Minggu, 31 Mei 2020

Allah Tritunggal dalam Lukisan Andrei Rublev



Andrei Rublev adalah seorang biarawan Ortodoks Rusia dalam Abad Pertengahan. Banyak perdebatan tentang lukisan ini mulai dari historisitas, hermeneutis, sampai teologis. Yang menarik dalam lukisan ini adalah bagaimana Rublev dari sudut pandang manusiawi yang terbatas berusaha menggambarkan salah satu kebenaran misterius iman kristen: doktrin Allah Tritunggal (Satu Allah, Tiga Pribadi). “Tiga Sosok” mempunyai wajah yang tampak serupa tanpa meniadakan keunikan masing-masing. “Tiga Sosok” itu tidaklah statis melainkan dinamis dalam relasi intra-trinitarian. Bagian meja yang kosong dapat ditafsir sebagai ruang penerimaan bagi setiap orang yang diberi anugerah untuk berbagian dalam persekutuan bersama “Sang Tiga Sosok Kudus” dalam keselamatan.

“Kasih karunia Tuhan Yesus Kristus, dan kasih Allah, dan persekutuan Roh Kudus menyertai kamu sekalian.” (2 Korintus 13:13)


Kamis, 28 Mei 2020

Bagaimana Iman Menjadi Besar?

Pada umumnya sebagai seorang Kristen, kita ingin mempunyai iman yang besar. Kita seringkali iri dengan orang-orang yang memiliki iman yang besar. Karena kita seringkali berpikir bahwa iman yang besar dapat menolong kita untuk menghadapi banyak hal dalam hidup ini. Semacam terdapat asumsi bahwa seorang yang mempunyai iman besar itu mampu menghadapi pergumulan yang begitu berat dalam hidupnya bahkan kematian pun tidak ditakutinya. Biasanya iman kita akan semakin besar ketika doa kita dijawab. Misalnya ketika kita sakit lalu kita berdoa kepada Tuhan dan Tuhan menyembuhkan kita. Atau orang lain sakit, lalu kita mendoakan kemudian orang itu sembuh. Kita semakin percaya diri dan keraguan semakin pudar sehingga iman semakin besar. Namun dalam narasi alkitab, hal ini sangat jarang terjadi. Iman seseorang menjadi besar justru melalui jalan sebaliknya. Salah satu peristiwa yang mengajarkan hal ini yaitu narasi tentang perempuan siro-fenisia (Kanaan) yang memohon belas kasihan dari Kristus dalam Markus 7:24-30 dan Matius 15:21-28.

Suatu kali Tuhan Yesus dan murid-murid pergi ke daerah Tirus dan Sidon. Dalam catatan alkitab tidak disebutkan dengan sangat jelas mengapa mereka pergi ke daerah yang termasuk perbatasan Israel. Kemungkinan karena mereka ingin ke daerah Yunani dan mampir di Samaria (Yohanes 4). Dalam hal ini, saya percaya perjalanan yang ditempuh oleh Tuhan Yesus pasti mempunyai maksud tertentu yaitu membesarkan iman perempuan Siro Fenisia. Ini pula yang dapat menjadi pelajaran bagi murid-murid-Nya di sepanjang sejarah.

Perempuan ini tidak disebutkan namanya namun jelas bukan orang Israel. Perempuan yang memiliki latar belakang agama dan budaya yunani. Injil Markus menyebutkan perempuan ini lahir di Siro Fenisia. Sedangkan Matius menyebut sebagai perempuan Kanaan. Injil Matius sengaja menyebutkan Kanaan sebagai sebutan umum untuk orang yang dipandang kafir tinggal di Israel namun dianggap sebagai musuh Israel. Dalam Perjanjian Lama, Tirus dan Sidon digambarkan sebagai bangsa yang memusuhi Tuhan Allah dan menolak kebenaran (Yer. 25:22-31; Yer. 47:4; Yoel 3:4; Zak. 9:1-4). Daerah ini berbahasa yunani sejak penguasaan Iskandar Agung (Makedonia) pada abad ke-4 SM. 

Adegan 1
Ketika Tuhan Yesus memasuki sebuah rumah di daerah Tirus (dan Sidon) namun kabar itu tidak dapat dirahasiakan sehingga banyak orang mengetahuinya. Salah satunya adalah perempuan Siro-Fenisia (Kanaan = bukan Israel) yang tidak disebutkan namanya namun cukup jelas identitasnya. Dalam Markus 7:25 terjemahan ESV dikatakan ia “segera” datang kepada Tuhan Yesus dan memohon: “Kasihanilah aku, ya Tuhan, Anak Daud” (Matius 15:22). Markus dan Matius menyatakan iman (kepada Tuhan Yesus Kristus) perempuan ini yang berlawanan dengan lack of faith dari banyak orang israel khususnya pemimpin agama. Tidak ada keraguan, ia segera datang dan mengakui Kristus sebagai Mesias (Anak Daud). Melalui credo ini, kita dapat menyimpulkan bahwa ia mempunyai pengetahuan tentang pengharapan mesianik dari Israel, janji Allah atas Sang Pembebas dan Sang Raja yang dari keturunan Daud. Kemungkinan besar selama ini ia pernah masuk ke dalam sinagoge dan mengikuti pengajaran Yahudi salah satunya tentang pengharapan mesianik. 

Tetapi, Tuhan Yesus diam dan tak menjawab (Matius 15:23). Hal ini bukan berarti Ia tidak peduli melainkan berarti mendengarkan. Ketika kita berdoa sepertinya Allah diam. Ketika orang percaya mengalami banyak pergumulan dan bahkan penganiayaan, pembalikan keadaan tidak terjadi. Lalu kita segera menyimpulkan ini bukanlah Tuhan yang kita percaya. Ia diam dan tidak menolong umat-Nya. Tetapi narasi alkitab justru menyatakan “diam” adalah langkah awal Tuhan membesarkan iman umat-Nya. Mengapa? Dalam diam, Ia mendengarkan jeritan dan pergumulan hati yang terdalam. To Listen is To Know.

Adegan 2
Alkitab melanjutkan narasinya dengan awalan “tetapi” suatu negasi dari sebelumnya. Bukannya menyerah, perempuan ini justru berteriak-teriak (Matius 15:23). Hal ini membuktikan Tuhan Yesus yang “diam” tidak menyurutkan semangat perempuan ini. Ingat Amsal 18:14 mengatakan: “Orang yang bersemangat dapat menanggung penderitaannya, tetapi siapa akan memulihkan semangat yang patah?” Terhadap hal ini, narasi alkitab kembali dilanjutkan dengan kata “tetapi”. Hal ini berarti tanggapan Tuhan Yesus “berlawanan” dari dugaan perempuan dan bahkan kita sekalian. Tuhan Yesus menyatakan bahwa Ia diutus hanya kepada domba-domba hilang dari Israel. Hal ini sama seperti Tuhan menjawab: “Saya banyak urusan, banyak orang yang perlu saya perhatikan bahkan lebih penting dari kamu.” Tuhan Yesus justru menyatakan tentang “keterbatasan misi-Nya” (Matius 15:24-25). Respon ini seolah discouraging reply. Dalam tahap kedua ini, seringkali kita patah semangat karena jawaban Tuhan yang “mengecewakan.” Namun, inilah kunci rahasia mengikut Tuhan. Jawaban Tuhan yang “tak terduga dan nampak mengecewakan” merupakan batu loncatan kepada iman yang lebih besar lagi. Buktinya? Hal ini dapat dilihat dari respon perempuan yang bahkan menyembah Tuhan. 

Adegan 3
Perempuan itu menyembah dan berkata: “Tuhan, tolonglah aku.” Namun Tuhan Yesus menjawab dengan mengutip peribahasa Yahudi: “Tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing” (Matius 15:26-27). Ini merupakan jawaban ironis di mana makna literal berbeda atau berlawanan dengan makna sejatinya. Tuhan Yesus tidak dengan jelas menyatakan siapa anak dan siapa anjing. Namun perempuan ini meresponi dengan menempatkan diri seperti “anjing” yang memang tidak layak menerima roti sehingga hanya remah-remahnya saja. Jawaban ironis merupakan tantangan yang memang bertujuan memunculkan iman perempuan ini. Dalam alkitab seringkali Tuhan memberikan tantangan untuk membesarkan iman umat-Nya misalnya Maz. 10:1, Yer. 12:5 (bdk. Amsal 17:3; Maz. 66:10).

Tuhan Yesus “menguji” sehingga kemurnian iman perempuan ini semakin memancar lewat ketekunannya. Iman yang sejati bukan iman tanpa ujian. Iman yang sejati justru semakin murni dan semakin besar di dalam ujian. Bagaimana Tuhan Yesus membesarkan iman umat-Nya seringkali dengan prinsip serupa: diam (untuk mendengar), jawaban “mengecewakan”, dan bahkan ironis. Iman sejati justru akan meresponi dengan gigih datang dan bahkan menyembah Tuhan. Iman sejati bukan berawal dari kelayakan diri melainkan dari kesadaran ketidaklayakan diri akan anugerah. 

Senin, 18 Mei 2020

Identitas dan Otoritas


“Bukan aku yang melakukannya,” ia berkata dan melanjutkan, “Ada harimau di dalam tubuhku.” - Margio dalam Lelaki Harimau (2004)

Lelaki Harimau ditulis oleh Eka Kurniawan. Ia adalah salah satu sastrawan kontemporer indonesia. Beberapa karyanya: Cantik itu Luka (2002), Lelaki Harimau (2004), Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (2014), O (2016). Beberapa tahun lalu saya membaca Lelaki Harimua. Suatu karya sastra yang menarik dengan ragam polemik kompleksitas manusia dan sesamanya dalam konteks Indonesia pasca-kolonial. Lelaki Harimau seolah menyatakan identitas terikat dengan otoritas. 

Identitas Margio terikat dengan siapa yang berotoritas dalam hidupnya. Ia percaya adanya roh harimau putih jelmaan Prabu Siliwangi yang "diwariskan" kepadanya. Harimau itu menguasainya sehingga dapat membunuh seseorang secara brutal. Tentu hal ini dapat dilihat sebagai suatu afirmasi sekaligus alibi.

Dalam hal ini saya merenungkan bahwa identitas seorang kristen itu terikat dengan siapa yang berotoritas atas hidupnya. Alkitab mengatakan dalam Galatia 2:20, "Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku."

Siapakah atau apakah yang berotoritas atas hidup kita?