Epikuros (341-270 SM) adalah seorang filsuf Yunani yang ajarannya kemudian begitu berkembang dan berpengaruh pasca Aristoteles. Semboyannya: “hidup dalam kesembunyian.” Benar, dari sini pemikiran Epikuros terkesan privatistik (individualisme). Epikuros akan mengusahakan agar hidup jauh dari keramaian. Kenapa? Karena mengejar ataraxia dan apathia. Ataraxia yaitu kebebasan dari perasaan risau atau terkejut. Apathia (akar kata ‘apatis’) yaitu kebebasan dari rasa sakit dan penderitaan. Untuk mengejar hal tersebut mesti dengan phronesis (kebijaksanaan). Epikuros menyadari bahwa manusia memang sulit lepas dari rasa sakit dan penderitaan. Namun ia juga menyadari bahwa keinginan manusia adalah lepas dari rasa sakit dan penderitaan. Maka epikuros memberikan solusi untuk menjalani hidup dalam kesembunyian. Kalau kita tidak sakit dan menderita karena suatu bencana alam atau kecelakaan, maka kita mungkin sakit dan menderita karena orang lain, lingkungan sosial. Solusinya, menyendiri dan merenunglah agar mencapai ataraxia dan apathia.
Berbeda
dengan Epikuros, Stoa menekankan pada autarkia
yaitu kemandirian manusia dalam dirinya sendiri. Manusia yang autarkia ini
tentulah manusia yang juga mencapai ataraxia dan apathia yang dimengerti
sebagai suatu sikap mental yang kuat yang sudah bertekad untuk menyatu dengan
hukum alam, jadi tidak mengizinkan diri digoyangkan oleh hal-hal yang bersifat
sementara. Yang ditekankan adalah sikap/mental internal (ketenangan hati) yang tidak terpengaruh yang eksternal. Maka, Stoa
“tidak terlalu” kuatir dengan yang eksternal entah itu bencana alam, kecelakaan
atau pun kehidupan sosial. Cara hidup yang tidak sama sekali privatistik atau
pun individualisme.
Dari
dua pemikiran tersebut, jelas bahwa yang mampu berdampak dan berpengaruh dalam
kehidupan sosial adalah jalan pemikiran stoa. Namun, di sisi lain, solusi yang
diberikan epikuros agar manusia mencapai hidup yang tanpa sakit dan
penderitaan, merupakan solusi yang akan secara umum juga bisa diterima orang.
Keduanya mengharapkan kehidupan yang damai, tanpa sakit dan penderitaan dengan
jalannya masing-masing. Ada yang memutuskan hidup dalam kesembunyian, ada yang
memutuskan untuk memiliki ketenangan hati. Apa mungkin manusia lepas dari sakit
dan penderitaan? Mungkin, tapi bukan di dunia ini. Dan itu pun kalau kehidupan
mendatang sungguh-sungguh memperoleh hidup kekal di dalam Kristus. Maka keinginan
hidup yang lepas dari sakit dan penderitaan merupakan hal yang tidak realistis,
utopis. Agustinus mengatakan: “Ada satu pribadi (God-Man Jesus) yang tidak berdosa namun bukan tanpa penderitaan.”
Maka yang mestinya kita renungkan adalah di tengah-tengah penderitaan, what should I do? How should then we live?
Sumber Bacaan: Magnis-Suseno,
1997, 47-63