Minggu, 13 Desember 2020

Pada Tengah Malam Terdengar Pujian

(It Came Upon the Midnight Clear)

Teks  : Edmund H. Sears

Musik : Richard S. Willis

Lukas 2:13-14 

Dan tiba-tiba tampaklah bersama-sama dengan malaikat itu sejumlah besar bala tentara sorga yang memuji Allah, katanya: “Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya.”

"Pada Tengah Malam Terdengarlah Pujian" ditulis oleh Edmund Sears. Ia adalah seorang hamba Tuhan dari Unitarian Church. Edmund Sears menuliskan 5 bait pada 1849. Pertama kali dipublikasikan pada 29 Desember 1849. Sears menulis lagu ini atas permintaan temannya, William Parsons Lunt, hamba Tuhan dari Gereja United First Parish, Massachusetts. Lagu ini merupakan refleksi melankolis atas pelayanannya di Wayland, Massachusetts, Amerika Serikat. Kemudian hari, lagu ini menjadi salah satu lagu Christmas carol yang popular.

Edmund Sears lahir pada 6 April 1810 dari pasangan suami istri Joseph dan Lucy Sears. Ia dibesarkan di Berkshire Hills, Massachusetts. Ia menjalani studi akademis di Union College, New York dan menyelesaikan pendidikannya di sana dalam tahun 1834. Kemudian, Sears melanjutkan studi di Harvard Divinity School dan lulus dalam tahun 1837. Tidak lama kemudian, ia melayani sebagai misionaris di Toledo, Ohio. Ia melayani di jemaat Greater Boston Unitarian di Wayland, Lancaster, and Weston. Ia meninggal pada 14 Januari 1876 di Weston, Massachusetts.

Richard Storrs Willis (10 Februari 1819 – 10 Mei 1900) adalah seorang musisi himne asal Amerika. Ia juga adalah seorang kritikus music dan editor jurnal. Salah satu melodi gubahannya yang dikenal adalah “Carol” untuk himne “Pada Tengah Malam” (1850). Ia pernah ke Jerman untuk belajar music selama 6 tahun di bawah bimbingan Xavier Schnyder dan Moritz Hauptmann. Ketika di Jermah, ia menjadi teman dekat dengan Felix Mendelssohn. Setelah kembali ke Amerika, ia melayani sebagai kritikus musik untuk New York Tribune, The Albion, dan The Musical Times. Ia bergabung dengan Asosiasi Musik Amerika New-York. Ini merupakan organisasi yang memperkenalkan karya-karya musik musisi Amerika. Ia memulai jurnal pribadinya dalam tahun 1862 yang berisikan gagasan tentang seni. Ia meninggal pada 7 Mei 1900 dan dikuburkan di Pemakaman Woodlawn.

“Pada Tengah Malam” merupakan salah satu himne natal pertama yang ditulis oleh seorang penulis Amerika dan diterbitkan di Christian Register pada tahun 1849. Himne ini menjadi salah satu lagu natal yang sangat terkenal yang dinyanyikan setiap hari Natal di seluruh dunia. Inti pesan dari lagu ini adalah pengharapan dan damai sejahtera yang disampaikan oleh para malaikat. Hal ini terkait dengan makna sosial bahwa Kristus membawa damai sejahtera dan kemurahan bagi sesama yang sedang mengalami masalah sosial. Hal ini karena, pada saat lirik himne ditulis Amerika sedang mengalami banyak keresahan termasuk ketegangan antara Utara dan Selatan dan gejolak sosial sebagai akibat revolusi industri.

Himne ini ingin mengajak orang-orang yang mengalami begitu banyak kesulitan untuk sekali lagi mendengar nyanyian para malaikat. Bait terakhir dari himne ini merupakan optimisme yang penuh harapan. Pada saatnya akan tiba Raja damai kan datang dan merealisasikan secara sempurna damai sejahtera di langit dan bumi yang baru. Biarlah berita damai sejahtera dan pengharapan yang sampaikan oleh para malaikat “Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud” terus terdengar di tengah-tengah kesulitan hidup kita. 



Sabtu, 12 Desember 2020

Malam Kudus

(Silent Night)

Teks: Joseph Mohr, 1818

Musik: Franz Xaver Grüber, 1818


Lukas 2:11 Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud.

Joseph Mohr dilahirkan di kota Salzburg yang indah, di Austria, pada tahun 1792. Sebagai seorang anak laki-laki, ia menjadi anggota koor yang aktif di Katedral Salzburg. Pada 1815, Mohr ditahbiskan ke dalam keimaman Gereja Roma Katolik. Setelah pentahbisannya, ia melayani di beberapa wilayah di Salzburg. Ketika sedang melayani sebagai seorang asisten imam pada tahun 1818, dalam sebuah gereja baru, St. Nicholas di Obernorf, di wilayah Tyrol, pada ketinggian Pegunungan Alps yang indah, Mohr menulis teks untuk lagu Natal yang paling favorit di antara semua nyanyian Natal yang ada. Pastur Mohr dan Franz Grüber, kepala sekolah desa dan organis gereja, sudah sering berbicara tentang fakta bahwa himne Natal yang sempurna belum pernah ditulis. Dengan target ini di kepala, dan setelah ia menerima berita bahwa organ di gerejanya sendiri tidak dapat berfungsi, Pastur Mohr memutuskan untuk menulis himnenya sendiri, segera, supaya mereka mempunyai musik untuk Misa Malam Natal dan jemaatnya yang setia tidak kecewa. Setelah menyelesaikan teks itu, ia membawa tulisannya kepada Franz Grüber, yang berseru ketika ia melihat kata-kata itu, “Temanku Mohr, kau sudah menemukannya – lagu yang tepat – terpujilah Allah.”

Grüber segera menyelesaikan tugasnya, yaitu menuliskan tune yang tepat bagi teks baru ini. Musiknya yang sederhana dan indah menyatu sempurna dengan semangat kata-kata Pastur Mohr. Himne ini diselesaikan tepat waktu untuk Misa Malam Natal, dan Pastur Mohr bersama Franz Grüber menyanyikannya, diiringi gitar Grüber. Himne ini memberikan pengaruh yang besar kepada jemaat, bahkan sampai pada generasi-generasi berikutnya. Berlalunya waktu nampaknya hanya menambah daya tarik lagu ini.

Baik Mohr maupun Grüber tidak bermaksud supaya himne mereka digunakan di luar wilayah desa kecil mereka di pegunungan. Namun, dilaporkan bahwa beberapa hari setelah Misa Malam Natal, petugas reparasi organ, Karl Maurachen dari Zillerthal, seorang pembuat organ terkenal di area itu, datang ke gereja dan mendapatkan sebuah salinan dari himne baru tersebut. Melaluinya, nyanyian itu tersebar ke semua wilayah Tyrol, dan lagu itu pun menjadi terkenal sebagai lagu rakyat Tyrol. Berbagai grup seperti Strasser Children’s Quartet yang terkenal itu segera mulai menggunakan himne ini dalam konser mereka di seluruh Austria dan Jerman. Pada tahun 1838, lagu ini pertama kali muncul di sebuah buku himne Jerman, dengan diberi judul “himne yang tidak diketahui asal usulnya.” Lagu ini pertama kali diperdengarkan di Amerika pada 1839 ketika sebuah keluarga dari Tyroalena Singers, Rainers, menggunakan musik itu selama tur konser mereka. Dengan cepat lagu ini diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dan bahasa-bahasa lainnya. Paling tidak terdapat delapan versi terjemahan Inggris yang diketahui sekarang. Nyanyian ini sekarang dinyanyikan di dalam semua bahasa utama dunia dan adalah favorit universal di mana pun lagu-lagu Natal dinyanyikan.

Lagu ini membawa kita merenungkan kembali makna Natal sejati yaitu tentang inkarnasi Kristus dalam dunia berdosa. Melodinya yang begitu indah menggambarkan betapa agung peristiwa inkarnasi Kristus. Ia yang adalah Pencipta, datang melalui Yusuf dan Maria, keluarga sederhana, di kota sederhana dan di tempat yang begitu sederhana. Ia tidak menganggap segala kemuliaanNya sebagai sesuatu yang harus dipertahankan melainkan mengosongkan diriNya untuk menebus manusia berdosa.

Jumat, 11 Desember 2020

Hai Mari Berhimpun

(O Come All Ye Faithful)

Lagu ini merupakan terjemahan dari “Adeste Fideles” (Latin) yang terdiri dari empat bait. Selama bertahun-tahun, himne ini dikenal sebagai himne Latin anonim. Setelah dilakukan penyelidikan maka diketahui himne ini ditulis oleh John Wade dalam tahun 1744. Ia menulis teks dan melodinya yang sekarang ini kita kenal dan dinyanyikan di mana-mana pada masa Natal. Himne ini pertama kali muncul dalam buku lagu koleksi karya John Wade berjudul Cantus Diversi dipublikasikan di Inggris dalam tahun 1751. Sekitar 100 tahun kemudian himen ini diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh seorang hamba Tuhan dari gereja Anglikan yaitu Grederick Oakeley supaya lagu ini dapat dinyanyikan oleh jemaatnya. Melodi himne (hymntune) ini menjadi hymntune tersendiri sesuai dengan judul lagu latinnya yaitu Adeste Fideles.

Adeste fideles artinya “hadirlah atau mendekatlah, kamu yang setia” (be present or near, ye faithful). Bait pertama merupakan suatu ajakan bagi kita untuk membayangkan kehadiran bayi Kristus di Betlehem (Mikha 5:2; Lukas 2:10-12). Bait kedua, biasanya tidak dimasukan dalam bait terjemahannya, mengingatkan kita bahwa bayi Kristus adalah Allah sejati. Yesus Kristus adalah Tuhan, Sang Terang, bukan ciptaan (Yesaya 9:2; Kolose 1:15-20). Bait ketiga menggambarkan kepada kita keagungan dan penyembahan dari malaikat yang menyanyikan pujian atas kedatangan Kristus dan didengar oleh para gembala (Lukas 2:14-15). Bait terakhir merupakan pujian dan pengagungan kepada Sang Firman yang menjadi Manusia (Yohanes 1:14). 

Bait 1

Adeste fideles læti triumphantes,
Venite, venite in Bethlehem.
Natum videte
Regem angelorum:
Venite adoremus (3×)
Dominum.

Bait 2

Deum de Deo, lumen de lumine
Gestant puellæ viscera
Deum verum, genitum non factum.
Venite adoremus (3×)
Dominum.

Bait 3

Cantet nunc io, chorus angelorum;
Cantet nunc aula cælestium,
Gloria, gloria in excelsis Deo,
Venite adoremus (3×)
Dominum.

Bait 4

Ergo qui natus die hodierna.
Jesu, tibi sit gloria,
Patris æterni Verbum caro factum.
Venite adoremus (3×)
Dominum.

Sumber Bacaan:

Osbeck, Kenneth W. 2002. Amazing Grace: 366 Inspiring Hymn Stories for Daily Devotions. Grand Rapids: Kregel Publications.

Kamis, 10 Desember 2020

Dunia Gemar dan Soraklah

(Joy To The World)

Teks : Isaac Watts, 1719

Musik : G. F. Handel (23 Feb. 1685 – 14 Apr. 1759)

Teks dari himne ini ditulis oleh Isaac Watts (lahir di Southampton, Inggris, 17 Juli 1674 – meninggal di London, Inggris, 25 November 1748 pada umur 74 tahun). Ia adalah seorang pendeta dan juga komponis musik gereja yang terkenal dan mempunyai wawasan yang sangat luas. Dia adalah anak tertua dari 9 bersaudara. Ayahnya aktif (diaken) dalam pelayanan gereja. Meskipun Isaac mempunyai kesehatan yang kurang baik, dia sangatlah pandai dalam banyak hal. Sejak kecil, Isaac Watts menunjukkan kejeniusannya dalam bidang literatur dan kecakapan belajar. Isaac sejak kecil mempunyai kemampuan khusus dalam sastra dan puisi. Dari umur 5 tahun sampai 13 tahun, dia sudah belajar bahasa Latin, Yunani dan Ibrani: usia 5 tahun belajar Latin; 9 tahun, Yunani; 11 tahun, Perancis; dan 13 tahun, Ibrani. Dan dia sudah mulai menulis puisi. Bahkan berbicara pun dia seringkali seperti sedang berpuisi.

Ia menerbitkan sebuah kumpulan yang terdiri dari 210 himne ini, di tahun 1707, dalam sebuah buku berjudul Hymns and Spiritual Songs. Kumpulan tahun 1707 ini dan kemudian himnal di tahun 1719 mewakili monument penting dalam pengembangan himnodi Inggris. Kedua terbitan itu merupakan himnal sebenarnya yang pertama dalam Bahasa Inggris.

Selain menulis himne, Watts dikenal juga sebagai seorang pelajar teologi dan filsafat yang sangat rajin, dan, sepanjang hidupnya, ia menulis banyak volume penting yang memberikan pengaruh yang berkuasa atas pemikiran Inggris, selama akhir abad 17 dan awal abad 18. Dia juga mempelajari mengenai psikologi, berkotbah, memperdalam alkitab, menulis buku-buku agama kristen, pandai dalam logika dan lain-lain. Pada umur 20 tahun, dia lulus dari kuliahnya. Dan masa itulah dia menulis kumpulan hymn dan lagu-lagu kristen yang diterbitkan pada 1707-1709. Kurang lebih selama 6 tahun dia juga mempelajari teologi dan filsafat. 

Dia berkotbah pertama kali ketika berumur 24 tahun. Dia meninggal saat berumur 74 tahun (25 November 1748). Dia dimakamkan di Bunhill Fields Cemetery, London tempat dimana John Bunyan, Joseph Hart John Rippon dan William Shrubsole juga dimakamkan. Sebagai penghargaan, dibuat suatu monumen Isaac Watts di Westminster Abbey, Gereja yang terkenal di Inggris. 

Sebelum Watts menerbitkan buku nyanyian, penggunaan musik di dalam gereja-gereja Inggris sangat kurang. Penggunaan nyanyian yang diperbolehkan di dalam gereja hanyalah yang berasal dari kitab Mazmur. Watts berpandangan bahwa Mazmur kurang jelas dalam mengekspresikan iman Kristen, seperti mengenai Kristus, Trinitas, dan doktrin-doktrin Kristen lainnya. Karena memang dalam kitab Mazmur tidak menggunakan istilah-istilah kristen sekarang secara langsung misalnya: Allah Tritunggal. Karena itulah, Watts menerbitkan koleksi lagu-lagu dari Mazmur namun dengan menggunakan istilah-istilah Kristen sekarang.

Dia patut disebut sebagai “Bapak Himnodi Inggris” karena keberaniannya meninggalkan irama Mazmur tradisional dan menggunakan “himne-himne ketenangan manusia” - pernyataan yang didasarkan seluruhnya pada pemikiran dan kata-kata satu orang - Watts pada umumnya dianggap sebagai anggota gereja yang radikal pada masanya. Ia mendapat julukan "Bapa Hymn di Inggris". Nyanyian ciptaan Watts berpengaruh besar terhadap gereja-gereja di Inggris dan di luar Inggris. Hingga sampai pada masa Charles Wesley memperkenalkan lagu-lagu hymnnya, lagu-lagu dari Watts terus juga dinyanyikan kalangan gereja-gereja Inggris dan luar Inggris.

Himne ini terinspirasi dari Mazmur 98:4-9,

Bersorak-soraklah bagi TUHAN, hai seluruh bumi, bergembiralah, bersorak-sorailah dan bermazmurlah! Bermazmurlah bagi TUHAN dengan kecapi, dengan kecapi dan lagu yang nyaring, dengan nafiri dan sangkakala yang nyaring bersorak-soraklah di hadapan Raja, yakni TUHAN! Biarlah gemuruh laut serta isinya, dunia serta yang diam di dalamnya! Biarlah sungai-sungai bertepuk tangan, dan gunung-gunung bersorak-sorai bersama-sama di hadapan TUHAN, sebab Ia datang untuk menghakimi bumi. Ia akan menghakimi dunia dengan keadilan, dan bangsa-bangsa dengan kebenaran.

Meskipun himne ini pada dasarnya merupakan pujian sukacita mengenai perlindungan Allah atas umat pilihan-Nya dan merupakan antisipasi eskatologis ketika Ia datang sebagai Raja dan Hakim atas alam semesta, Isaac Watts memaksudkan himne ini sebagai ekspresi pujian Perjanjian Baru. Himne ini merupakan pengagungan atas karya keselamatan Allah yang digenapi ketika Allah berinkarnasi sebagai Sang Bayi di Betlehem. Ini merupakan penggenapan dari Kejadian 3:15 dan banyak nubuat-nubuat dalam Perjanjian Lama. Judul asali dari himne ini adalah “Kedatangan Mesias dan Kerajaan-Nya” (The Messiah’s Coming and Kingdom) seperti yang dipublikasikan pertama kali dalam buku lagu oleh Isaac Watts dalam tahun 1719. Melodinya digubah oleh Lowell Mason di mana beberapa bagian dari melodi himne ini menggunakan gubahan George F. Handel yaitu “Lift up your heads” dan “Comfort ye” dalam oratorio Messiah yang ditampilkan pertama kali dalam tahun 1742. Dengan demikian himne ini merupakan perpaduan antara salah satu sastrawan Inggris berbakat dalam Abad 18, musisi agung kelahiran Jerman di zaman yang sama, dan musisi Amerika Abad 19.


Sumber Bacaan:

Osbeck, Kenneth W. 2002. Amazing Grace: 366 Inspiring Hymn Stories for Daily Devotions. Grand Rapids: Kregel Publications.

Senin, 07 Desember 2020

Dengar Malak Bersorak

(Angels We Have Heard on High)

Musik : Old French Melody


Himne “Dengar Malak Bersorak” adalah sebuah carol Natal dengan melodi himne “Gloria” yang berasal dari nyanyian tradisional Prancis yang dikenal sebagai Les Anges dans nos campagnes yang terdiri dari delapan bait disertai dialog para gembala dan Maria. Paraphrase Inggris dibuat oleh James Chadwick dalam tahun 1862. Ia adalah seorang Uskup di Hexham dan Newcastle, Inggris. Himne dimasukan dalam suatu buku berjudul “Crown of Jesus” (1862) yang berisikan renungan, doktrin, dan pengajaran tentang iman Kristen. Himne ini dimasukan dalam bagian “Dua Belas Misteri dari Bayi Sakral” (The Twelve Mysteries of the Sacred Infancy) dengan judul kategori “Himne Natal” (Christmas Hymn) yang disederhakan menjadi empat bait dalam bahasa Inggris. Dalam buku himne Metodist yang diterbitkan pada tahun 1966, himne ini diberi judul “Dengar Malak Bersorak” (Angels We Have Heard on High) karena teks tersebut lebih dikenal demikian pada waktu itu.

Himne ini terinspirasi dari kisah kelahiran Kristus dalam narasi Injil Lukas khususnya dalam Lukas 2:8-20. Inti dari himne ini adalah merefleksikan dan menggemakan kembali keindahan dan keagungan nyanyian para malaikat. Bait pertama memaparkan kembali tentang adanya para malaikat yang bernyanyi atas kelahiran Kristus di dunia. Malaikat mewakili keberadaan makhluk surgawi dan keadaan surgawi yang digambarkan terang bercahaya mulia. Bait kedua menyatakan keadaan berlawanan (kontras) dengan keadaan surgawi bahwa dunia adalah dunia yang gelap. Para gembala adalah kelompok orang yang dianggap rendah pada saat itu. Bait ketiga menyatakan Kristus yang mulia rela datang dan hadir di dalam dunia berdosa dengan lahir dan terbaring di palungan yang hina. 

Bagian refrain Gloria in excelsis Deo merupakan terjemahan Latin dari “Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi” (Lukas 2:14). Kalimat ini bagian dari nyanyian para malaikat surgawi yang didengarkan oleh para gembala saat itu. Gloria berarti “kemuliaan” dinyanyikan dengan alunan melodi melismatik (satu suku kata dengan banyak melodi) dengan ragam not naik dan turun secara mengalir berurutan (sequential). Dalam sejarah musik, alunan melodi melismatik dapat menggambarkan sukacita. Oleh karena itu dalam hal ini alunan melodi melismatik menyatakan sukacita, keindahan, dan kemuliaan yang melimpah. Alunan melodi melismatik kemudian diikuti melodi dari bawah yang dapat berarti sebagai partisipasi tanggapan dari dunia terhadap nyanyian surgawi.

Himne ini merupakan nyanyian undangan dari umat Kristen kepada orang lain untuk datang dan merayakan kelahiran Kristus bersama-sama. Karena kelahiran Kristus merupakan berita sukacita bagi dunia berdosa. 

Sumber Bacaan:

Osbeck, Kenneth W. 2002. Amazing Grace: 366 Inspiring Hymn Stories for Daily Devotions. Grand Rapids: Kregel Publications.


Minggu, 06 Desember 2020

Bernyanyilah Merdu

(Good Christian Men, Rejoice!)

Song of the Angels (1881) by William Adolphe Bouguereau

Tidak diketahui dengan jelas siapa penulis himne ini. Namun terdapat keunikan dari himne natal yaitu perpaduan antara teks Latin Abad ke-14 dan bahasa Jerman sehari-hari. Beberapa bait awal dari himne ini merupakan teks Latin yang diperkirakan dibuat dalam tahun 1300an. Teks Latinnya berjudul “In Dulci Jubilo” yang berarti “in sweet shouting” (sorak-sorai yang indah). Bertahun-tahun kemudian orang Jerman menambahkan baitnya dalam bahasa Jerman. Pada suatu kali, himne dengan teks Latin dan Jerman ini pun diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh John M. Neale (1818-1866) dalam Abad ke-19 yang memang seorang ahli dalam bidang terjemahan bahasa kuno. Neale adalah seorang hamba Tuhan dari gereja Anglikan yang ahli dalam memahami dan menterjemahkan teks kuno bahasa Latin dan Yunani bahkan bahasa Rusia dan Siria. Ia menterjemahkan himne ini menjadi berjudul “Good Christian Men, Rejoice.” Himne terjemahan bahasa Inggris ini dipublikasikan pertama kali pada tahun 1853 dalam buku lagu Neale’s Carols for Christmastide. Selain itu, himne ini semakin dikenal ketika Johann Sebastian Bach (1685-1750), seorang musisi Kristen Protestan, menggubah melodinya menjadi salah satu inspirasi untuk karyanya BWV 729 (Katalog Karya Musik Bach nomor 729) dalam bentuk chorale prelude. Chorale prelude merupakan komposisi liturgikal pendek untuk alat musik organ berdasarkan melodi tertentu dalam hal ini yaitu “In dulci Jubilo.” 

Himne ini merupakan ungkapan reaksi terhadap berita kelahiran Sang juruselamat. Berita kelahiran Sang Juruselamat membuat orang Kristen sejati mengalami sukacita yang penuh di dalam Kristus. Himne ini menyatakan sukacita sejati merupakan sukacita hati dan jiwa yang dinyatakan melalui nyanyian secara melimpah tanpa henti. Kedatangan Sang Juruselamat adalah dasar dan akar sukacita sejati orang-orang Kristen. Sukacita ini diekspresikan melalui puji-pujian yang indah dengan berita Injil sejati. Mengapa bersukacita? Himne menyatakan beberapa alasan: 

(1) Kristus telah lahir – Christ is born today!

(2) Kristus lahir untuk membuka pintu surga dan memberkati manusia supaya hidup berkelimpahan – Christ was born for this!

(3) Kristus lahir untuk memanggil dan menyelamatkan manusia berdosa – Christ was born to save!

Injil Lukas merupakan salah satu Injil yang memuat banyak nyanyian dalam peristiwa kelahiran Sang Juruselamat: Nyanyian pujian Maria (Lukas 1:46-55), Nyanyian pujian Zakharia (Lukas 1:67-79), Nyanyian para Malaikat (Lukas 1:14), Nyanyian Simeon (Lukas 1:29-32). Dalam Nyanyian pujian Zakharia menyatakan dasar sukacita sejati umat Tuhan, “Terpujilah Tuhan, Allah Israel, sebab Ia melawat umat-Nya dan membawa kelepasan baginya, Ia menumbuhkan sebuah tanduk keselamatan bagi kita di dalam keturunan Daud, hamba-Nya itu, …” (Lukas 1:68-69).


Sumber Bacaan:

Osbeck, Kenneth W. 2002. Amazing Grace: 366 Inspiring Hymn Stories for Daily Devotions. Grand Rapids: Kregel Publications.


Sabtu, 05 Desember 2020

Beritakanlah di Gunung

(Go Tell It on The Mountain)

Teks & Musik: John W. Work Jr. 


Teks himne ini ditulis oleh John Wesley Work Junior (1871-1925). Ia adalah seorang musisi Kristen kelahiran Afrika-Amerika. Ia dikenal juga sebagai John Wesley Work II untuk membedakan dengan anaknya bernama John Wesley Work III. Ia dan saudaranya bernama Frederick J. Work (1871-1925) tergerak untuk memadukan musik tradisional Afrika-Amerika dengan kebenaran iman Kristen. Salah satu lagu gubahannya yaitu “Beritakanlah di Gunung.” Himne ini pertama kali dipublikasikan pada tahun 1907 dalam buku Folk Songs of the American Negro. Sejak itulah, himne ini menjadi semakin dikenal luas. 

Teks himne sederhana ini menyampaikan kisah natal berdasarkan Lukas 2:8-20. Himne ini diawali dengan kisah gembala yang sedang menjaga domba-dombanya di padang. Tiba-tiba datanglah seorang malaikat Tuhan sehingga para gembala menjadi ketakutan. Suatu pengalaman yang tidak pernah terjadi selama hidup mereka bahkan selama ratusan tahun di Israel. Malaikat menyampai berita yang sangat menggembirakan bagi para gembala bahkan seluruh umat manusia berdosa. Suatu kabar baik bahwa Kristus Sang Juruselamat telah lahir di Betlehem. Mereka pun pergi ke Betlehem. Mereka berjumpa dengan Sang Juruselamat yang mulia lahir sebagai seorang bayi yang tak berdaya. Namun kemuliaan-Nya nampak jelas sehingga membuat para gembala bersukacita dan memuji Allah. Berita sukacita ini harus terus diberitakan sampai ke ujung bumi di sepanjang sejarah bahwa Yesus Kristus Sang Juruselamat telah lahir. Dia-lah Tuhan dan Juruselamat Dunia. 



Angels Announcing the Birth of Christ to the Shepherds (1615) by Govert Flinck

Sumber Bacaan:

Osbeck, Kenneth W. 2002. Amazing Grace: 366 Inspiring Hymn Stories for Daily Devotions. Grand Rapids: Kregel Publications.

Jumat, 04 Desember 2020

Berita Natal Pertama

(The First Noel)


Adorazione dei magi (Adoration of The Magi, 1423) by Gentile da fabriano

“Berita Natal Pertama” diyakini merupakan himne dari Prancis selama tahun 1400-1500an. Tidak ditemukan siapa yang menuliskan himne ini. Noel merupakan kata dari bahasa Prancis yang berasal dari bahasa Latin yang mempunyai arti “hari kelahiran.” Himne ini diyakini tersebar sampai ke Inggris sebelum tahun 1823 oleh para penyanyi keliling Abad Pertengahan (troubadours). Sejak tiba di Inggris, himne Natal ini menjadi sangat dikenal dan bahkan menjadi salah satu yang terfavorit. 

Keenam bait dari himne ini pada intinya mendorong kita untuk bersama-sama memuji Tuhan atas karya penciptaan dan penebusan-Nya. Keenam baitnya berusaha untuk meringkas secara utuh kisah Natal yang sejati. Bait pertama menceritakan tentang berita Natal pertama yang dibawakan oleh para malaikat kepada para gembala yang miskin dan sederhana (Lukas 2:8-14). Bait kedua sampai kelima menceritakan tentang berita Natal disampaikan kepada orang-orang Majus dari Timur yaitu bintang terang yang luar biasa dan sangat berbeda dengan bintang-bintang lainnya. Para orang Majus pun mengikuti bintang terang itu yang akhirnya mengantar mereka di suatu tempat di Betlehem. Mereka pun menyembah dan memberikan persembahan berupa emas, kemenyan, dan mur kepada Tuhan Yesus Kristus (Matius 2:1-11). Bait keenam mengajak kita untuk memuji dan menyembah Tuhan Yesus Kristus Raja atas alam semesta (Filipi 2:5-11).

Segala sesuatu yang ada dicipta di dalam Kristus. Demikian pula, hanya Tuhan Yesus Kristus yang dapat mendamaikan manusia berdosa dengan Diri-Nya. Inilah yang dikenal sebagai Supremasi Kristus baik dalam penciptaan maupun penebusan. Hal ini jelas dinyatakan dalam Kolose 1:15-20,

Ia adalah gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan, karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana, maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa; segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia. Ia ada terlebih dahulu dari segala sesuatu dan segala sesuatu ada di dalam Dia. Ialah kepala tubuh, yaitu jemaat. Ialah yang sulung, yang pertama bangkit dari antara orang mati, sehingga Ia yang lebih utama dalam segala sesuatu. Karena seluruh kepenuhan Allah berkenan diam di dalam Dia, dan oleh Dialah Ia memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya, baik yang ada di bumi, maupun yang ada di sorga, sesudah Ia mengadakan pendamaian oleh darah salib Kristus.


Sumber Bacaan:

Osbeck, Kenneth W. 2002. Amazing Grace: 366 Inspiring Hymn Stories for Daily Devotions. Grand Rapids: Kregel Publications.

Kamis, 03 Desember 2020

Kota Kecil Betlehem (Di Malam Sunyi Betlehem)

(O Little Town of Bethlehem)

Teks: Philips Brooks (1835-1893)

Musik: Lewis R. Redner (1831-1908)

Dalam tahun 1865, Philips Brooks, seorang hamba Tuhan dari gereja Episkopal, mengikuti perjalanan ke Israel untuk mengenang jejak-jejak kehadiran Kristus di dunia. Pada kesempatan itu, ia mengikuti ibadah Natal di salah satu gereja di Betlehem. Konon, gereja itu dibangun tepat di atas tempat kelahiran Yesus. Kebaktian tersebut berlangsung dari pk. 10.00 malam sampai pk. 03.00 pagi. Pengalaman tersebut begitu berkesan dan tak terlupakan. Dalam suatu surat, Ia mengisahkan pengalamannya pada Malam Natal di Betlehem:

“Sesudah makan siang, kami menunggang kuda dari Yerusalem ke Betlehem. Perjalanan itu meamkan waktu kira-kira dua jam. Sebelum malam tiba, kami kembali melewati padang rumput. Kata orang di tempat itulah para gembala itu berada pada zaman dahulu. Ada sebidang tanah yang dipagari; di dalamnya ada sebuah gua. Ketika kami lewat, ada gembala-gembala yang sedang menjaga kawanan domba, ada juga yang sedang mengiring ternaknya ke dalam kandang.”

Tiga tahun kemudian, ketika ia menjadi gembala di salah satu gereja di Philadelphia, Ia tergerak membuat suatu nyanyian natal untuk dinyanyikan oleh anak-anak sekolah minggu berkeliling. Ia pun kembali mengenang kota Betlehem di mana Sang Juruselamat lahir yang kemudian ia tuangkan dalam puisi “Kota Kecil Betlehem” (Little Town of Bethlehem) – terj. lain “Di Malam Sunyi Betlehem.” Ia memberikan puisi ini kepada organis bernama Lewis R. Redner dan memintanya untuk menggubah melodi untuk puisinya. Tepat satu hari sebelum anak-anak sekolah minggu mulai berkeliling untuk menyanyikan nyanyian natal, ia terinspirasi menggubah melodi untuk puisi ini seperti yang kita kenal saat ini. Pada hari Minggu pagi, himne ini pertama kalinya terdengar dinyanyikan oleh paduan suara anak-anak. Himne ini pun terus dicetak dan menjadi popular di kota Philadelphia. Sebelum Pdt. Brooks meninggal pada tahun 1893, himne Natal karangannya menjadi dikenal luas di luar Philadelphia. Dan sebelum Bapak Redner meninggal pada tahun 1908, himen ini sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa.

Himne ini secara utama terinspirasi dari Nubuatan dalam Perjanjian Lama dan Penggenapan dalam Perjanjian Baru mengenai kedatangan Kristus di kota Betlehem. Nubuatannya terdapat dalam Mikha 5:2, “Tetapi engkau, hai Betlehem Efrata, hai yang terkecil di antara kaum-kaum Yehuda, dari padamu akan bangkit bagi-Ku seorang yang akan memerintah Israel, yang permulaannya sudah sejak purbakala, sejak dahulu kala.” Nubuat yang disampaikan oleh Nabi Mikha digenapi ratusan tahun kemudian seperti dicatat dalam Matius 2:1-12 (Lukas 2:1-7). Dalam Matius 2:1 dinyatakan: “Sesudah Yesus dilahirkan di Betlehem di tanah Yudea pada zaman raja Herodes, datanglah orang-orang majus dari Timur ke Yerusalem … .”

Melalui puisinya, Brooks menggambarkan secara dramatis dan ekspresif akan kedatangan Sang Juruselamat. Penggambaran ini diawali dengan kota Betlehem yang merupakan salah satu kota bersejarah di Israel. Suatu fakta sejarah yang tidak dapat disangkali oleh siapa pun. Kemudian digambarkan Kristus yang mulia, maha kuasa dan tidak terbatas hadir sebagai bayi yang terbatas, dan bahkan nampak tak berdaya. Secara manusiawi akan nampak sebagaimana bayi manusia pada umumnya. Namun, Sang Bayi Kudus dari Betlehem adalah Sang Harapan bagi manusia berdosa. Brooks mengajak kita berdoa agar mengalami keselamatan dari Sang Bayi Kudus di mana dosa kita dihapuskan dan kita tinggal di dalam Kristus, Tuhan dan Juruselamat kita.


Sumber Bacaan:

Osbeck, Kenneth W. 2002. Amazing Grace: 366 Inspiring Hymn Stories for Daily Devotions. Grand Rapids: Kregel Publications.

Kisah Nyata di Balik Lagu Pilihan. Bandung: Lembaga Literatur Baptis, 2007.


Rabu, 02 Desember 2020

Adalah di Kota Daud

(Once in Royal David’s City)

Teks: C. Frances Alexander, 1848

Musik: H. John Gauntlett, 1849

Bagaimanakah mengajarkan doktrin-doktrin penting tentang iman Kristen kepada anak-anak kecil? Itulah masalah yang dihadapi seorang guru sekolah minggu Irlandia muda, Fanny Humphreys, di pertengahan abad yang lalu. Ia hidup di antara jemaat di Strathbane, Irlandia Utara, dan ia bertugas untuk mengajar kelas Katekisasi di gerejanya. Hal ini meliputi di antaranya menerangkan berbagai pasal dari Pengakuan Iman Rasuli. Untuk membuat kebenaran-kebenaran yang mendalam dari pengakuan iman itu dimengerti oleh anak-anak kecil yang berkumpul mengelilinginya minggu demi minggu bukanlah hal yang mudah. Tetapi dengan gembira Fanny menemukan solusinya. Ia adalah seorang penyair, dan ia tahu bahwa anak-anak menyukai puisi. Oleh karena itu, ia pun memutuskan untuk menulis beberapa himne sederhana untuk menjelaskan katekismus tersebut.

Kumpulan karyanya Hymns for Little Children diterbitkan pada tahun 1848, ketika ia berusia 25 tahun. Buku himne ini merupakan koleksi puisi-puisi yang dikembangkan dan penjelasan dari Pengakuan Iman Rasuli untuk dapat digunakan di gereja maupun di rumah. Buku himne ini pun menjadi berkat bagi banyak anak-anak. Satu atau dua tahun setelah penerbitan buku tersebut, ia menikah dengan Pdt. William Alexander, seorang hamba Tuhan gereja Anglikan. Sejak itulah Fanny Humphreys dikenal sebagai Ny. Cecil Frances Alexander. 

“Adalah Di Kota Daud” adalah sebuah lagu yang dibuat untuk mengajarkan makna Natal. Memang himne ini tidak ditulis secara khusus sebagai himne Natal. Himne ini ditulis untuk mengajar anak-anak tentang makna peristiwa yang kita rayakan pada saat Natal, dengan sebuah maksud untuk menjelaskan apa yang terjadi, mengapa hal itu terjadi, dan hubungan Natal dengan diri kita. Bagian Alkitab yang secara utama menjadi inspirasi dari puisi ini adalah Lukas 2:4-7

Demikian juga Yusuf pergi dari kota Nazaret di Galilea ke Yudea, ke kota Daud yang bernama Betlehem, karena ia berasal dari keluarga dan keturunan Daud supaya didaftarkan bersama-sama dengan Maria, tunangannya, yang sedang mengandung. Ketika mereka di situ tibalah waktunya bagi Maria untuk bersalin, dan ia melahirkan seorang anak laki-laki, anaknya yang sulung, lalu dibungkusnya dengan lampin dan dibaringkannya di dalam palungan, karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan.

Apakah makna Natal yang dinyatakan dalam himne ini?

Allah datang ke dunia menjadi manusia untuk menyelamatkan manusia berdosa. Ia adalah Tuhan Yesus Kristus yang lahir melalui seorang perawan Maria. Himne ini mengungkapkan keagungan dan keindahan kehadiran Kristus di dunia dengan menekankan: Kristus yang mulia datang ke dunia berdosa yang hina.

Filipi 2:5-11 

Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: "Yesus Kristus adalah Tuhan," bagi kemuliaan Allah, Bapa!



Selasa, 01 Desember 2020

O Datanglah Imanuel

Advent and Triumph of Christ by Hans Memling (1480, Munich)

“O Datanglah Imanuel” merupakan lagu yang sudah ditulis sejak Abad Pertengahan (sekitar tahun 1200an). Lagu ini digunakan dalam liturgi gereja dalam Abad Pertengahan sebagai bagian dari seri antiphon. Antiphon merupakan nyanyian chant pendek yang terdapat dalam liturgi Kristen, umumnya dinyanyikan sebagai refrain. Pada waktu itu, antiphon dinyanyikan oleh paduan suara secara berbalas-balasan (responsorial). Biasanya paling sedikit ada 2 kelompok paduan suara. Antiphon seringkali menggunakan teks Alkitab khususnya Mazmur. Pada masa itu paduan suara menyanyikan antiphon tanpa iringan alat musik atau secara acapella.

“O Datanglah Imanuel” merupakan suatu kerinduan menyambut kedatangan Sang Juruselamat. Momen penantian ini dikenal sebagai Advent (dari istilah Latin adventus berarti kedatangan). Pada masa Advent, orang-orang Kristen mempersiapkan diri untuk menyambut kelahiran Kristus. Advent dilakukan selama 4 kali hari minggu sebelum natal. Dalam Advent kita merenungkan kembali akan nubuatan-nubuatan Perjanjian Lama mengenai kedatangan Mesias dan KerajaanNya. Nubuatan akan kedatangan Mesias sudah terjadi ribuan tahun sebelum kelahiranNya. Ada juga nubuatan itu yang disampaikan ketika para orang Yahudi berada dalam pembuangan di Babilonia. Dalam Perjanjian Lama terdapat ragam sebutan mengenai Kristus (misalnya dalam Yesaya 9:6): Penasihat Ajaib, Allah yang Perkasa, Bapa yang Kekal, Raja Damai. Masa penantian tersebut dijalani dengan ketekunan. Mereka mengharapkan akan kedatangan Sang Mesias yang akan mengubahkan keadaan mereka. Demikian yang terdapat dalam lagu “O Datanglah Imanuel” yang menyatakan mengenai penantian akan Sang Mesias. Berdasarkan teks Latin, himne ini mempunyai 5 bait. Berikut ini sedikit penjelasan berdasarkan teks Latin-nya:

Bait pertama menyatakan akan kerinduan datangnya Sang Juruselamat yang membawa pelepasan dari masa pembuangan dialami oleh Israel. Tuhan Allah menyatakan keadilanNya terhadap Israel yang berdosa. Ia “membiarkan” bangsa Israel dijajah oleh bangsa lain dan bahkan disebarkan ke berbagai tempat. Kemudian bangsa Israel sadar dan bertobat. Mereka berdoa kepada Tuhan supaya diselamatkan dan dilepaskan dari masa penghukuman mereka.

Bait kedua, menyatakan tentang Sang Juruselamat yang Agung itu adalah Allah yang sudah memberikan firman-Nya di gunung Sinai. Pujilah Tuhan yang menyelamatkan kita yang berdosa. Karena Dia mengasihi manusia berdosa, Ia datang untuk menyelamatkan kita. Penyelamat kita bukanlah manusia yang berdosa sehingga dapat gagal tapi Tuhan Allah sendiri yang tidak pernah gagal (Ibrani 4:15).

Bait ketiga, kuasa Kristus yang mengalahkan segala kuasa dosa juga kuasa si jahat (1 Korintus 15:57). Allah yang berinkarnasi menjadi manusia yaitu Tuhan Yesus Kristus. Sepenuhnya Allah dan sepenuhnya manusia namun tidak berdosa. Ia mati disalib dan bangkit mengalahkan kuasa dosa dan si jahat. Sehingga setiap kita yang percaya kepadaNya tidak binasa melainkan memperoleh hidup yang kekal.

Bait keempat, bahwa Kristus adalah Terang yang membawa kita juga tinggal di dalam terang-Nya (Yohanes 1:9; 9:5). Kita yang diselamatkan di dalam Kristus diangkat menjadi anak-anak terang. Sebagai anak-anak terang kita dimampukan untuk hidup di dalam terang Kristus. Roh Kudus memampukan dan menguatkan kita untuk hidup dalam terang Kristus.

Bait kelima, kelahiran-Nya melalui keturunan Daud yang akan menjadi harapan bagi kita untuk hidup yang kekal. Kristus dilahirkan dalam garis keturunan Daud. Ia datang ke dunia memberikan harapan sejati bagi manusia berdosa. Ia memberikan janji keselamatan dan menggenapi-Nya dengan datang ke dunia. Hal ini ditegaskan salah satunya dalam Matius 1:1.


Sumber Bacaan:
Osbeck, Kenneth W. 2002. Amazing Grace: 366 Inspiring Hymn Stories for Daily Devotions. Grand Rapids: Kregel Publications.

Kamis, 15 Oktober 2020

Sola Fide

Lukas 7:36-50

Sola Fide dapat direnungkan paling tidak dalam 2 konteks: kontra dengan Abad Pertengahan dan Abad Modern. Dalam konteks Abad Modern, iman dihadapkan dengan rasio karena ini terkait dengan persoalan epistemologis. Di dalam pergumulan Luther saat itu, Abad Pertengahan, dalam konteks persoalan soteriologis sehingga iman dihadapkan dengan perbuatan baik (termasuk ritual dan surat indulgensia). Prinsip ini merupakan prinsip alkitab yang salah satunya dapat dilihat dari Lukas 7:36-50. 

Seorang Farisi mengundang Yesus untuk datang makan di rumahnya. Yesus datang ke rumah orang Farisi itu, lalu duduk makan (ayat 36). Seorang Farisi mengundang Tuhan Yesus untuk datang ke rumahnya, lalu Yesus pun datang. Siapa orang Farisi? Pada umumnya kita menilai orang Farisi secara negatif. Tapi saya ingatkan, orang Farisi adalah orang yang sungguh-sungguh berkomitmen hidup bagi Tuhan dan bahkan mau mati bagi Tuhan. Orang Farisi adalah kelompok yang sungguh-sungguh memikirkan bagaimana menerapkan Firman Tuhan dalam setiap aspek kehidupan dan tidak ingin melawan Tuhan. Orang Farisi adalah kelompok yang ketika belajar sejarah pembuangan dari bangsa Israel, mereka mau memperbaiki diri mereka agar sungguh-sungguh takut akan Tuhan. Mereka merenungkan Alkitab lalu mengembangkan Alkitab dengan tujuan menjaga kekudusan di hadapan Tuhan. Orang Farisi itu adalah orang yang sungguh-sungguh berusaha menjauhi dosa dan pendosa. Apakah hal ini sulit kita terima? Saya kira tidak. Hampir semua orang tua mengajarkan pada anaknya, “Jangan dekat-dekat dengan orang nakal, jangan dekat-dekat dengan pencuri.” Ketika kita bekerja diingatkan: “Jangan dekat-dekat dengan koruptor.” Pada umumnya orang tua yang wajar normal pasti menjauhkan anak-anaknya dari pergaulan dan lingkungan yang buruk. Pada umumnya orang tua akan mendorong anak-anaknya dekat dengan orang-orang di gereja. Kita diajarkan harus menjauhi dosa dan pendosa. Itu wajar sekali karena “Pergaulan yang buruk merusak kebiasaan yang baik” (1 Kor. 15:33). 

Orang Farisi adalah orang yang sungguh-sungguh mau menjaga kekudusan di hadapan Tuhan. Mereka belajar dari sejarah, mereka tidak mau lagi dihukum oleh Tuhan. Kemudian mereka sungguh-sungguh ketat dan mengembangkan hukum Allah yang salah satunya yaitu 613 Mitzvot. Anak-anak diajar membaca Alkitab (Perjanjian Lama), lalu memahami Alkitab itu, mengingat setiap ayat Alkitab, dan menerapkannya sampai umur 12-13 tahun, Bar Mitzvah. Mereka sangat bangga dengan tradisi itu karena tradisi itu tidak dimiliki oleh orang-orang ‘kafir’ di sekitar mereka. Tidak banyak orang Farisi yang mau mengundang Tuhan Yesus datang ke rumahnya. Simon adalah salah satu orang Farisi yang mengundang Tuhan Yesus yang dicatat oleh Alkitab. Saat itu Tuhan Yesus merupakan public figure yang kontroversial dan popular, sehingga kedatangannya ke rumah orang Farisi didengar oleh banyak orang di kota itu. 

Di kota itu ada seorang perempuan yang terkenal sebagai seorang berdosa. Ketika perempuan itu mendengar, bahwa Yesus sedang makan di rumah orang Farisi itu, datanglah ia membawa sebuah buli-buli pualam berisi minyak wangi. Sambil menangis ia pergi berdiri di belakang Yesus dekat kaki-Nya, lalu membasahi kaki-Nya itu dengan air matanya dan menyekanya dengan rambutnya, kemudian ia mencium kaki-Nya dan meminyakinya dengan minyak wangi itu (ayat 37-38). Ada beberapa penafsir mengatakan bahwa setting dari peristiwa itu terjadi di pelataran rumah atau di bagian rumah yang terbuka karena memang saat itu kehidupan publik sangat penting. Selain itu, orang Farisi mengundang seseorang masuk ke rumahnya itu sangat hati-hati sekali. Sebelum dia dapat menyimpulkan sesuatu tentang seseorang, mereka tidak akan mengundang orang itu sembarangan untuk masuk ke rumahnya. Dan salah satu tokoh yang kontroversial saat itu adalah Tuhan Yesus. Hal lain lagi yaitu ketika perempuan masuk begitu mudah tanpa ada batas padahal dikenal sebagai pendosa. Ia masuk dan langsung mendekati Tuhan Yesus. Saat itu mereka duduk di lantai – kemungkinan itu kakinya mungkin lipat ke belakang – sehingga perempuan dapat langsung mencuci kaki Tuhan Yesus. Ia membawa sebuah buli, tiba-tiba dia menangis lalu membasahi kaki Tuhan Yesus dengan air matanya, mencuci kaki Tuhan Yesus, dan menyekanya dengan rambutnya, mencium kaki itu, dan kemudian meminyaki kaki Tuhan Yesus. Perempuan ini melakukan suatu tindakan yang luar biasa. Satu ekspresi tindakan yang sangat mencengangkan di dalam konteks saat itu. Saya kira di dalam konteks sekarang juga. Bayangkan kita mengundang tamu seorang pria ke rumah. Tiba-tiba dari luar datang seorang perempuan lalu mencuci kaki tamu itu. Pada umumnya sangat lumrah kita akan heran apalagi perempuan tersebut dikenal sebagai orang yang berdosa.  

Lukas tidak mengatakan dosa dari perempuan ini. Namun dalam sepanjang sejarah perempuan berdosa ini diidentikkan dengan Maria Magdalena dan Maria Betania. Penafsiran ini diawali oleh Paus Gregorius I di awal abad pertengahan tahun 500-an. Paus Gregorius dikenal karena kumpulan karya lagunya disebut Gregorian Chant. Dia menyamakan perempuan ini dengan Maria Magdalena dan Maria Betania dengan menyamakan tokoh perempuan dalam Lukas 7 dengan Lukas 8:2; Lukas 10:39 dan Yohanes 12:3. Paus Gregorius I menafsirkan perempuan tersebut sebagai Maria Magdalena yang merupakan seorang perempuan tunasusila. Tafsiran ini terus bertahan sampai ribuan tahun bahkan sampai sekarang masih banyak orang yang memahaminya demikian. Ada yang menyatakan Maria Magdalena adalah orang yang mencintai Tuhan Yesus seperti digambarkan dalam novel Da Vinci Code oleh Dan Brown. Selain itu banyak para seniman seperti Van Gogh, Paul Cézanne, dan Paul Gauguin terinspirasi karena Maria Magdalena seorang perempuan tunasusila yang bertobat – menurut legendanya – pergi ke Prancis memberitakan Injil lalu menjadi martir. Victor Hugo dalam Les Misérables menyebutkan panggilan terhadap Jean Valjean sebagai Monsieur Madeleine (Madeleine = Magdalena). Kisah Maria Magdalena sebagai perempuan tunasusila yang bertobat menginspirasi banyak orang. 

Tetapi para penafsir Reformasi Protestan – dan seharusnya kita juga saat ini – tidak menafsir 3 perempuan ini sebagai orang yang sama. Di sini, Lukas mencatat seorang perempuan berdosa yang identitasnya tidak jelas dan dosanya pun tidak disebutkan. Dia bisa berdosa karena memang sebagai tunasusila, bisa juga dia berdosa karena dia menikah dengan orang yang kafir (bukan Yahudi), yang tidak ber-Tuhan, atau dia merupakan istri dari pemungut cukai, istri pembunuh, dan lain-lain. Saya kira juga kita tidak perlu berlebihan untuk menafsir bahwa perempuan yang berdosa ini langsung diberikan label sebagai seorang tunasusila. Tapi pada umumnya memang kita akan segera memahami perempuan tidak benar itu sebagai perempuan tunasusila. Padahal perempuan nggak benar itu definisinya nggak selalu begitu. Itu asosiasi yang salah karena kontruksi sosial dan proyeksi dosa kita. Sesuatu tabu yang mau kita jauhi, yang merupakan ekspresi dosa hati kita, lalu kita kenakan kepada orang lain yang sebenarnya hati kita itu sudah jahat dalam dosa itu. Lukas mau menyatakan di sini nggak penting jenis dosanya apa, yang penting adalah dia perempuan berdosa. Dosa ‘kecil’ atau ‘besar’ adalah tetap dosa dan itu serius di hadapan Allah. Hal ini juga serius di hadapan masyarakat saat itu karena dosanya secara sosial dipandang sangat kotor. Statusnya secara sosial itu sangat tidak baik, dan dia melakukan sesuatu yang sangat ‘aneh’ saat itu: dia mencuci kaki Yesus sehingga dapat dimaknai secara erotis. Namun kalau kita lihat gesture-nya, bahasa tubuh dari perempuan ini, mulai dari tangisannya, di dalam Alkitab itu merupakan bahasa pertobatan. Mencuci kaki Tuhan Yesus dengan rambutnya, rambut itu merupakan lambang kehormatan perempuan. Jadi ini merupakan penghormatan kepada Tuhan Yesus. Lalu dikatakan bahwa dia meminyaki kaki Tuhan Yesus yang merupakan lambang syukur dan sukacita atas kehadiran dan penerimaan dari Tuhan Yesus. 

Ketika orang Farisi yang mengundang Yesus melihat hal itu, ia berkata dalam hatinya: “Jika Ia ini nabi, tentu Ia tahu, siapakah dan orang apakah perempuan yang menjamah-Nya ini; tentu Ia tahu, bahwa perempuan itu adalah seorang berdosa” (ayat 39). Kemungkinan besar Simon mengundang Tuhan Yesus untuk lebih kenal dan mau melihat Tuhan Yesus masuk kategori kelompok sosial yang mana. Walaupun dalam ayat 34 dikatakan Tuhan Yesus masuk dalam kategori kelompok orang yang berdosa, Simon ingin mengenal Tuhan Yesus. Dalam kategori masyarakat saat itu, kelas atas adalah pengajar/ahli agama, filsuf, dan pengajar/guru sebagai kelas atas (elite) yang mempengaruhi banyak orang. Kelas menengah adalah prajurit sebagai orang berjasa bagi kepentingan banyak orang. Lalu kelas bawah yaitu petani, pengusaha, pedagang karena hanya fokus pada urusan perut sendiri dan keluarganya. Dan lebih bawah lagi dari semua itu kelompok orang berdosa: pemungut cukai, perempuan tunasusila, orang-orang yang dikatakan oleh orang Farisi itu orang yang kafir, dan orang-orang berdosa. Tuhan Yesus ini masuk mana? Simon belum memutuskan sehingga mengundang Tuhan Yesus. Tapi dalam bagian ini jelas dia menilai Tuhan Yesus bukan nabi karena membiarkan seorang perempuan berdosa menyentuhnya. Sehingga kemungkinan Simon sudah menyimpulkan bahwa Tuhan Yesus memang kelompok bawah dalam masyarakat. 

Penilaian Simon ini tidak asing dengan kita. Simon menilai Tuhan Yesus adalah orang yang diselamatkan atau tidak, nabi atau bukan, orang yang saleh atau bukan, berdasarkan tindakan Tuhan Yesus, perbuatan Tuhan Yesus. Bukankah sering kali kita juga demikian? Kita juga menilai orang-orang dengan tindakan, dengan appearance, dengan performanya seperti apa. Mengapa? Ada penafsir mengatakan karena Simon mempunyai pemahaman – dan orang Farisi dan mungkin sekali banyak dari kita mempunyai pemahaman – kepercayaan mendasar di dalam hati kita bahwa keselamatan itu diperoleh melalui perbuatan baik. Keselamatan yang diperoleh melalui perbuatan baik karena memandang dosa itu adalah perbuatan jahat. Dosa itu adalah tindakan jahat, pelanggaran terhadap hukum Allah, tindakan pelanggaran terhadap hukum Allah. Padahal Alkitab mengatakan lebih esensiil daripada itu. 

Dosa bukanlah sekedar tindakan amoral, immoral, atau tindakan yang tidak sopan. Tetapi melalui bagian ini kita melihat bahwa kita cenderung menilai seseorang baik atau tidak, dekat Tuhan atau tidak, dari tindakannya (performanya). Hal ini karena pada dasarnya kita melihat bahwa dosa sebagai perbuatan jahat semata. Sehingga kita berlomba-lomba untuk menyatakan perbuatan baik supaya kita good perform. Kita sensitif dengan orang-orang yang tidak tampil secara baik, performa buruk. Saya menyadari ketika dalam satu ruangan ada seorang yang merokok, saya cenderung menjauhi orang itu. Bukan hanya sekedar menjauh, saya langsung berkata dalam hati, “Ini orang nggak benar. Orang nggak peduli kesehatan dirinya dan kesehatan orang lain.” Pada umumnya, kita melihat orang yang terus melayani di gereja dan yang terus naik mimbar itu orang yang lebih dekat Tuhan. Kayaknya kalau orang-orang ini berdoa minta sesuatu kepada Tuhan langsung dikabulkan. Sehingga tidak heran kita sering minta hamba Tuhan atau orang-orang yang aktif ke gereja yang berdoa agar Tuhan lebih mendengarkan dan mengabulkan harapan kita. Kenapa? Good perform. Kita menilai demikian karena di dalam hati kita paling dalam – dan ini memang hati manusia yang paling dalam ini pemikiran yang berdosa yang ‘wajar’ di dalam dosa – bahwa dosa itu perbuatan jahat dan solusi dari perbuatan jahat adalah perbuatan baik. Perbuatan baik itu banyak hal: ekspresi yang baik, performa yang baik. Maka apa yang kita lakukan? Kerja keras lebih baik lagi. Solusi dari manusia berdosa dalam menjalani hidupnya bukan bertobat kepada Kristus tapi kerja keraslah lebih baik, melakukan yang baik, performa yang baik. Di dalam gereja, pekerjaan, studi, dan semua kita kerjakan, akhirnya membentuk kita menjadi orang-orang bertopeng. 

Yesus pasti tahu apa yang dikatakan Simon, lalu Tuhan Yesus mengatakan suatu perumpamaan dalam ayat 40-43. Dia tidak langsung menegur Simon blak-blakan di depan umum waktu itu tapi Dia menegur secara persuasif menggunakan perumpamaan, dan memang menurut studi komunikasi, teguran melalui perumpamaan itu bisa dengan persuasif mengubah seseorang dengan begitu halus tanpa ada sesuatu bentrokan yang besar. Dalam perumpamaan dinyatakan ada 2 orang berutang, salah satu orang itu berutang lebih besar dari yang lain, tapi dua orang ini sama-sama nggak mampu membayar utangnya lalu pelepas utang itu menghapuskan utang mereka. Kedua orang ini berutang dan keduanya mendapat kasih karunia penghapusan utang. Lalu Tuhan Yesus bertanya, siapa di anatara kedua orang ini yang mengasihi lebih besar kepada tuan ini? Dan Simon menjawab dengan tepat bahwa orang yang utang lebih besar yang dihapuskan utangnya itu yang mengasihi lebih banyak. Ini kesimpulan yang mudah danta tanpa berpikir panjang, tanpa menganalisis begitu dalam, dan tanpa ada eksegese. Tapi uniknya Simon mengatakan, “Saya kira..” seperti mikir-mikir. Ada penafsir yang mengatakan tanggapan Simon seperti itu karena ia menyadari sudah masuk dalam jebakan dan sesudah itu pun ia tidak lagi memberi komentar kepada Tuhan Yesus. 

Mengapa perempuan ini melakukan suatu ekspresi kasih yang luar biasa? Karena dia begitu banyak diampuni. Orang yang membahasakan kasih dengan luar biasa adalah orang yang diampuni begitu besar. Ini terlepas dari dosanya kecil atau besar. Maka itu Lukas tidak mengatakan perempuan ini pendosa besar atau pendosa kecil. Karena melihat pengampunan itu besar bukan bergantung pada saya ini pendosa ‘besar’ atau ‘kecil’ karena dosa bagaimana pun itu adalah sama seriusnya di hadapan Allah. Kita dapat menyadari bahwa Allah memberikan pengampunan besar kepada kita karena kita menyadari bahwa dosa apa pun itu sangat menyedihkan Tuhan. Martin Luther menyatakan tentang dosanya yang sangat serius di hadapan Allah: ia tidak mencintai Allah, ia membenci Allah. Esensi dosa bukanlah perbuatan jahat semata. Esensi dosa adalah penyimpangan status dan kondisi eksistensi manusia di hadapan Allah. 

Tuhan Yesus mengatakan, “Engkau lihat perempuan ini, Aku masuk rumahmu namun engkau tidak memberikan Aku air untuk membasuh kaki-Ku. Tetapi dia, perempuan yang dipandang berdosa itu, membasahi kaki-Ku dengan air mata dan menyekanya dengan rambutnya. Simon engkau tidak mencium Aku, tetapi sejak Aku masuk, perempuan ini tidak henti mencium kaki-Ku. Engkau Simon, tidak meminyaki kepala-Ku dengan minyak, tetapi perempuan ini meminyaki kaki-Ku dengan minyak wangi” (ayat 44-46). Kata-kata Tuhan Yesus begitu tajam sekali. Di dalam konteks budaya saat itu apa yang dikatakan Tuhan Yesus merupakan standar sopan santun memperlakukan tamu. Di dalam tradisi saat itu kalau ada tamu masuk itu dicuci kakinya, itu benar. Tuan rumah menyuruh budaknya, atau mungkin tuan rumah sendiri yang mencuci kaki, itu biasa sekali. Simon ternyata tidak melakukan itu. Lalu mencium tamu, bisa mencium di pipi atau di tangan, ini juga kebiasaan umum sebagai penyambutan, penerimaan, dan penghargaan. Selain itu, meminyaki kepala, ini juga hal yang wajar untuk tamu yang dihormati sehingga diberikan penghormatan lebih. Apa yang Tuhan Yesus katakan? Kamu nggak lebih baik dari perempuan ini. Kamu mengkategorikan perempuan ini orang berdosa. Dan secara sosial – bukan hanya Simon atau orang Farisi – kelompok masyarakat saat itu juga mengkategorikan demikian. Tuhan Yesus katakan engkau (dan kita semua) tidak lebih baik dari perempuan ini. Apa bedanya? David E. Garland mengatakan dosa Simon “socially respectable,” dosa yang secara sosial dapat dimaklumi, dapat ditoleransi, dapat dikompromikan. Apa dosa respectable ini? dosa kesombongan, dosa keras hati, keras kepala, dosa cuek (tidak peduli), dosa penghakiman spontan dan sembarangan. Inilah seringkali menjadi dosa kita, orang-orang beragama. Berapa banyak kita merendahkan orang yang tidak sering ke gereja? Berapa banyak kita merendahkan orang-orang yang belum percaya kepada Kristus? Dan kita (lebih baik dari dia) seolah-olah mau menginjili dia untuk menjadi ‘pahlawan’ bagi dia supaya dia kenal Kristus, supaya dia selamat? Berapa banyak dari kita tidak peduli dengan sesama kita dan itu melihat hal itu wajar, kita maklumi? Ada orang susah di jalan kita biarkan. Ada yang susah di antara kita, kita cuek. Respectable sin

Tuhan Yesus memberikan kategori baru kepada perempuan ini, dengan mengatakan kalimat yang tidak mungkin pernah bisa dikatakan oleh siapapun kecuali oleh Tuhan saja, “Hai perempuan dosamu diampuni. Hai perempuan imanmu menyelamatkan engkau” (ayat 48, 50). Tidak mungkin ada seorang pun yang bisa mengatakan dosa kamu diampuni. Paus sekalipun tidak mungkin. Surat pengampunan dosa nggak mungkin. Yang bisa mengampuni dosa itu hanya Tuhan Yesus. Dan Tuhan Yesus mengatakan imanmu menyelamatkan engkau. Mengapa? Karena hanya Tuhan yang mampu memberikan solusi yang terbaik bagi masalah manusia yang paling dasar yaitu dosa. Bukan dengan perbuatan baik, tapi dengan iman. Jalan iman adalah jalan mencapai kesempurnaan berdasarkan pada kesempurnaan Kristus melalui iman. Bukan dengan perbuatan baik, karena dosa bukanlah hanya sekedar perbuatan jahat. Dosa adalah penyimpangan hati dan eksistensi manusia di hadapan Allah, yang seringkali tidak sekedar bisa dilihat secara fenomena, tetapi hati itu begitu kotor. Simon tidak kelihatan begitu jahat. Alkitab juga tidak pernah mencatat dosa-dosa orang Farisi itu yang begitu ekstrim, tindakan-tindakan yang begitu tidak bermoral, misalnya orang Farisi yang ke Bait Allah lalu malamnya ke tempat yang tidak benar, tempat yang berdosa, berjudi, atau berzinah, tidak demikian. Tetapi dosa-dosa mereka apa? Respectable sin yang kita semua sangat familiar dengan itu. Siapa orang Farisi saat ini? Kita adalah wajah Farisi masa kini. Orang-orang yang beragama, orang-orang yang performa good, orang-orang yang terus berusaha yang terbaik untuk kudus. Tapi Alkitab mengatakan kekudusan bukan didasarkan pada usaha manusia tapi pada pengudusan Roh Kudus yang kemudian menggerakkan kita, mendorong kita sehingga kita pun dimampukan untuk mengerjakan keselamatan yang kita peroleh melalui iman. Jalan perbuatan baik berarti pencapaian kesempurnaan melalui usaha manusia, sedangkan jalan iman berarti pencapaian kesempurnaan hanya melalui iman kepada Kristus saja. 

Kierkegaard dalam The Sickness unto Death mengatakan “The opposite of sin is not virtue, … the opposite of sin is faith” (berdasarkan Roma 14:23). Lawan dari dosa bukan kebajikan, bukan perbuatan baik, bukan karakter baik. Lawan dari dosa adalah iman karena dosa adalah penyimpangan hati dan eksistensi manusia di hadapan Allah. Iman sejati ditandai dengan pengampunan dari Kristus dan kasih yang besar kepada Kristus. Sola Fide.


Selasa, 09 Juni 2020

Tuhan-ku Yesus (Fairest Lord, Jesus)

Lirik        : Nyanyian Rakyat Jerman abad ke-17. Terjemahan Inggris oleh Joseph A. Seiss, 1873.
Musik    : Crusader’s Hymn Silesian folk song dari Schlesische Volkslieder, 1842; diaransemen kembali oleh Richard S. Willis, 1850

Mazmur 45 merupakan nubuatan tentang Mesias. Ayat 3 menjadi inspirasi dari lagu “Tuhanku Yesus” (Fairest Lord Jesus). Melodinya menggunakan nada himne “The Crusaders’ Hymn”. Teks lagu ini merupakan himne rakyat Jerman tidak diketahui dengan jelas siapa yang menulisnya. Teksnya pertama kali ditemukan dalam suatu manuskrip tahun 1662 dari Muenster di Westphalia. Teks dan melodinya digubah ketika disusun untuk misa dalam buku nyanyian Katolik Roma, Muensterisch Gesanbuch, pada tahun 1677.

Dalam tahun 1800an, terdapat kisah bahwa lagu ini dinyanyikan dalam suatu ibadah di daerah Silesia oleh suatu kelompok pengikut Jan Hus, salah satu pemimpin Reformasi awal. Nyanyian ini didengar oleh seorang laki-laki bernama Heinrich August Hoffman von Fallerslebein (1789-1874). Dia menyalin lagu ini dalam 5 bait yang kemudian dipublikasikan dalam suatu buku pujian Kristen dalam tahun 1842 di Leipzig, Jerman. Terjemahan 3 bait dalam bahasa Inggris dilakukan oleh Richard Storrs Willis. Ia lahir di Boston, pada tanggal 10 Feb. 1819. Ia mengikuti pendidikan akademis di Chauncey Hall, Boston Latin School, dan Yale sehingga menerima gelar A. B. dalam tahun 1841. Selama 6 tahun ia belajar di Jerman dan menjadi teman dekat dari Felix Mendelssohn. Kemudian ia kembali ke USA pada tahun 1848 menjadi seorang kritikus musik dan terlibat dalam terlibat dalam perkembangan musik di gereja serta di luar gereja. Pada tahun 1850 dia mempublikasikan karyanya tentang Church Chorals and Choir Studies yang memuat lagu “Tuhanku Yesus” di New York City. Selain himne ini, Willis juga berkontribusi dalam perkembangan himne kristen seperti salah satunya membuat melodi himne untuk lagu “Pada Tengan Malam Itu” (It Came Upon the Midnight Clear) yang ditulis oleh Edmund Hamilton Sears. Joseph Augustus Seiss (1823-1904) menambahkan 2 bait lagu ini yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris dan dimuat dalam buku lagu sekolah minggu Lutheran Injili pada tahun 1873. Liriknya tambahan ini indah namun tidak terlalu dikenal banyak orang.

Dalam bahasa inggrisnya lagu ini berjudul "Fairest Lord Jesus" yang diterjemahkan menjadi "Tuhan Yesus Yang Maha Adil." Sebagaimana judulnya, lagu ini fokus pada siapa Kristus dalam setiap baitnya.

Dari bait ke-1 sampai dengan bait ke-4 dijelaskan bahwa Tuhan Yesus Adil dan Indah yang memerintah seluruh alam. Ia patut dihormati dan dimuliakan. Dalam Ulangan 32:4 dikatakan, "Gunung Batu, yang pekerjaan-Nya sempurna, karena segala jalan-Nya adil, Allah yang setia, dengan tiada kecurangan, adil dan benar Dia." Demikian juga dituliskan dalam Mazmur 67:4, "Kiranya suku-suku bangsa bersukacita dan bersorak-sorai, sebab Engkau memerintah bangsa-bangsa dengan adil, dan menuntun suku-suku bangsa di atas bumi." Ini menjadi suatu sukacita bagi kita semua. Karena Ia yang bertahta atas alam semesta dan memimpin dalam keadilan. Ia bersih ketika menyatakan penghakimanNya. Ia merendahkan orang-orang yang congkak dan sombong, dan meninggikan orang yang rendah hati di hadapanNya.

Tuhan Yesus Kristus sebagai penguasa atas alam semesta yang Maha Adil. Dalam Matius 8:23-27, ketika angin ribut yang menggoncangkan perahu yang dinaiki oleh Krisus dan murid-murid-Nya. Hanya Tuhan Yesus saja yang dapat menenangkan angin ribut itu karena Ia Sang Maha Kuasa. Hal ini ditegaskan dalam Filipi 2:9-11, “Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: "Yesus Kristus adalah Tuhan," bagi kemuliaan Allah, Bapa!”

Selain Adil, Tuhan Yesus itu lebih indah dari apapun. Apa artinya?
1. Tuhan Yesus Kristus lebih indah dari segala sesuatu. Hal ini terkait dengan kemuliaan Allah yang tidak dapat dibandingkan dengan apa pun karena Dia-lah Sumber Keindahan itu. Kristus merupakan Pencipta yang dari-Nya memancarkan keindahan dan kemuliaan sejati (Yohanes 1:1-3; Kolose 1:15-17).
2. Tuhan Yesus lebih indah dari segala makhluk surgawi. Hal ini karena Kristus adalah cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah yang pasti jauh lebih tinggi dan jauh lebih indah dari pada mereka (Ibrani 1:1-4).
3. Tuhan Yesus indah karena Ia adalah Juruselamat. Dalam Wahyu 5:12 terdapat nyanyian: “Anak Domba yang disembelih itu layak untuk menerima kuasa, dan kekayaan, dan hikmat, dan kekuatan, dan hormat, dan kemuliaan, dan puji-pujian!”
4. Tuhan Yesus jauh lebih indah daripada keindahan yang ditawarkan dunia. Hal ini karena di dalam Dia, kita memperoleh kekayaan kasih karunia-Nya dan itu jauh melebihi apa yang ditawarkan oleh dunia. Pada akhirnya, kita kembali diingatkan untuk terus memuji Sang Kristus karena Ia layak dipuji dan disembah. 
 

Minggu, 31 Mei 2020

Allah Tritunggal dalam Lukisan Andrei Rublev



Andrei Rublev adalah seorang biarawan Ortodoks Rusia dalam Abad Pertengahan. Banyak perdebatan tentang lukisan ini mulai dari historisitas, hermeneutis, sampai teologis. Yang menarik dalam lukisan ini adalah bagaimana Rublev dari sudut pandang manusiawi yang terbatas berusaha menggambarkan salah satu kebenaran misterius iman kristen: doktrin Allah Tritunggal (Satu Allah, Tiga Pribadi). “Tiga Sosok” mempunyai wajah yang tampak serupa tanpa meniadakan keunikan masing-masing. “Tiga Sosok” itu tidaklah statis melainkan dinamis dalam relasi intra-trinitarian. Bagian meja yang kosong dapat ditafsir sebagai ruang penerimaan bagi setiap orang yang diberi anugerah untuk berbagian dalam persekutuan bersama “Sang Tiga Sosok Kudus” dalam keselamatan.

“Kasih karunia Tuhan Yesus Kristus, dan kasih Allah, dan persekutuan Roh Kudus menyertai kamu sekalian.” (2 Korintus 13:13)


Kamis, 28 Mei 2020

Bagaimana Iman Menjadi Besar?

Pada umumnya sebagai seorang Kristen, kita ingin mempunyai iman yang besar. Kita seringkali iri dengan orang-orang yang memiliki iman yang besar. Karena kita seringkali berpikir bahwa iman yang besar dapat menolong kita untuk menghadapi banyak hal dalam hidup ini. Semacam terdapat asumsi bahwa seorang yang mempunyai iman besar itu mampu menghadapi pergumulan yang begitu berat dalam hidupnya bahkan kematian pun tidak ditakutinya. Biasanya iman kita akan semakin besar ketika doa kita dijawab. Misalnya ketika kita sakit lalu kita berdoa kepada Tuhan dan Tuhan menyembuhkan kita. Atau orang lain sakit, lalu kita mendoakan kemudian orang itu sembuh. Kita semakin percaya diri dan keraguan semakin pudar sehingga iman semakin besar. Namun dalam narasi alkitab, hal ini sangat jarang terjadi. Iman seseorang menjadi besar justru melalui jalan sebaliknya. Salah satu peristiwa yang mengajarkan hal ini yaitu narasi tentang perempuan siro-fenisia (Kanaan) yang memohon belas kasihan dari Kristus dalam Markus 7:24-30 dan Matius 15:21-28.

Suatu kali Tuhan Yesus dan murid-murid pergi ke daerah Tirus dan Sidon. Dalam catatan alkitab tidak disebutkan dengan sangat jelas mengapa mereka pergi ke daerah yang termasuk perbatasan Israel. Kemungkinan karena mereka ingin ke daerah Yunani dan mampir di Samaria (Yohanes 4). Dalam hal ini, saya percaya perjalanan yang ditempuh oleh Tuhan Yesus pasti mempunyai maksud tertentu yaitu membesarkan iman perempuan Siro Fenisia. Ini pula yang dapat menjadi pelajaran bagi murid-murid-Nya di sepanjang sejarah.

Perempuan ini tidak disebutkan namanya namun jelas bukan orang Israel. Perempuan yang memiliki latar belakang agama dan budaya yunani. Injil Markus menyebutkan perempuan ini lahir di Siro Fenisia. Sedangkan Matius menyebut sebagai perempuan Kanaan. Injil Matius sengaja menyebutkan Kanaan sebagai sebutan umum untuk orang yang dipandang kafir tinggal di Israel namun dianggap sebagai musuh Israel. Dalam Perjanjian Lama, Tirus dan Sidon digambarkan sebagai bangsa yang memusuhi Tuhan Allah dan menolak kebenaran (Yer. 25:22-31; Yer. 47:4; Yoel 3:4; Zak. 9:1-4). Daerah ini berbahasa yunani sejak penguasaan Iskandar Agung (Makedonia) pada abad ke-4 SM. 

Adegan 1
Ketika Tuhan Yesus memasuki sebuah rumah di daerah Tirus (dan Sidon) namun kabar itu tidak dapat dirahasiakan sehingga banyak orang mengetahuinya. Salah satunya adalah perempuan Siro-Fenisia (Kanaan = bukan Israel) yang tidak disebutkan namanya namun cukup jelas identitasnya. Dalam Markus 7:25 terjemahan ESV dikatakan ia “segera” datang kepada Tuhan Yesus dan memohon: “Kasihanilah aku, ya Tuhan, Anak Daud” (Matius 15:22). Markus dan Matius menyatakan iman (kepada Tuhan Yesus Kristus) perempuan ini yang berlawanan dengan lack of faith dari banyak orang israel khususnya pemimpin agama. Tidak ada keraguan, ia segera datang dan mengakui Kristus sebagai Mesias (Anak Daud). Melalui credo ini, kita dapat menyimpulkan bahwa ia mempunyai pengetahuan tentang pengharapan mesianik dari Israel, janji Allah atas Sang Pembebas dan Sang Raja yang dari keturunan Daud. Kemungkinan besar selama ini ia pernah masuk ke dalam sinagoge dan mengikuti pengajaran Yahudi salah satunya tentang pengharapan mesianik. 

Tetapi, Tuhan Yesus diam dan tak menjawab (Matius 15:23). Hal ini bukan berarti Ia tidak peduli melainkan berarti mendengarkan. Ketika kita berdoa sepertinya Allah diam. Ketika orang percaya mengalami banyak pergumulan dan bahkan penganiayaan, pembalikan keadaan tidak terjadi. Lalu kita segera menyimpulkan ini bukanlah Tuhan yang kita percaya. Ia diam dan tidak menolong umat-Nya. Tetapi narasi alkitab justru menyatakan “diam” adalah langkah awal Tuhan membesarkan iman umat-Nya. Mengapa? Dalam diam, Ia mendengarkan jeritan dan pergumulan hati yang terdalam. To Listen is To Know.

Adegan 2
Alkitab melanjutkan narasinya dengan awalan “tetapi” suatu negasi dari sebelumnya. Bukannya menyerah, perempuan ini justru berteriak-teriak (Matius 15:23). Hal ini membuktikan Tuhan Yesus yang “diam” tidak menyurutkan semangat perempuan ini. Ingat Amsal 18:14 mengatakan: “Orang yang bersemangat dapat menanggung penderitaannya, tetapi siapa akan memulihkan semangat yang patah?” Terhadap hal ini, narasi alkitab kembali dilanjutkan dengan kata “tetapi”. Hal ini berarti tanggapan Tuhan Yesus “berlawanan” dari dugaan perempuan dan bahkan kita sekalian. Tuhan Yesus menyatakan bahwa Ia diutus hanya kepada domba-domba hilang dari Israel. Hal ini sama seperti Tuhan menjawab: “Saya banyak urusan, banyak orang yang perlu saya perhatikan bahkan lebih penting dari kamu.” Tuhan Yesus justru menyatakan tentang “keterbatasan misi-Nya” (Matius 15:24-25). Respon ini seolah discouraging reply. Dalam tahap kedua ini, seringkali kita patah semangat karena jawaban Tuhan yang “mengecewakan.” Namun, inilah kunci rahasia mengikut Tuhan. Jawaban Tuhan yang “tak terduga dan nampak mengecewakan” merupakan batu loncatan kepada iman yang lebih besar lagi. Buktinya? Hal ini dapat dilihat dari respon perempuan yang bahkan menyembah Tuhan. 

Adegan 3
Perempuan itu menyembah dan berkata: “Tuhan, tolonglah aku.” Namun Tuhan Yesus menjawab dengan mengutip peribahasa Yahudi: “Tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing” (Matius 15:26-27). Ini merupakan jawaban ironis di mana makna literal berbeda atau berlawanan dengan makna sejatinya. Tuhan Yesus tidak dengan jelas menyatakan siapa anak dan siapa anjing. Namun perempuan ini meresponi dengan menempatkan diri seperti “anjing” yang memang tidak layak menerima roti sehingga hanya remah-remahnya saja. Jawaban ironis merupakan tantangan yang memang bertujuan memunculkan iman perempuan ini. Dalam alkitab seringkali Tuhan memberikan tantangan untuk membesarkan iman umat-Nya misalnya Maz. 10:1, Yer. 12:5 (bdk. Amsal 17:3; Maz. 66:10).

Tuhan Yesus “menguji” sehingga kemurnian iman perempuan ini semakin memancar lewat ketekunannya. Iman yang sejati bukan iman tanpa ujian. Iman yang sejati justru semakin murni dan semakin besar di dalam ujian. Bagaimana Tuhan Yesus membesarkan iman umat-Nya seringkali dengan prinsip serupa: diam (untuk mendengar), jawaban “mengecewakan”, dan bahkan ironis. Iman sejati justru akan meresponi dengan gigih datang dan bahkan menyembah Tuhan. Iman sejati bukan berawal dari kelayakan diri melainkan dari kesadaran ketidaklayakan diri akan anugerah. 

Senin, 18 Mei 2020

Identitas dan Otoritas


“Bukan aku yang melakukannya,” ia berkata dan melanjutkan, “Ada harimau di dalam tubuhku.” - Margio dalam Lelaki Harimau (2004)

Lelaki Harimau ditulis oleh Eka Kurniawan. Ia adalah salah satu sastrawan kontemporer indonesia. Beberapa karyanya: Cantik itu Luka (2002), Lelaki Harimau (2004), Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (2014), O (2016). Beberapa tahun lalu saya membaca Lelaki Harimua. Suatu karya sastra yang menarik dengan ragam polemik kompleksitas manusia dan sesamanya dalam konteks Indonesia pasca-kolonial. Lelaki Harimau seolah menyatakan identitas terikat dengan otoritas. 

Identitas Margio terikat dengan siapa yang berotoritas dalam hidupnya. Ia percaya adanya roh harimau putih jelmaan Prabu Siliwangi yang "diwariskan" kepadanya. Harimau itu menguasainya sehingga dapat membunuh seseorang secara brutal. Tentu hal ini dapat dilihat sebagai suatu afirmasi sekaligus alibi.

Dalam hal ini saya merenungkan bahwa identitas seorang kristen itu terikat dengan siapa yang berotoritas atas hidupnya. Alkitab mengatakan dalam Galatia 2:20, "Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku."

Siapakah atau apakah yang berotoritas atas hidup kita?


Selasa, 10 Maret 2020

Sucikan Hatiku, O Tuhanku (Purer in Heart, O God)

Lirik : Mrs. A.L. Davison (Fannie Estele)
Musik : James H. Fillmore

Lirik lagu ini ditulis oleh Fannie Estele. Ia lahir dalam tahun 1851 di Ohio, Amerika Serikat. Ia anak dari Philo dan Sarah Ann. Philo (Ayah Fannie) meninggal pada saat berumur 10 tahun. Cukup lama setelah itu, ibunya menikah kembali sehingga mereka pindah ke Missouri, masih di Amerika Serikat. Fannie menikah dengan Asa Lee Davison dan mereka pun tinggal di Chicago. Sejak itu ia dikenal sebagai Mrs. A. L. Davison. Ia menulis banyak puisi yang kemudian dijadikan lagu-lagu Kristen. Salah satu yang sangat dikenal adalah “Sucikan Hatiku, O Tuhanku” yang musiknya digubah oleh James H. Fillmore (1849-1936).

Himne “Sucikan Hatiku, O Tuhanku” pertama kali muncul dalam buku “Songs of Gratitude” yang diterbitkan pada tahun 1877. Sejak itulah lagu ini menjadi dikenal dan dimasukkan ke dalam banyak buku lagu Kristen. Himne ini merupakan doa meminta kemurnian/kesucian hati. Hal ini sangat penting karena Tuhan Yesus mengajarkan bahwa berbahagialah orang yang suci/murni hatinya karena mereka akan melihat Allah (Matius 5:8). Dalam bait pertama, himne ini menyatakan apa artinya hati yang dimurnikan yaitu menyerahkan hidup seutuhnya dipimpin hanya oleh Tuhan Allah sejati. Orang yang murni hatinya berarti rela tunduk kepada kehendak Allah dan kebenaran-Nya. Orang yang murni hatinya berarti yang kerinduannya adalah mencari Kerajaan Allah dan kebenarannya (Matius 6:33). Alkitab adalah pedoman hidupnya yang menerangi setiap langkah hidupnya (Mazmur 119:105).

Pada bait kedua, orang yang murni hatinya terus rela dan terbuka akan pimpinan dan kehendak Tuhan di sepanjang hidupnya. Ia mau sejalan dengan kehendak Tuhan. Tunduk dan menjadi pelaku kehendak Tuhan penting sebagaimana dinyatakan dalam Matius 7:21, “Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku di Sorga.”

Pada bait ketiga, himne ini menyingkapkan suatu harapan pasti bagi orang yang murni hatinya yaitu bertatap muka dengan wajah Allah. Inilah menjadi harapan bagi setiap orang percaya kepada Kristus bahwa suatu kali kita akan berjumpa muka dengan muka dengan Kristus (1 Yoh. 3:1-3). Namun kita sadar bahwa kemurnian hati hanya dapat dikerjakan oleh Allah saja. Hanya Dia yang dapat memurnikan kita dan memampukan kita menjauhi dosa-dosa kita (Mazmur 19:13-14). Mari kita mempunyai kerinduan agar Tuhan memurnikan/menyucikan hati kita.
 
 

Kamis, 06 Februari 2020

Dahaga Jiwa


Yohanes 4:3-30

Kisah perjumpaan Tuhan Yesus dengan perempuan Samaria merupakan kisah yang sangat dikenal. Karena kisah ini mempunyai keunikan dalam konteks zamannya. Keunikan ini bahkan dapat terus menjadi peringatan dan pelajaran bagi kita secara khusus umat Tuhan di sepanjang sejarah. Perjumpaan Tuhan Yesus dengan perempuan Samaria meruntuhkan rintangan/tembok pemisah diantara keduanya.

Pertama, Rintangan Ras. Samaria merupakan Ibu Kota dari Kerajaan Utara (10 Suku) yang pecahan Israel sesudah pemerintahan Salomo. Abad ke-8 SM (700 SM) mereka dijajah oleh Asyur (Hari ini Irak dan Iran) dan mengalami pembuangan. Selama masa inilah terjadi percampuran (kawin campur) dengan bangsa lain, tidak lagi Israel murni. Salah satu tokoh terkenal yaitu Ester yang menjadi Ratu Persia. Bdk. 2 Raja. 17:21-24. Tidak heran Samaria selalu dipandang rendah oleh Israel karena dipandang sebagai ras yang gagal menjaga kemurniannya.

Kedua, Rintangan Agama. Samaria menganut kepercayaan campuran (sinkretisme). Hal ini sebagai dampak dari perpecahan yang terjadi sesudah pemerintahan Salomo. Yerobeam yang memimpin Kerajaan Utara membawa 10 suku menyembah dewa-dewa lain. Oleh karena itu mereka percaya Allah (Israel) dan sekaligus percaya dewa-dewa dari Babilonia dan Asyur (2 Raja 17:21-41). Dalam kepercayaannya terhadap Allah (Israel), mereka tidak percaya sama persis dengan Kerajaan Selatan. Samaria hanya menerima Taurat Musa sebagai kitab mereka. Mereka membangun kuil penyembahan (ibadah) di Gunung Gerizim (bdk. Ulangan 11:29, 27:12; Yos. 8:33). Orang Yahudi memandang Orang Samaria sebagai penganut ajaran sesat yang telah menyelewengkan ajaran Musa (dalam hal teologi dan ibadah). Rabbi Eliezer: “He that eats the bread of the Samaritans is like the one who eats the flesh of swine ”.

Ketiga, Rintangan Gender (Jenis Kelamin). Para Rabi Yahudi tidak menerima perempuan sebagai murid. Perempuan juga tidak diperbolehkan menjadi saksi di pengadilan karena perempuan dipandang irasional dan tidak dapat dipercaya (untrustworthy). Ada yang menyatakan doa Orang Farisi demikian: “Aku bersyukur aku bukan orang yunani, melainkan orang Yahudi. Aku bersyukur aku bukan budak melainkan orang merdeka; bukan perempuan melainkan laki-laki.”

Keempat, Rintangan Dosa. Dosa perempuan Samaria ini dikenal sebagai seorang perempuan berdosa. Komunitasnya tahu bahwa perempuan ini merupakan perempuan berdosa. Ia pun menyadari hal ini. Ia menikah 5 kali dan ia sedang tinggal bersama dengan seorang laki-laki di luar pernikahan. Dalam kasus perceraian baik dalam pandangan Yahudi dan Samaria, laki-laki lebih diuntungkan. Perempuan selalu dipandang lebih bersalah daripada laki-laki jika ada perceraian. Perempuan yang sudah menikah 5 kali berarti ia sudah bercerai berkali-kali dan orang-orang berpandangan hal ini disebabkan bahwa perempuan tersebut adalah perempuan berdosa (Matius 19:3). Karena dosa ini maka perempuan ini dipandang secara sosial begitu sangat rendah (real sinner). Perempuan Samaria ini tidak diterima oleh orang Yahudi juga orang Samaria, bangsanya sendiri. Karena itulah ia mengambil air dalam waktu yang berbeda dengan waktu orang lain pada umumnya yaitu pagi (cool morning) atau sore (evening). Biasanya waktu mengambil air menjadi waktu interaksi sosial namun perempuan Samaria ini tidak melakukannya karena ia sadar bahwa ia berdosa.

Tuhan Yesus meruntuhkan segala rintangan di atas dengan suatu permohonan yang seolah biasa namun menggugah masuk ke dalam hati perempuan Samaria: Berilah aku minum (Yohanes 4:7). Tuhan Yesus adalah Allah yang Maha Tahu. Namun Ia tidak berusaha mempermalukan perempuan itu. Ia mengarahkan pembicaraan ke hal paling esensial seolah mengatakan: “Hai perempuan, Aku tahu jiwamu haus.” Ia membuka interaksi dengan hikmat dan kasih. Ia tidak menunjukkan DiriNya yang lebih tinggi daripada perempuan itu. Melainkan datang dengan menyatakan kerapuhan dan kehausannya. Sebagai Yahudi, pantang menerima pertolongan dari orang Samaria. Sebagai pribadi kepercayaan berbeda antara Yahudi dan Samaria, pantang menerima minuman yang dipandang unclean karena dari orang kafir. Sebagai laki-laki pada umumnya gengsi menunjukkan kelemahannya. Sebagai pribadi suci, "terlalu hina" menerima pemberian dari orang berdosa. Tapi Kristus meruntuhkan semua dengan menjadi vulnerable. Ia datang dengan inkarnasi, jalan mengosongkan diri.

Mengapa Tuhan Yesus melakukan hal ini?
Ia melihat kehausan sejati (dahaga jiwa) perempuan Samaria ini. Sebagian kita tidak mampu mengenali kehausan jiwa kita yang sebenarnya. Bahkan sekalipun kita menyadari dahaga jiwa kita, kita berusaha menyangkalnya. Kita menyangkalnya dengan jalan mencari hal-hal lain menggantikan Allah untuk memuaskan kehausan jiwa kita: materi, relasi (perempuan samaria dengan banyak laki-laki), budaya, bahkan agama. Namun kehausan itu tidak akan terpuaskan. Beberapa aktor/aktris bunuh diri menuliskan: diri yang lelah, kosong, hampa, dan lainnya. Contoh: Boris Becker, Sophia Loren, David Foster Wallace, dll. Karena dahaga jiwa hanya dapat dipuaskan oleh Tuhan Yesus Kristus. Blaise Pascal mengatakan: “There is a God-shaped vacuum in the heart of each man which cannot be satisfied by any created thing but only by God the Creator, made know through Jesus Christ.”

Manusia berdosa adalah manusia yang dahaga (kehausan dan kelaparan rohani). Bahkan beberapa filsuf "nonkristen" tidak menyangkali hal ini. Derrida menyatakan bahwa manusia itu selalu terarah pada The Impossible. Lacan menyatakan manusia itu selalu menunjuk pada Discourse of The Other. Manusia selalu kurang (lacking), lapar dan haus. Perempuan Samaria ini menemukan air hidup karena Yesus Kristus berkata “Aku haus”. Karena Yesus Anak Allah mengambil rupa seorang hamba, mengosongkan diri-Nya, turun ke dunia, bisa lelah dan haus. Kemungkinan jiwa kita dipuaskan dimulai dari inkarnasi Kristus (“The Possibility of satisfaction of our souls begins with Christ’s incarnation.”). Adakah kita mengalami dahaga jiwa? Bagaimanakah kita memuaskannya? Tidak ada jalan lain selain di dalam Tuhan Yesus Kristus yang dengan rela mengosongkan diri (inkarnasi) mengalami segala kesusahan, penderitaan, bahkan kematian di kayu salib dan kemudian bangkit supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya memperoleh hidup yang berkelimpahan di dalam Dia.