Minggu, 12 Januari 2014

Relasi Bapa-Anak (Father-Son Relationship)

Lukas 15:1-32 bertemakan tentang keterhilangan yang kemudian ditemukan. Tiga perumpamaan dalam Lukas 15 ini yaitu ada domba yang hilang, dirham yang hilang, anak yang hilang. Secara keseluruhan perumpamaan-perumpamaan ini menyatakan sikap Tuhan Yesus terhadap orang farisi dan ahli taurat yang mengeluh: “Ia menerima orang-orang berdosa dan makan bersama-sama dengan dia.” Sekarang ketika kita mendengar kalimat ini, kita mungkin berpikir bahwa ini adalah hal yang biasa. Tapi bagi orang farisi dan ahli taurat ini bukan hal biasa. Pada waktu itu ketika seseorang satu meja makan bersama, itu berarti ada suatu kesamaan derajat dan hak diantara mereka. Ketika Yesus satu meja makan dengan orang berdosa berarti itu menyamakan diriNya dengan orang berdosa. Dan hal ini tidak mungkin mau dilakukan oleh orang farisi dan ahli taurat. Melalui perumpamaan domba yang hilang, Tuhan Yesus mau membukakan cara pandang kita melihat orang berdosa. Orang berdosa bukan untuk dijauhi tapi untuk dijangkau dan dibawa kembali kepada Tuhan. Tidak bergantung pada kuantitas (jumlah) secara kasat mata: 1, 10, 100, 1000 dst. Satu orang manusia berdosa tetap merupakan satu jiwa yang berharga di mata Tuhan. Dan ketiga perumpamaan selalu dimunculkan adanya suatu sukacita besar ketika yang hilang kembali ditemukan. Gembala dan perempuan itu digambarkan memanggil sahabat dan tetangga untuk merayakan ditemukannya domba dan dirham yang hilang. Demikian juga ketika Sang Bapa menemukan anak yang hilang, Ia mengadakan suatu pesta yang begitu besar untuk merayakan kedatangan anaknya. Perbedaannya, dalam perumpamaan anak yang hilang ada respon dari anak bungsu yang mana kita akan merenungkan bersama pada hari ini.

Dalam kesempatan ini kita akan merenungkan bersama Lukas 15:11-32, “Seperti apakah relasi yang sejati antara umat Allah dengan Tuhan Allahnya”

Kita tahu bahwa pada umumnya keterhilangan itu di luar rumah, tapi di sini dicatat ada juga keterhilangan di dalam rumah. Kenapa bisa terjadi keterhilangan di dalam rumah? Karena Si sulung memiliki pengenalan yang salah terhadap Bapa. Dia melihat relasi Bapa-Anak berhenti pada pengertian Tuan-hamba. Ia melihat Bapa sebagai Tuan, anak itu hamba (bandingkan dengan Matius 20:11-12). Tuan itu mengikat dan tidak membuat hamba bebas mengerjakan apa yang hamba mau. Memang alkitab memakai beberapa gambaran mengenai relasi Tuhan dengan umatNya: Gembala-domba, Tuan-hamba, Mempelai laki-laki-Mempelai perempuan, Pokok Anggur-carangnya, Bapa-Anak dst. Karena itu pasti tepat kalau kita melihat diri sebagai hamba, Tuhan sebagai Tuan dan Raja hidup kita. Dan kita harus melakukan dengan taat dan setia terhadap apa yang dikehendakiNya. Selain itu, memang alkitab menekankan bahwa anak itu harus mentaati bapanya (Amsal 2:1; 3:1). Namun relasi Kristen bukan berhenti pada Tuan-hamba saja, tapi juga Bapa-anak memiliki keunikan tersendiri.

Jadi bagaimana seharusnya relasi Bapa-anak yang sejati (kita kepada Allah)? Ini dinyatakan dalam kalimat Bapa kepada anak sulung: “Anakku, engkau selalu bersama-sama dengan aku, dan segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu.” (Luk. 15:31)

1. “Selalu bersama dengan Aku.” Andrew Murray menyebutkan ini merupakan unbroken fellowship with Him. Ini merupakan hal yang begitu penting dalam kehidupan Kristen yaitu Tuhan bersama kita, kita bersama Tuhan. Ketika Ia mengikat perjanjian kepada Abraham kemudian meneguhkannya lagi kepada Ishak, Allah mengatakan: “Jangalah takut, sebab Aku menyertai engkau” (Kej. 26:24). Demikian juga Janji Tuhan kepada Yosua ketika Musa diangkat kemudian Yosua harus meneruskan memimpin Israel masuk ke tanah perjanjian: “seperti Aku menyertai Musa, demikianlah Aku akan menyertai engkau; Aku tidak akan membiarkan engkau dan tidak akan meninggalkan engkau” (Yoshua 1:5). Ketika Tuhan Yesus naik ke surga, Ia memberkati murid-muridNya dan berkata: “Dan ketahuilah Aku menyertai kamu hingga akhir zaman” (Matius 28:20). Ini merupakan suatu janji yang digenapi ketika kita dijadikan anak-anak Allah. Ini yang membedakan ikatan Bapa-anak dengan Tuan-hamba yaitu “selalu bersama”, ikatan yang tidak terpisahkan. Bukan “kadang-kadang”, “sementara” tapi “selalu bersama”. Sebagaimana dialami oleh Henokh dari hidup sampai akhir hidupnya dia bergaul dengan Tuhan Allah (Kej. 5:22-24).

Inilah juga yang membedakan kita, anak-anak Allah, dengan yang diluar kita. Seringkali kita menjadi lupa bahwa kita sebagai anak-anak Allah hidup bersama-sama dengan Dia dalam setiap langkah hidup kita. Kita sering lupa ketika menghadapi banyak penderitaan, masalah, sakit dan lain-lain. Ketika menghadapi itu semua, kita merasa seharusnya kita tidak mengalami segala pergumulan tersebut. Tapi yang lebih penting lagi dari semua itu yang harusnya tidak kita lupakan bahwa Allah tetap bersama dengan kita. Kita tidak dibiarkan sendiri ketika menghadapi segala pergumulan hidup kita. Ada suatu peristiwa menarik yang dicatat dalam Perjanjian Baru, Lukas 8:22-25. Ketika itu Yesus dan murid-murid naik perahu kemudian secara cepat datanglah taufan. Semua murid menjadi takut. Dan saat seperti itu, alkitab mencatat Yesus tertidur. Saat itu terjadi, seolah-olah Tuhan tidak peduli dan tidak berbuat apa-apa. Murid-murid mulai kehilangan iman. Tapi saat itu, Tuhan Yesus tetap bersama mereka. Kenapa mereka menjadi takut? Bukankah Tuhan Yesus bersama dengan mereka? Karena mereka lupa bahwa yang bersama mereka adalah Tuhan Allah Pencipta Langit dan Bumi dan segala isinya. Demikian juga, seringkali ketika taufan hidup menyerang kita, kita langsung menjadi takut dan lupa bahwa Tuhan bersama dengan kita. Mungkin Dia seolah-olah diam, tapi Dia tidak membiarkan kita sendirian, Dia tidak pernah meninggalkan kita.

Di sisi yang lain kita sering lupa hal ini ketika hidup kita mulai lancar dan nyaman. Kita mulai jarang berdoa, tidak terlalu lagi bergantung dan berharap kepada Tuhan sepenuhnya. Karena kita merasa ada banyak jaminan yang bisa kita pegang dalam hidup kita yang nyaman. Ini sama saja dengan membuang Tuhan dan mengindahkan keberadaanNya dalam hidup kita. Kita tidak lagi menghargai dan menghormati bahwa selama ini kita ada sebagaimana kita ada sekarang karena topangan dari Tuhan saja.

Relasi Bapa-anak berarti relasi yang tidak terputuskan. Relasi Bapa-anak yaitu relasi dimana kita terus bersama dengan Bapa yang menikmati kehadiranNya dalam setiap langkah hidup kita dalam titik terendah atau tertinggi dalam hidup kita.

2. “Kepunyaanku adalah kepunyaanmu.” Ini artinya Dia sudah memberikan segala sesuatu yang ada padaNya kepada anak-anakNya. “He has given us all things that are in Him.” Kalimat ini bisa disalahgunakan. Kita bisa saja mengerti ini bahwa kalau Tuhan berkuasa untuk menyembuhkan maka harusnya aku juga punya kuasa demikian. Kalau Tuhan yang empunya langit bumi dan segala isinya, maka aku pun berhak mempunyai paling tidak sebagian besarnya. Namun di sisi lain lagi yang begitu kontras, kita menjadi takut terhadap kalimat ini. Kita takut dipandang terlalu sombong bahkan kita menjadi lupa akan hal ini. Sehingga kita jadi tidak berani meminta apa pun kepada Tuhan. Dua respon tersebut salah.

Anak sulung melihat berbeda lagi. Ia melihat Tuan-hamba, jadi selama ini Ia tidak merasa semua adalah milik dia juga. Artinya selama ini ia tidak merasa ada relasi Bapa-anak tapi sebatas Tuan-hamba. Kalau kita membayangkan ada suatu interview kepada anak sulung, dia mungkin sekali mengatakan: “Segala yang ku miliki ini adalah karena usaha kerja keras ku. Bapa dulu langsung memberikan warisan kepada bungsu untuk dia habiskan, berbeda dengan aku. Aku dari nol bekerja sehingga menjadi cukup berada sekarang.Tapi tidak pernah Bapa mengucap syukur dan merayakan keberhasilanku.” Sulung begitu tidak menyadari bagaimana seharusnya relasi Bapa-anak yang sesungguhnya.

Jadi apa yang dimaksud dengan ayat ini? Kalimat ini bukan untuk kesombongan kita. Bukan pula untuk membuat kita menjadi takut. Dan juga jangan sampai kita lupa akan relasi Bapa-anak bahwa apa yang dimiliki Bapa adalah dimiliki anak. Tapi apa itu? Tuhan Allah sudah memberikan segala yang ada padaNya. Terutama dari semua itu yaitu Anak-Nya yang Tunggal Tuhan kita Yesus Kristus yang diberikan kepada dunia berdosa untuk menjadi tebusan umatNya (Yoh. 3:16). Yang mana kemudian atas karya Roh Kudus kita akan terus disempurnakan semakin serupa dengan Dia. Kita memiliki kekudusanNya, kebenaranNya, keadilanNya, kasihNya, dll.

Kebanyakan orang Kristen mungkin tidak lagi seperti anak bungsu yang terhilang di luar rumah. Tapi seperti anak sulung, yang terhilang di dalam rumah. Yang mengerjakan kehidupan sehari-hari baik pelayanan, pekerjaan, studi dan lain-lain dalam sebatas relasi Tuan-hamba. Tidak diatas dasar kasih yang sungguh-sungguh, tapi dalam suatu rutinitas yang tanpa makna (meaningless activity). Setiap hari berdoa, baca alkitab, studi, bekerja dan melayani tapi kehilangan relasi Bapa-anak yang sejati. Tidak lagi menyadari bahwa Allah selalu bersama dengan kita karena kita sudah terlalu terbiasa dengan ritual keagamaan kekristenan kita. Tidak lagi merasa bahwa kepunyaan Dia adalah kepunyaan kita yaitu segala kebenaran, kekudusan, keadilan, kasihNya dll.

“Anakku, engkau selalu bersama-sama dengan aku, dan segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu.” (Luk. 15:31)


Tidakkah kita akan berkata: “Atas pertolongan Allah, aku akan memulai suatu perjalanan iman yang baru, dan tidak akan berhenti sampai mencapai rencana kekal Allah atas hidup ku. Aku akan percaya bahwa setiap langkah adalah di hadapan Allah dan segala kepunyaanNya adalah kepunyaanku?”

Kamis, 02 Januari 2014

Perubahan & Pengorbanan

Ketika Obama memberikan pidato pada pelantikannya, ia menyebutkan satu kata penting: change. Semua rakyat Amerika Serikat bersorak ketika mendengar seruan itu. Terlebih lagi ketika melihat dunia sekarang yang semakin hari semakin mengecewakan. Tentunya ketika mendengar seruan change dari Obama, semua orang yang hadir saat itu memikirkan dan mengharapkan hal yang sama yaitu perubahan menjadi lebih baik. Hal ini sama persis apa yang pernah dituliskan oleh Michael Jackson dalam salah satu liriknya: heal the world make it a better place. Karena itu saya percaya harapan untuk berubah bukan hanya harapan rakyat Amerika saja tapi harapan semua manusia. Kita semua mengharapkan agar hidup yang mengecewakan, penuh penderitaan, dan kesusahan ini berubah menjadi lebih baik. Tapi dalam realitanya kita seringkali melupakan satu kunci penting dalam perubahan: pengorbanan. Satu kata yang mungkin cukup sering kita dengar tapi sering kita lupakan dan tak pedulikan. Coba kita buka kembali buku sejarah yang mungkin sudah usang dan berdebu di gudang kita, maka kita akan menemukan bahwa perubahan sejarah terjadi ketika ada pengorbanan. Banyak orang ingin perubahan tapi tidak mau pengorbanan. Terlebih lagi ketika akhir-akhir ini dunia hiburan kita dikagetkan oleh munculnya artis-artis instan. Orang-orang yang iseng meng-upload video ke internet kemudian secara singkat menjadi terkenal. Sejak itu hidup mereka pun berubah. Yang dulu biasa-biasa saja menjadi luar biasa. Masyarakat banyak yang mendengar cerita ini pun terdorong mengikuti jejak yang serupa. Tujuannya yaitu mencapai perubahan singkat dan tanpa pengorbanan tapi memperoleh keuntungan yang besar.

Maukah perubahan? Mau. Sudahkah berkoban? Ada yang sudah, ada yang belum. Kalau belum, beranilah berkorban. Kalau sudah berkorban tapi ternyata tidak melihat perubahan, mungkin karena kita belum lebih berani untuk berkorban lebih besar. Karena sejarah mengajarkan bahwa semakin besar pengorbanan, semakin besar perubahan, vice versa.

Pada 5 Desember 2013, Nelson Mandela, seorang tokoh yang begitu dihormati dunia meninggal dunia. Banyak orang berduka karena kehilangan satu lagi pahlawan dan teladan bagi manusia. Ia dipandang membawa perubahan yang besar bagi Negaranya (Afrika) dan bahkan dunia dalam hal memperlakukan sesama (tentang apartheid, racism, kesamaan hak, freedom, justice dll). Namun perubahan yang dikerjakannya bukan tanpa pengorbanan. Ia harus rela menjalani masa hukuman 27 tahun atas hal yang sebenarnya bukan suatu tindak kejahatan/kriminalitas. Lalu menjadi presiden Afrika Selatan yang pertama terpilih secara demokratis pada tahun 1994-1999. Mandela mengatakan: “I was not a messiah, but an ordinary man who had become a leader because of extraordinary circumstances.”

Namun lebih dari itu, ada perubahan terbesar yang sekaligus pengorbanan terbesar yang pernah terjadi dalam sejarah manusia adalah: Allah menjadi Manusia, supaya manusia berdosa menjadi anak-anak Allah. Yohanes, murid Tuhan Yesus, dengan jelas memaparkan kedua hal ini: Yohanes 1:14, Yohanes 3:16 dan 1 Yohanes 3:1. Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, Ia rela memberikan AnakNya yang Tunggal yaitu Kristus untuk menebus manusia yang berdosa. Supaya manusia berdosa yang percaya kepadaNya tidak binasa tapi diangkat menjadi anak-anak Allah.

  1. Allah menjadi manusia (Yoh. 1:14; 3:16) – Tidak terbatas menjadi Terbatas
Perubahan dan pengorbanan terbesar yaitu Sang Pencipta menjadi sama dengan ciptaan. Sungguh aneh jikalau kita menganggap hal ini begitu biasa. Aneh, kalau kita ketika mendengar ini tidak menjadi kagum dan memuji Dia. Karena Pencipta pasti berbeda dengan ciptaan, tapi di satu titik dalam sejarah, Pencipta itu menjadi sama dengan ciptaan. Mungkin kita sempat berpikir bahwa pasti akan ada pengecualian-pengecualian yang Dia terima karena Dia adalah Pencipta. Ternyata tidak ada pengecualian (no exception). Salah satu berita terbesar dalam tahun 2013 adalah kelahiran putra mahkota dari Pangeran William dan Kate Middleton. Pernikahan mereka dinantikan dan disorot banyak media, begitu pula kelahiran anak mereka. Dunia menyambut dengan penuh sukacita kelahiran sang putra mahkota Inggris. Kurang lebih 2000 tahun lalu, Yusuf hampir menghentikan hubungannya dengan Maria karena dipandang sebagai aib. Kurang lebih 2000 tahun lalu, Raja di atas segala Raja lahir namun tidak ada sambutan dan tidak ada perayaan oleh dunia. Yang ada penolakan (mau dibunuh). Dunia tidak siap menerima Sang Pencipta hadir di tengah-tengah ciptaanNya. Dunia tidak tahu dan tidak menyadari, bahwa moment itulah dimana Allah merealisasikan perubahan yang begitu besar akan dunia yang berdosa.
Ia lahir, tumbuh dan menjadi dewasa sebagaimana manusia pada umumnya, no exception. Ini merupakan perubahan dan pengorbanan yang begitu besar dari Sang Pencipta.

  1. Manusia diangkat menjadi anak-anak Allah (1 Yoh. 3:1) – Yang dalam kesementaraan menjadi kekal
Kenapa Ia mau melakukan semua itu? Ia mempunyai misi yang begitu besar yaitu perubahan status manusia berdosa menjadi anak-anakNya. Sebagaimana ditegaskan kembali oleh Athanasius: “Allah menjadi manusia supaya manusia berdosa menjadi serupa dengan Allah”. Kesadaran dan kebutuhan akan hal ini diberikan oleh Roh Kudus. Sayang sekali ketika kita melihat segala sesuatu berubah tapi kita belum diubahkan menjadi anak-anak Allah (bandingkan Yeremia 8:20). Kita diangkat menjadi anak-anak Allah yang serupa dengan gambaran AnakNya yang Tunggal (Roma 8:29) yaitu Kristus itu dalam kondisi present dan eternity. Jadi bukan sesuatu yang hari ini anak-anak Allah, kemudian esok hari atau dalam kekekalan tidak pasti anak-anak Allah. Status kita yang di dalam Kristus itu jelas dari sekarang sampai kekekalan adalah anak-anak Allah. Ini merupakan identitas kita yang bersifat kekal yang membedakan dengan dunia berdosa.
Apa specialnya perubahan identitas sebagai anak-anak Allah? Dalam perumpamaan tentang “anak yang hilang” dijelaskan relasi bapa dan anak demikian: Anakku, engkau selalu bersama-sama dengan aku, dan segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu (Lukas 15:31). Dalam “Deeper Life”, Andrew Murray menjelaskan hal ini: 1. Unbroken fellowship with Him, 2. He has given us all things that are in Him.

Ketika kita mengharapkan suatu perubahan, maka perlu dipertanyakan: “Perubahan seperti apa yang kita mau?” Jawaban ini akan mengimplikasikan adanya pengorbanan untuk perubahan tersebut. Perubahan kecil memerlukan pengorbanan kecil, perubahan besar memerlukan pengorbanan besar. Alkitab memaparkan kepada kita perubahan dan pengorbanan terbesar dalam sejarah manusia. “Allah menjadi manusia supaya manusia berdosa menjadi serupa dengan Allah".