinya secara subjektif. Kierkegaard sangat mengkritik teori-teori atau pemikiran yang universal dan rasional akan segala sesuatu. Bahwa ada suatu formula universal akan kebenaran. Atau etika teleologis yang menghalalkan segala cara demi tercapainya kepentingan universal itu. Ia menyatakan bahwa manusia itu adalah subjektif yang tidak bisa kita lupakan. Dimana memiliki masing-masing pergumulan berbeda. Dan tentu juga memiliki keterbatasan. Sia-sia punya pandangan yang dianggap sudah mencakup keseluruhan kebenaran (objektif) namun tidak bisa diterapkan dalam kehidupan manusia secara subjektif dalam keseharian.

Dari sinilah tiba-tiba saya merenungkan apa yang saya pelajari dari alkitab dan hubungan dengan saya secara pribadi dalam menghadapi pergumulan hidup saya yang real sekarang ini. Tiba-tiba saya merasa betapa sebenarnya kering sekali dalam membaca alkitab. Saya cuma baca karena rutinitas, karena itu baik bahkan untuk inspirasi kotbah saja. Ini semua ada benarnya. Tapi tidak cukup. Alkitab harusnya real menjadi pedoman hidup kita dalam keseharian. Harusnya real menjadi pedoman kita dalam menghadapi segala pergumulan hidup. 

Pembacaan alkitab saya sampai pada Yosua 1:5-7. Dimana waktu itu Musa sudah dipanggil oleh Tuhan dan Yosua dipercaya sebagai penerus. Ada kata-kata yang terus diulang: “Kuatkanlah dan teguhkanlah hatimu, sebab engkaulah yang akna memimpin bangsa ini memiliki negeri yang Kujanjikan dengan bersumpah kepada nenek moyang mereka untuk diberikan kepada mereka. Hanya kuatkan dan teguhkanlah hatimu dengan sungguh-sungguh … .” Sebelumnya janji Tuhan: “Aku tidak adakan membiarkan engkau dan tidak akan meninggalkan engkau.” Suatu janji yang indah dan terus dikuatkan setiap kali membaca bagian ini. Pertanyaan saya: “Apa hubungannya dengan pergumulan saya secara real? Bagaimana ayat tadi menjadi pedoman hidup saya secara real?"

Itu adalah janji Tuhan yang bahkan saya sudah kotbahkan juga kepada salah satu pasien di rumah sakit. Itu adalah janji yang mendahului tuntutan. Janji bahwa Tuhan menyertai umatNya, Tuhan akan menyertai hambaNya. Saya sadar saya bukanlah orang yang sempurna dalam banyak hal. Tapi saya ingat janji ini. Tuhan janji bahwa Ia menyertai hambaNya. Tugas saya: “Kuatkan dan teguhkan hatimu.” Inilah juga yang disampaikan Tuhan kepada Yosua supaya Yosua menguatkan dan meneguhkan hatinya dalam segala hal ketidaktahuan masa depannya. Kalau sungguh benar janji Tuhan maka kenapa saya takut dan kuatir. Kalau janji ini diucapkan oleh Sang Pencipta dan Penebus, kenapa saya ragu. Keraguan muncul karena saya kurang iman. Doa saya: kiranya Tuhan tambah-tambahkan iman saya dalam memegang janjiNya.


Soli Deo Gloria