Kamis, 31 Desember 2015

Merenungkan Tentang Natal

“Then do not abuse his mercy, but let your time be spent in thinking and talking of the love of Jesus, who was incarnate for us, who was born of a woman, and made under the law, to redeem us from the wrath to come.” - George Whitefield

Natal merupakan peringatan penting agama Kristen. Suatu perayaan rutin yang menjadi ritual tahunan agama Kristen. Dari tahun ke tahun, kita mulai kehilangan dan meremehkan makna natal. Natal digantikan dengan pesta, diskon, santa Klaus, liburan panjang bahkan relasi antar dua manusia. Mari kita merenungkan sejenak tentang natal. Apa itu natal? Dan bagaimana kita seharusnya menjalani natal?

Remembering. Natal yang kita peringati dari tahun ke tahun merupakan moment kita mengenang kembali apa yang terjadi ribuan tahun yang lalu dimana Kristus berinkarnasi menjadi manusia. Apa makna inkarnasi secara personal bagi setiap kita? Wujud puncak kasih Allah. Yoh. 3:16 menyampaikan semua ini. Kasih agung Sang Pencipta atas ciptaan yang sudah berdosa dan harusnya menerima murkaNya. Saat natal-lah, saat yang mengkondisikan kita untuk mau tidak mau mengenang kasih agung Allah itu. Ia yang tak terbatas, mengosongkan diriNya, mengambil rupa seorang hamba yang terbatas (Filipi 2:7).

Celebrating. Natal merupakan moment dimana kita merayakan apa yang sudah Tuhan kerjakan dalam hidup ini. KaryaNya yang begitu besar yaitu inkarnasi Kristus melalui perawan Maria. Seperti yang dikatakan malaikat, Jangan takut, sebab sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa: Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud” (Lukas 2:10-11). Suatu beritu sukacita yang mengalahkan segala ketakutan. Sukacita sejati sorgawi dinikmati oleh manusia duniawi. Sukacita karena Kristus datang membawa harapan bagi manusia berdosa.

Proclaiming. Natal inilah moment yang tepat bagi kita untuk memberitahukan kepada orang lain mengenai Kristus. Berita natal bukan untuk kelompok Kristen saja. Berita natal adalah berita seluruh suku bangsa dan bahasa. Sebagaimana para gembala yang setelah mendengar berita dari malaikat kemudian menyampaikan berita itu kepada Yusuf dan Maria (Lukas 2:17). Natal bukan untuk disembunyikan tapi untuk diberitakan. Natal merupakan pintu yang terbuka untuk kita memberitakan tentang Kristus Sang Juruselamat Dunia bahwa Ia datang untuk menyelamat manusia berdosa. Natal adalah berita untuk semua orang. Yang pertama kali diberikan oleh para gembala sebagai kelompok manusia pertama sesudah malaikat. Mari kita beritakan natal, kepada siapa saja tentang Kristus Sang Juruselamat saya, kamu dan dunia yang berdosa.

Fellowship. Dalam dosa, relasi manusia rusak baik kepada Allah, sesama dan alam. Bahkan yang menyedihkan, relasi interpersonal pun menjadi rusak. Kita tidak lagi mengenali siapa Allah, diri, sesama dan alam. Kita cenderung mengobjektifikasikan yang di luar diri kita. Dan terhadap diri, kita sering menipu diri kita sendiri atau pun merasionalisasikan apa yang kita lakukan. Kristus datang menjadi pengantara yang mendamaikan kita dengan Allah kemudian diri kita, sesama dan alam. Malaikat dengan seruan yang begitu agung: "Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya" (Lukas 2:14). “Damai sejahtera di bumi” suatu janji dan harapan yang begitu indah. Setelah sekian lama terjadi permusuhan, kecurigaan dan kekecewaan relasional, inkarnasi Kristus mendamaikannya.

Telling the story. Ini mungkin serupa dengan “proclamation” tapi tak sama. “Telling the story” suatu komunikasi dalam aksi. Tidak salah saat natal kita memberikan perhatian lebih kepada orang-orang yang sebelumnya tidak terlalu diperhatikan dalam kehidupan sosial kita. Melalui setiap aksi kita entah itu ibadah, aksi sosial ataupun tindakan keseharian kita menyampaikan akan berita natal bahwa Kristus yang berinkarnasi itu sudah merubah kita menjadi manusia baru. Manusia baru yang menjalani suatu ritual yang berbeda dari sebelumnya. Manusia baru yang hidup dalam gaya hidup diperbaharui didalam Kristus. Manusia baru yang merupakan komunitas percaya yang membawa berita mengenai Kristus dalam setiap ritus-nya.


Maranatha (the coming of the Lord). Natal juga merupakan suatu moment kita mengingat kembali akan janji Tuhan: “Aku datang segera” (Wahyu 22:20). Ia akan datang kembali menyatakan pembaharuan yang total atas ciptaan. Janji yang pasti dan pengharapan yang indah bagi kita umatNya. Umat Tuhan sebagai musafir di dunia menuju Sion, Kota Allah. Suatu langit dan bumi yang baru, Yerusalem yang baru. Banyak pergumulan kita hadapi sebagai orang percaya dalam dunia berdosa. Namun janji yang pasti bahwa Ia akan datang kembali untuk memperbaharui, menjadikan segala sesuatu indah pada waktunya. Dan yang paling penting saat itulah kita akan bertemu muka dengan muka dengan Pencipta dan Penebus kita. Persekutuan yang indah dengan Kristus yang telah berinkarnasi dan mengosongkan diriNya serta bangkit. Suatu moment iman kita direalisasikan dalam suatu kepastian yang tak terbantahkan. Mungkin bukan sekarang, atau besok, tapi segera.

Sabtu, 24 Oktober 2015

Epikuros dan Stoa


Epikuros (341-270 SM) adalah seorang filsuf Yunani yang ajarannya kemudian begitu berkembang dan berpengaruh pasca Aristoteles. Semboyannya: “hidup dalam kesembunyian.” Benar, dari sini pemikiran Epikuros terkesan privatistik (individualisme). Epikuros akan mengusahakan agar hidup jauh dari keramaian. Kenapa? Karena mengejar ataraxia dan apathia. Ataraxia yaitu kebebasan dari perasaan risau atau terkejut. Apathia (akar kata ‘apatis’) yaitu kebebasan dari rasa sakit dan penderitaan. Untuk mengejar hal tersebut mesti dengan phronesis (kebijaksanaan). Epikuros menyadari bahwa manusia memang sulit lepas dari rasa sakit dan penderitaan. Namun ia juga menyadari bahwa keinginan manusia adalah lepas dari rasa sakit dan penderitaan. Maka epikuros memberikan solusi untuk menjalani hidup dalam kesembunyian. Kalau kita tidak sakit dan menderita karena suatu bencana alam atau kecelakaan, maka kita mungkin sakit dan menderita karena orang lain, lingkungan sosial. Solusinya, menyendiri dan merenunglah agar mencapai ataraxia dan apathia.

Berbeda dengan Epikuros, Stoa menekankan pada autarkia yaitu kemandirian manusia dalam dirinya sendiri. Manusia yang autarkia ini tentulah manusia yang juga mencapai ataraxia dan apathia yang dimengerti sebagai suatu sikap mental yang kuat yang sudah bertekad untuk menyatu dengan hukum alam, jadi tidak mengizinkan diri digoyangkan oleh hal-hal yang bersifat sementara. Yang ditekankan adalah sikap/mental internal (ketenangan hati) yang tidak terpengaruh yang eksternal. Maka, Stoa “tidak terlalu” kuatir dengan yang eksternal entah itu bencana alam, kecelakaan atau pun kehidupan sosial. Cara hidup yang tidak sama sekali privatistik atau pun individualisme.

Dari dua pemikiran tersebut, jelas bahwa yang mampu berdampak dan berpengaruh dalam kehidupan sosial adalah jalan pemikiran stoa. Namun, di sisi lain, solusi yang diberikan epikuros agar manusia mencapai hidup yang tanpa sakit dan penderitaan, merupakan solusi yang akan secara umum juga bisa diterima orang. Keduanya mengharapkan kehidupan yang damai, tanpa sakit dan penderitaan dengan jalannya masing-masing. Ada yang memutuskan hidup dalam kesembunyian, ada yang memutuskan untuk memiliki ketenangan hati. Apa mungkin manusia lepas dari sakit dan penderitaan? Mungkin, tapi bukan di dunia ini. Dan itu pun kalau kehidupan mendatang sungguh-sungguh memperoleh hidup kekal di dalam Kristus. Maka keinginan hidup yang lepas dari sakit dan penderitaan merupakan hal yang tidak realistis, utopis. Agustinus mengatakan: “Ada satu pribadi (God-Man Jesus) yang tidak berdosa namun bukan tanpa penderitaan.” Maka yang mestinya kita renungkan adalah di tengah-tengah penderitaan, what should I do? How should then we live?  


Sumber Bacaan: Magnis-Suseno, 1997, 47-63

Rabu, 09 September 2015

Dia Sanggup Menjaga UmatNya

Yudas 1:24-25  
Bagi Dia, yang berkuasa menjaga supaya jangan kamu tersandung dan yang membawa kamu dengan tak bernoda dan penuh kegembiraan di hadapan kemuliaan-Nya, Allah yang esa, Juruselamat kita oleh Yesus Kristus, Tuhan kita, bagi Dia adalah kemuliaan, kebesaran, kekuatan dan kuasa sebelum segala abad dan sekarang dan sampai selama-lamanya. Amin.

Surat Yudas merupakan surat yang cukup unik dalam Perjanjian Baru. Surat ini begitu tipis dengan isi ajaran begitu praktis, jelas dan padat. Kita bisa menyelesaikan surat Yudas dalam waktu kira-kira 5-10 menit. Bayangkan bagaimana surat yang oleh Guthrie ditulis antara tahun 65 dan 80 ini dibacakan kepada jemaat mula-mula dalam 5-10 menit, kemudian dijelaskan. Kotbahnya begitu singkat. Namun yang singkat tersebut begitu praktis, jelas dan padat. Sehingga dalam surat yang pendek kita dijelaskan dengan gamblang bagaimana seharusnya menjadi seorang Kristen itu.

Dalam peng-kanonisasi-an alkitab paling tidak ada 3 hal yang diperhatikan: (1) kitab atau surat tersebut diterima gereja mula-mula, (2) kitab atau surat tersebut memiliki otoritas dari nabi atau rasul (termasuk orang dekat dengan rasul), (3) kitab atau surat tersebut memiliki ajaran yang sejalan dengan kitab atau surat lainnya misalnya mengenai Allah, Kristus dan lain-lain. So, who is Jude? Penulis memperkenalkan dirinya sebagai Yudas, hamba Yesus Kristus dan saudara Yakobus (Yudas 1:1). Pada umumnya dimengerti bahwa Yakobus yang dimaksudkan yaitu saudara dari Tuhan Yesus. Mereka menggunakan istilah yang sama “hamba Yesus Kristus” (Yakobus 1:1) menjadi identifikasi bahwa mereka mempunyai flesh-relationship dengan Tuhan Yesus (bdk. 1 Kor. 9:5). Kelihatannya memang tidak ada kemungkinan lain selain bahwa Yudas merupakan saudara dari Tuhan Yesus. Pastilah, kekristenan mula-mula menghormati saudara Tuhan Yesus Kristus sehingga mereka memandang Yudas memiliki otoritas menuliskan surat kepada mereka. Selain itu, pelayanan yang dilakukannya dalam kekristenan mula-mula. Di atas semua itu, otoritas tertinggi yaitu dari Tuhan sendiri yang berfirman melalui Yudas sehingga ajaranNya sangat dapat membangun dan menguatkan iman umatNya.

Awalnya Yudas menuliskan surat ini untuk memperjelas lagi mengenai “doktrin keselamatan”. Namun ternyata Tuhan menggerakkannya untuk menuliskan perihal kesesatan yang menyusup dalam gereja. Maka melalui surat ini, Tuhan memperingatkan umatNya agar waspada terhadap pengajar sesat/palsu. Mereka dibandingkan dengan umat Israel yang dihukum Tuhan karena dosa sesudah keluar dari Mesir, Bileam, Kain, Korah, malaikat jatuh dan penduduk Sodom dan Gomora. Mereka ini mengerti anugerah secara salah (ayat 4), mengutamakan mimpi-mimpi daripada wahyu Allah (ayat 8) atau mungkin menganggap bahwa mimpi itu adalah wahyu Tuhan, kesalahan dalam doktrin Roh Kudus (ayat 19), salah dalam Doktrin malaikat (ayat 8), yang mana menghasilkan sikap hidup yang salah dan berdosa (ayat 10). Dari semuanya itu yang paling puncaknya, mereka tidak mengenal Allah di dalam Tuhan Yesus Kristus (ayat 4).

Guru-guru palsu ini sudah masuk ke dalam gereja. Mereka mempengaruhi dari dalam umat Tuhan untuk melawan ajaran firman Tuhan sejati. Gereja bisa rusak melalui hal-hal eksternal dan internal. Paling halus (subtle) rusaknya melalui hal-hal internal yang menyusup masuk ke dalam gereja. Sama juga dengan sakit, sakit di luar yang lukanya langsung kelihatan mudah dan cepat ditanggulangi. Tapi sakit di dalam yang luka tidak kelihatan itu sulit dan lama untuk diketahui. Ini merupakan seruan “siaga satu” untuk gereja menghadapi kesesaatan yang menyusup di dalam gereja. Tentu saat itu masih “embrio” dari kesesatan. Namun sudah menyatakan dasar-dasar penting yang diselewengkan oleh guru-guru sesat/palsu harus diperhatikan gereja di sepanjang zaman (sampai sekarang bahkan sampai ke depan).

Namun menarik, bagian doksologi:
Bagi Dia, yang berkuasa menjaga supaya jangan kamu tersandung dan yang membawa kamu dengan tak bernoda dan penuh kegembiraan di hadapan kemuliaan-Nya, Allah yang esa, Juruselamat kita oleh Yesus Kristus, Tuhan kita, bagi Dia adalah kemuliaan, kebesaran, kekuatan dan kuasa sebelum segala abad dan sekarang dan sampai selama-lamanya. Amin.” (Yudas 1:24-25)

Doksologi seperti ini hanya ada 2 dalam Perjanjian Baru. Selain di surat Yudas, ada di surat Roma:
Bagi Dia, yang berkuasa menguatkan kamu, menurut Injil yang kumasyhurkan dan pemberitaan tentang Yesus Kristus, sesuai dengan pernyataan rahasia, yang didiamkan berabad-abad lamanya, tetapi yang sekarang telah dinyatakan dan yang menurut perintah Allah yang abadi, telah diberitakan oleh kitab-kitab para nabi kepada segala bangsa untuk membimbing mereka kepada ketaatan iman bagi Dia, satu-satunya Allah yang penuh hikmat, oleh Yesus Kristus: segala kemuliaan sampai selama-lamanya! Amin.” (Roma 16:25-27)

Surat Roma ditujukan pada jemaat di Roma yang waktu itu mendapat penganiayaan begitu besar dari pemerintahan. Dengan doksologi seperti ini menjadi pesan bagi umat Tuhan agar tidak hidup dalam ketakutan dan kekuatiran. Demikian juga dalam surat Yudas. Ada banyak hal yang mengancam orang Kristen baik secara internal (bidat) maupun eksternal (penganiayaan). Kita harus berhati-hati dan berjaga-jaga namun tidak dalam ketakutan dan kekuatiran. Mungkin saat itu jemaat Tuhan jadi bertanya-tanya bagaimana kekristenan di depan. Di awal saja sudah banyak tantangan, padahal masih ada para rasul dengan ajaran yang murni. Keraguan, ketakutan dan kekuatiran akan kekristenan ke depannya pun mulai “menghantui”. Namun umat Tuhan kembali diingatkan bahwa Dia sanggup menjaga umatNya.

Demikian juga sampai saat ini, ada beberapa orang yang pernah cerita ke saya bahwa mereka takut membaca alkitab dengan mengandalkan pikiran mereka sendiri. Mereka takut akan memahami alkitab dengan salah sehingga menjadi sesat. Tapi seharusnya ini tidak menjadi alasan kita tidak membaca alkitab. Gereja dan lembaga-lembaga Kristen sudah menerbitkan tulisan-tulisan atau buku-buku pembimbing dalam memahami alkitab. Namun di atas itu semua kita mesti ingat bahwa Dia sanggup menjaga umatNya.

Ketika kita mulai merasa bahwa perintah-perintah Tuhan itu sulit atau betapa sulit hidup sebagai seorang Kristen seharusnya. Ketika kita terus saja (walaupun tidak sering) jatuh dalam dosa (yang sama atau pun yang berbeda). Ketika kelelahan kita menjadi seorang Kristen mulai menggerogoti kita. Dan kita mulai patah semangat menjaga kekudusan kita di hadapan Tuhan. Ingatlah bahwa Dia sanggup menjaga umatNya.


Bersandarlah padaNya, bukan pada kekuatan diri. Kita yang berdosa begitu lemah dan terbatas. Orang Kristen bukanlah orang yang tidak pernah jatuh dalam dosa, tapi orang yang ketika jatuh bisa bangkit lagi dan berpegang pada lenganNya. Pada akhir nanti, kita akan dengan penuh kegembiraan dan syukur di hadapanNya karena nyata bahwa Dia sanggup menjaga umatNya.

Rabu, 02 September 2015

Bagaimana Melayani Tuhan?

2 Samuel 6:1-23

Secara garis besar bagian ini merupakan peristiwa ketika Daud mau membawa tabut Allah  ke Yerusalem. Kenapa? Yerusalem akan dijadikan pusat pemerintahan maka kalau tabut Allah di sana menyatakan bahwa pemerintahan Israel adalah pemerintahan dari Allah. Ini merupakan hal yang positif sekali yang sebenarnya tidak terlalu diperhatikan oleh Saul. Melalui bagian ini, saya merenungkan bagaimana prinsip-prinsip dalam peristiwa ini menjadi prinsip-prinsip pelayanan dalam kehidupan Kristen. Bagaimana seharusnya orang percaya melayani? Apa artinya melayani Tuhan?

1.       Hati yang suci dengan cara yang tepat (ayat 1-10)
Jelas dari pembacaan alkitab bahwa motivasi Daud memindahkan merupakan suatu motivasi yang suci. Demikian juga motivasi Uza ketika mengulurkan tangannya kepada tabut Allah. Dalam pelayanan sangat penting memiliki motivasi yang murni. Dan kita harus melayani Tuhan dengan hati sungguh-sungguh untuk kemuliaan Tuhan. Ada pengkotbah yang berkotbah dengan baik dan doktrin yang alkitabiah namun hati dan motivasinya salah, maka itu bukan pelayanan yang sejati. Sama seperti ketika setan mengutip firman Tuhan namun dengan tujuan mencobai Tuhan Yesus di padang gurun setelah berpuasa 40 hari lamanya (Matius 4:1-11). Maka hati yang suci dan motivasi yang murni pastilah penting dalam melayani Tuhan.

Tapi bagian alkitab ini menyatakan bahwa hati yang suci diikuti dengan cara yang tepat. Ini sepertinya berbanding lurus. Orang yang sungguh memiliki hati mau melayani Tuhan pasti juga mengekspresikan dengan cara yang tepat. Kenapa ada orang yang memiliki hati yang suci namun cara salah? karena dosa, kita cenderung memikirkan cara-cara yang kita pikir itu benar. Salah satu pengertian dosa yaitu bertindak apa yang kita (manusia) tepat namun ternyata tidak tepat bagi Allah. Natur berdosa manusia membawa manusia lebih memikirkan apa yang terbaik dalam pandangan manusia. Coba saja kembali kita pikirkan tentang awal kejatuhan manusia dalam dosa. Iblis menggoda manusia untuk berpikir atau berasumsi sendiri sehingga tidak lagi memikirkan apa yang dipikirkan Allah atau sesuai dengan kehendak Allah (Kej. 3:1-5). Hal ini kembali juga menjadi kecaman keras Tuhan Yesus kepada Petrus: "Enyahlah Iblis. Engkau suatu batu sandungan bagi-Ku, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia" (Matius 16:23).

Demikian yang dilakukan oleh Daud dan orang-orang dalam bagian ini. Tabut Allah diangkat dengan kereta (ayat 3). Kereta ini merupakan teknologi manusia yang dibuat agar pekerjaan manusia lebih efektif. Sampai sekarang pun kita harus setuju bahwa teknologi membawa hidup efektif. Yang dimaksud efektif di sini yaitu mengerjakan sesuatu dengan hasil yang maksimal sesuai harapan dengan biaya, tenaga dan waktu yang seminimal mungkin. Sampai sekarang teknologi dikembangkan dengan salah satu tujuannya yaitu efektifitas. Namun akhirnya kita menjadi terjebak dengan hal ini. Kita terjebak dengan alat yang ktia ciptakan sendiri. Seolah menjadi gaya hidup satu-satunya. Kita jadi berpikir bahwa hidup itu harusnya dengan teknologi. Keterikatan kita dengan konsep efektifitas dan teknologi membuat kita melupakan prinsip firman Tuhan. Demikian yang terjadi dalam bagian ini. Apa prinsip ketika mengangkat tabut Allah? Ini dicatat dalam Bilangan 7:9, Tetapi kepada bani Kehat tidak diberikannya apa-apa, karena pekerjaan mereka ialah mengurus barang-barang kudus, yang harus diangkat di atas bahunya (bdk. Bilangan 3:29-31). Tuhan ingin tabut Allah dan segala barang-barang kudus diangkat di atas bahu. Pasti ini tidak lebih efektif jika dibandingkan dengan kereta, tapi cara ini yang Tuhan inginkan.

Apakah Tuhan tinggal diam Daud melakukan dengan cara yang salah? Tidak. Tuhan menegur dengan menjatuhkan tabut tersebut. Tapi ada yang salah mengerti hal ini yaitu Uza. Coba kita renungkan bisakah tabut Allah yang begitu Mulia dan Maha Kuasa jatuh karena batu kecil? Ada 2 kemungkinan: (1) Batu kecil ini lebih berkuasa daripada Tuhan Allah, (2) karena memang Tuhan Allah yang membuatnya jatuh. Kemungkinan (1) itu sangat tidak mungkin bahwa ciptaan menjatuhkan tahta Pencipta. Maka yang mungkin adalah kemungkinan (2) bahwa Allah memang membuatnya jatuh. Kenapa? Karena Tuhan Allah tidak berkenan. Dari sini kita belajar betapa hati yang suci harus diikuti cara yang tepat sesuai kehendak Tuhan dalam melayani Dia.

2.       Pentingnya penyertaan/kehadiran Tuhan (ayat 11-12)
Tabut Allah merupakan lambang atau simbol sakral akan kehadiran Tuhan. Kita harus mengerti 2 hal mengenai kehadiran Tuhan: (1) Kehadiran Tuhan dimana Ia berkenan hadir menjadi berkat bagi sekitarnya, (2) Kehadiran Tuhan dimana ia tidak berkenan akan mendatangkan kutuk bagi sekitarnya. Kita salah kalau berpikir bahwa kehadiran Tuhan itu selalu diidentikan dengan berkat. Kita bisa lihat contoh yang nyata dari 1 Samuel 5:1-12. Saat itu tabut Allah direbut oleh bangsa Filistin. Apa yang terjadi? Patung dewa dagon hancur dan wabah penyakit mereka alami. Termasuk juga di tempat terakhir yaitu Gat (Ekron). Dari sini kita ketahui bahwa waktu alkitab menyebutkan “Obed-edom, orang Gat” bukan asal sebut. Bisa dikatakan bahwa “Gat” ini bukan bagian dari umat Tuhan. Mari kita telusuri di alkitab, siapa saja yang termasuk orang Gat?

Yosua 11:22  Tidak ada lagi orang Enak ditinggalkan hidup di negeri orang Israel; hanya di Gaza, di Gat dan di Asdod masih ada yang tertinggal.
Yosua 13:3  … ada lima raja kota orang Filistin, yakni di Gaza, di Asdod, di Askelon, di Gat dan di Ekron
1 Samuel 17:23  Namanya Goliat, orang Filistin dari Gat, dari barisan orang Filistin.
2 Samuel 15:19   Lalu bertanyalah raja (Daud) kepada Itai, orang Gat itu: "Mengapa pula engkau berjalan beserta kami? Pulanglah dan tinggallah bersama-sama raja, sebab engkau orang asing, lagipula engkau orang buangan dari tempat asalmu.

Gat = orang asing = buangan = bukan bagian umat Tuhan. Tapi yang menarik ternyata Obed-edom, orang Gat itu mendapat berkat dari kehadiran tabut Allah. Allah lebih berkenan untuk diletak di rumah Obed-edom (1 Tawarikh 13:13-14) daripada dipindahkan dengan cara yang tidak sesuai dengan kehendakNya.

Yang ditekankan di sini yaitu perkenanan dan kehadiran Tuhan yang harusnya nyata dalam setiap pelayanan yang dipercayakan Tuhan kepada kita. Ingat bahwa (1) Kehadiran Tuhan dimana Ia berkenan hadir menjadi berkat bagi sekitarnya, (2) Kehadiran Tuhan dimana ia tidak berkenan akan mendatangkan kutuk bagi sekitarnya.

3.       Melayani di hadapan Tuhan (13-22)
Bagian ini sering dipakai menjadi ayat andalan tentang tarian dalam ibadah. Tapi kalau kita telusuri lagi, pesan utama bukan tentang tariannya tapi tentang sikap hati di hadapan Tuhan. Yang dikenal dengan istilah coram Deo. Ini merupakan sikap hati yang harus bagi kita yang melayani Tuhan. Kita melayani Tuhan bukan untuk popularitas kita. Kita melayani Tuhan untuk untuk perkenanan manusia. Kita melayani Tuhan bukan di hadapan manusia. Kita melayani Tuhan di hadapan Tuhan.

Menarik dalam cerita ini seolah apa yang dilakukan Daud itu catat dalam 2 sudut pandang dari luar Daud yaitu hadapan Tuhan dan Mikhal. Daud melakukan dengan sikap hati di hadapan Tuhan sehingga ia tidak lagi memandang manusia. Hal ini jelas dicatat berkali-kali ayat 14, 16, 17 dan 21. Hal paling sederhana menangkap fokus pesan suatu tulisan yaitu pengulangan. Kata atau frase atau kalimat yang sering diulang dalam suatu bagian yang sama menandakan bahwa hal tersebut penting untuk diperhatikan pembaca tulisan. Demikian juga di sini “di hadapan Tuhan” diulang berkali-kali. Jadi fokusnya bukan tarian tapi sikap hati. Dan ini juga dilakukan dengan sadar seperti diungkapkan Daud dalam ayat 21, "Di hadapan TUHAN, yang telah memilih aku dengan menyisihkan ayahmu dan segenap keluarganya untuk menunjuk aku menjadi raja atas umat TUHAN, yakni atas Israel, di hadapan TUHAN aku menari-nari, …” Ini penting bahwa Daud melakukannya dengan kesadaran penuh. Jadi jangan samakan ini seperti “transcend” atau “self-deception”. Banyak peristiwa-peristiwa dalam ibadah yang mengidentikan “transcend” atau “self-deception” merupakan sikap ibadah yang tepat.

Berapa banyak kita menyaksikan ibadah dimana para jemaatnya “tidak terkendali”, tanpa kesadaran penuh. Dan sering diidentikan itulah artinya kepenuhan roh kudus, kehilangan kesadaran diri. Ketika ibadah selesai, mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan. Ini salah dan tidak alkitabiah. Ini lebih pada pengertian “transcend” mistis. Alkitab jelas menyatakan bahwa Daud dengan kesadaran penuh di hadapan Tuhan.

Ada seorang pemuda cerita bahwa dalam suatu ibadah semua temannya menangis histeris tapi dia sendiri tidak. Sang pengkotbah mengetahui hal tersebut sehingga ia mengatakan “jangan keraskan hati, ingat kerja keras orang tua, dan bagaimana kita sudah menyakiti atau mengecewakan orang tua”. Dalam hal ini sang pengkotbah mencoba menimbulkan “self-deception” (penipuan diri). Sehingga respon yang muncul bukan lagi “di hadapan Tuhan”.

Sikap hati di hadapan Tuhan memang bukan hal yang mudah tapi bukan berarti tidak mungkin. Ini tidak mudah karena memang kita selalu tergoda untuk lebih mementingkan pandangan manusia. Saya membayangkan suatu adegan dimana Daud menari dan ia tidak lagi melihat manusia tapi menari di hadapan Tuhan. Suatu hal yang begitu luar biasa dan agung sekali. Secara pribadi, saya beberapa kali mengalami hal ini. Salah satu contoh paling jelas yaitu ketika menjadi soloist baritone dalam suatu konser Kristen. Saat itu merupakan pertama kali menjadi soloist. Dan terjadilah moment begitu unik saat saya menyanyi di depan 1000an penonton. Saya menyanyi di hadapan Tuhan. Apakah saya melihat Tuhan? Tidak secara langsung. Namun hati saya tertuju kepada Tuhan. Saya sadar sepenuhnya bahwa pujian itu untuk Tuhan. Saya tidak lagi memikirkan apa tanggapan orang entah pujian atau hinaan. Saya menyanyi serta berdoa dalam hati seperti: “Tuhan terimalah pujian saya ini”. Moment dimana saya merasa secara pribadi bernyanyi di hadapan Tuhan.

Biarlah kita terus merenungkan prinsip-prinsip ini dalam melayani Tuhan. Bukan hanya ketika melayani Tuhan di gereja tapi juga melayani Tuhan di keseharian kita. Dari hal-hal sederhana sampai yang kompleks. Dari hal-hal kecil sampai hal-hal besar. Kiranya Tuhan semakin dipermuliakan melalui kita yang terbatas ini. Sehingga orang lain turut serta mempermuliakan Tuhan.

Senin, 27 Juli 2015

Tuhan adalah Naunganmu (Maz. 121:5)

Secara struktur mazmur ini bisa dibagi menjadi: 1-2, 3-5, 6-8. Bagian tengah (3-5) yang diapit oleh awal dan akhir bisa dimengerti sebagai bagian pokok pikiran (inti) dari pesan mazmur ini. Ini sebenarnya bukan pola mazmur 121 saja, kita bisa menemukan banyak pola yang serupa di mazmur yang lain. Pada bagian tengahnya seolah membunyikan kembali doa berkat Bil. 6:24-26,

TUHAN memberkati engkau dan melindungi engkau;
TUHAN menyinari engkau dengan wajah-Nya dan memberi engkau kasih karunia;
TUHAN menghadapkan wajah-Nya kepadamu dan memberi engkau damai sejahtera.

Tidak mengherankan karena memang mazmur ini disampaikan dalam konteks perjalanan ibadah (ziarah). Hal ini dikonfirmasikan lagi oleh bagian awal yaitu “gunung-gunung.” Tentu ini merupakan suatu ungkapan simbolis. Dimana gunung-gunung dimengerti sebagai tempat pewahyuan (revelation) dan penyembahan (worship). Ini konsep yang sangat common (umum dan universal) dalam kepercayaan atau agama dunia. Manusia cenderung hormat dan kagum bahkan menyembah hal-hal yang disebut oleh Rudolf Otto sebagai Mysterium Tremendum. Melihat gunung maka kita melihat kekuatan (aspek tremendum) dan kemisteriusan (aspek mysterium). Kekuatannya begitu nyata yang mampu memberi kehidupan juga kematian. Ketika lava keluar maka tanah-tanah yang terkena lava tersebut menjadi tanah yang subur walaupun memakan waktu yang cukup panjang. Namun dalam waktu itu terjadi maka lava itu menghancurkan apa yang ada di sekitarnya. Kita bisa melihat dari sejarah, gunung-gunung yang dipandang sakral karena kekuatannya memberi kehidupan dan kematian:

1. Gunung Toba
73.000 tahun silam menimbulkan dampak dahsyat luar biasa hingga memusnahkan keberadaan kawasan hutan di anak benua India yang letaknya terpisah sejauh 3.000 mil dari pusat letusan yang kini menjadi danau Toba.

2. Gunung Laki
Laki adalah sebuah gunung api di Islandia yang legendaris yang telah tertidur sejak letusan terakhirnya yang sangat dahsyat di tahun 1783 menyebabkan kerusakan di seluruh negara ketika secara spektakuler meletus, membunuh di atas 50% populasi makhluk hidup di Islandia dengan awan belerang dan fluorine beracunnya. Kelaparan menjadi penyebab matinya 25% populasi tersebut. Air mancur lahar memancar hingga 1.400 meter tingginya. Seluruh dunia merasakan akibat dari letusan tersebut. Awan beracun menyebar hingga ke Eropa, menutupi langit belahan bumi bagian utara yang menyebabkan musim dingin datang lebih awal di Inggris dan membunuh 8.000 orang. Di Amerika Utara, musim dingin 1784 menjadi musim dingin terpanjang dan paling dingin yang pernah tercatat. Ada catatan lebih banyak salju di New Jersey, sungai Mississippi membeku di New Orleans, dan di ditemukan es di Teluk Mexico!.

3. Gunung Vesuvius
Gunung api ini menyebabkan kematian hingga 25,000 nyawa. Ketika Vesuvius dengan letusan yang maha dahsyat di tahun 79 SM, sepenuhnya telah menguburkan kota Pompeii di bawahnya dengan memuntahkan ‘isi perutnya’ selama 20 jam nonstop. Sejak itu, gunung api ini meletus lusinan kali dan terakhir pada tahun 1944 beberapa desa didekatnya telah dibinasakan.

4. Gunung Tambora
Tambora adalah gunung api aktip dari 130-an gunung api yang yang ada di Indonesia. Gunung raksasa setinggi 4,300 meter telah ‘melakukan’ serangkaian ledakan dari April hingga Juni di tahun 1815 dan mengguncangkan dunia dengan after-effect-nya yang mengubah stratosfir dan menyebabkan kelaparan yang buruk hingga ke US dan Eropa pada abad ke 19. Secara keseluruhan, lebih 71,000 orang tewas karena terbakar, kelaparan ataupun keracunan.

5. Gunung Krakatau
Krakatau adalah pulau vulkanis yang still-dangerous, terletak di Selat Sunda, Indonesia. Agustus 1883, sebuah rangkaian ledakan dahsyat yang mengerikan dengan kekuatan 13,000 kali lebih besar dari bom Hiroshima. Ledakannya terdengar hingga ke Perth, Australia. Muntahan lebih dari 21 kilometer kubik batu dan debu membumbung hingga setinggi 70 mil. Secara resmi, lebih dari 37,000 orang tewas. Namun dengan tsunami yang ditimbulkannya, korban sepertinya bisa lebih besar lagi.

6. Gunung Pelee
Gunung api yang terletak di Martinique, kini menjadi tujuan wisatawa di Perancis yang populer untuk mengenang bahwa sesuatu yang sangat mematikan telah terjadi di sini. Pada tahun 1902, sebuah letusan yang terbesar di abad 20 terjadi di sini dan menewaskan lebih dari 30,000 orang.

7. Gunung Ruiz
Nevado Del Ruiz, Kolumbia, dikenal karena laharnya yaitu mudflow atau longsoran yang terdiri atas air dan material pyroclastic yang mengalir dan mematikan . Di tahun 1595, 635 orang terbunuh setelah lumpur yang yang mendidih seperti dituangkan ke dalam sungai Guali dan Lagunillas, dan di tahun 1845 lebih dari 1,000 orang tewas. Di tahun 1985, sebuah letusan telah mengalirkan lahar dengan kecepatan 40 mil per jam dan mengubur kota. Lebih dari 23,000 orang tewas.

8. Gunung Unzen
Unzen yang terdiri dari beberapa lapis stratovolcanoes terletak di daerah Kyushu, Jepang. Gunung api setinggi 1,500 meter ini masih aktip hingga kini. Pada tahun1792 beberapa kubah lahar roboh, menyebabkan tsunami yang membunuh lebih 15,000 orang. Sebuah letusan terbaru di tahun 1991 telam membunuh lebih dari 40 orang dan menyebabkan kerusakan luar biasa pada bangunan-bangunan disekitarnya.

9. Gunung Kelud
Sejak abad ke-15, Gunung Kelut telah memakan korban lebih dari 15.000 jiwa. Letusan gunung ini pada tahun 1586 merenggut korban lebih dari 10.000 jiwa. Sebuah sistem untuk mengalihkan aliran lahar telah dibuat secara ekstensif pada tahun 1926 dan masih berfungsi hingga kini setelah letusan pada tahun 1919 memakan korban hingga ribuan jiwa akibat banjir lahar dingin menyapu pemukiman penduduk.

10. Gunung Papandayan
Papandayan adalah sebuah gunung api semi-aktif yang terletak di pulau Jawa, Indonesia. Pada 1772, gunung api ini meletus menghancurkan 40 desa di dekatnya. Lebih dari 3,000 orang terbunuh. Gunung api ini diperkirakan masih sangat berbahaya dan terus mengeluarkan asap dan letusan-letusan di tahun 1923, 1942, dan terus meningkatkan kekuatannya di tahun 2002.

11. Gunung Lamington
Lamington adalah gunung api dengan ketinggian 1,680 meter yang terletak di Papua New Guinea. Sialnya hingga tahun 1951, penduduk setempat di Provinsi Oro ini mengira gunung tersebut hanyalah gunung biasa yang ditumbuhi pepohonan. Hingga suatu malam pada 18 Januari, lahar dan asap mulai untuk keluar dari puncaknya, dan tiga hari kemudian, sebuah ledakan sangat besar dari sisi utara, menyebabkan langit ditutupi debu tebal dan gerimis magma bercampur uap sulfur. Dalam beberapa bulan kemudian getaran dan letusan terus berlanjut hingga radius 10 mil. Ledakannya menyebabkan total hampi 3,000 kematian.

Daftar di atas (terlepas dari perdebatan waktu kejadian) merupakan contoh-contoh gunung menyatakan kekuatan dan kemisteriusannya. Gunung seperti menjaga keseimbangan bumi. Kalau meletus maka dampaknya begitu luar biasa bahkan sampai ke tempat yang jauh dari gunung tersebut. Hal tersebutlah yang seringkali menjadikan gunung itu sakral. Seperti beberapa waktu lalu, seorang yang baru saja datang dari gunung Rinjani di Lombok bercerita bahwa ia melihat suatu ritual dijalankan oleh penduduk setempat. Mereka chanting dan bermusik sebagai wujud penyembahan. Selain itu juga melemparkan koin bahkan emas potongan kecil (mis. ikan kecil) ke danau yang ada di atas gunung Rinjani. Banyak lagi cerita seperti ini kita bisa dapatkan. Termasuk ketika seseorang ingin mencari ilham ilahi atau dari penguasa gaib. Dimana mereka bertapa dan berpuasa dalam waktu tertentu. Sampai seolah mendapat petunjuk ilahi.

Gunung menjadi tempat pewahyuan dan penyembahan. Sebenarnya juga dinyatakan dalam alkitab. Contohnya Tuhan berfirman kepada Musa di gunung Sinai. Tapi perlu diingat bahwa yang mysterium tremendum bukanlah gunungnya tapi ada Pribadi yang berfirman yaitu Tuhan. Karena itulah, pemazmur mengungkapkan bahwa pertolongannya datang bukan dari gunung-gunung yang dipandang sebagai mysterium tremendum. Tapi dari Tuhan yang mencipta segala yang ada termasuk gunung-gunung tersebut. Ini merupakan ungkapan iman yang luar biasa. Pemazmur bukan menyandarkan kekuatan pada apa yang kelihatan secara kasat mata, tapi apa yang kelihatan melalui mata iman.

Demikian juga, seringkali kita menyandarkan pada hal-hal yang kelihatan mempunyai kekuatan dan kemisteriusan. Mungkin masih ada orang Kristen yang percaya pada hal-hal sakral dari gunung-gunung. Pasti ini adalah suatu hal yang salah. Karena alkitab menyatakan bukan gunung yang penting tapi tempat itu sakral karena Tuhan hadir dan berfirman. Tuhan Allah sejati tidak terkunci atau terikat di satu gunung tertentu (mis. gunung Sinai). Tuhan Allah sejati mengatasi segala ciptaan. Dia Maha Hadir. Dia menyatakan diriNya kepada siapa Dia mau, dimana pun dan kapan pun.

Tapi bagi kita yang tidak percaya akan gunung yang sakral, bisa saja kita terikat dengan gunung-gunung sandaran hidup kita. Entah harta kekayaan kita yang menjadi sandaran pertolongan kita. Kita begitu bergantung pada harta kekayaan sehingga tanpanya kita tidak bisa hidup. Entah kepandaian kita yang membuat kita yakin bisa mencapai kebahagiaan hidup. Kita begitu bergantung pada kepandaian kita sampai lupa bahwa Tuhan jauh lebih pandai daripada kita. Dan Dia jauh lebih tahu apa yang terbaik bagi kita daripada diri kita sendiri. Entah juga kehormatan atau nama baik kita, sehingga orang lain segan dan takut dengan kita. Yang membuat kita bahkan kompromi terhadap dunia demi nama baik kita sendiri. Apakah gunung-gunung sandaran hidup kita?

Dari semua itu, pemazmur mengatakan dari Tuhan-lah datang pertolongannya.

Ini merupakan ungkapan iman terhadap providensia Allah (harafiah berarti “melihat segala sesuatu sebelumnya” atau “menyediakan untuk”) yaitu bagaimana Tuhan menyatakan pemeliharaan dan perlindunganNya atas ciptaanNya terlebih lagi umatNya. Namun yang menarik, ungkapan iman ini muncul bukan ketika lepas dari suatu kejahatan dan penderitaan. Tidak ada dijelaskan kejahatan dan penderitaan dalam Mazmur 121. Malahan dituliskan bahwa konteks saat itu adalah dalam perjalanan ibadah. Dengan kata lain, dalam suatu hal yang rutin atau keseharian dijalani. Dalam keadaan demikian pun pemazmur menyatakan bahwa sandaran hidupnya hanyalah Tuhan, the one and only.

Dasar iman ini dari janji Tuhan seperti dalam Bil. 6:24-26, yang salah satunya diungkapkan: “Tuhanlah naunganmu di sebelah tangan kananmu” (ayat 5). Kita bisa bandingkan dengan Ratapan 4:20 dan Maz. 110:5. Ini merupakan ungkapan puitis yang begitu indah yang diungkapkan bukan hanya saat kejahatan dan penderitaan menimpa tapi saat melakukan suatu hal yang “rutin” dalam keseharian. Dalam keadaan demikian, pemazmur tetap menyatakan bahwa dirinya helpless dan bersandar pada Tuhan Allah Pencipta dan Penebus. Kesadaran self-helplessness ini sangat sulit untuk kita sadari setiap hari. Kesadaran itu muncul hanya saat kita mengalami kejahatan dan penderitaan. Tetapi alkitab mengajarkan pada dasarnya manusia itu lemah, terbatas dan helpless. Manusia tidak bisa menyangkali hal ini. Yang sering menjadi masalah adalah kepada apa atau siapa manusia menyandarkan hidupnya. Ada begitu banyak gunung-gunung sandaran hidup manusia. Tapi hanya ada satu Pribadi yang mampu dan layak sebagai sandaran hidup kita yaitu Tuhan Pencipta dan Penebus kita. 

Kamis, 23 Juli 2015

Iman Yang B'ri Menang (Faith Is The Victory)


Lirik  : John H. Yates (1837-1900) 
Musik : Ira D. Sankey (1840 - 1908)

John Henry Yates lahir pada 21 November 1837, di Batavia, New York. Tidak ditemukan catatan hidup masa kecilnya. Tapi ketika ia dewasa, ia bekerja di beberapa bidang seperti menjadi editor Koran, penjual sepatu, dan hardware store manger. Dia ditahbiskan menjadi hamba Tuhan di gereja Metodist pada 1886, dan kemudian menjadi pendeta di Gereja Baptis. Salah satu warisannya bagi gereja sampai sekarang yaitu lagu Iman Yang B’ri Menang. Yang mana lagu ini berdasarkan pada 1 Yohanes 5:4, “Sebab semua yang lahir dari Allah, mengalahkan dunia. Dan inilah kemenangan yang mengalahkan dunia: iman kita.”

Penulis melodi dari lagu ini yaitu Ira David Sankey. Ia lahir pada 1840 di Edinburg, Pennsylvania, dari pasangan suami istri Metodist yang sangat mengasihi Tuhan. Ia begitu menikmati masa kecilnya yang mengalami musim dingin yang panjang dan duduk di perapian rumah. Saat itulah ia bersama keluarganya bersekutu, bernyanyi hymn dan merenungkan firman Tuhan bersama. Ira belajar music pada umur 8 tahun dan bisa menyanyikan lagu hymn gereja tanpa salah. ia mengikuti sekolah minggu setiap minggu dan sangat mencintai hal-hal bersifat rohani. Pada umur 16 tahun, ia mengkomitmenkan hidupnya bagi Kristus di suatu kebaktian rohani yang ia hadiri kira-kira 3 mil dari rumahnya, Kings Chapel. Kira-kira setahun kemudian, keluarganya pindah ke New Castle, Pennsylvania, dan mereka pun aktif di gereja metodist di sana. Ira mendapatkan pendidikan di sekolah yang baik karena memang ayahnya merupakan president dari suatu Bank sehingga bisa membiayai sekolahnya. Namun ia tetap sadar bahwa semuanya itu adalah berkat dari Tuhan atas keluarganya. Ia pun menyerahkan dirinya untuk melayani Kristus. Walaupun ada suatu kesempatan dimana ayahnya menawarkan ia jabatan di Bank setelah lulus sekolah. Tetap konsentrasi dan fokus utamanya yaitu melayani. Sehingga di gereja pun ia aktif menjadi koordinator sekolah minggu dan pemimpin paduan suara. Sebelumnya, gerejanya tidak mengijinkan adanya alat musik di gereja. Ia dan rekan-rekannya memperjuangkan agar alat musik seperti organ, piano dan lainnya bisa dipakai dalam ibadah gereja. 

Pada umur 23 tahun, ia menikah dengan Fanny V. Edwards yang merupakan anggota paduan suaranya dan salah seorang guru sekolah minggu. Mereka mempunyai 3 anak laki-laki. Ira juga dikenal sebagai penyanyi gereja dengan suara yang bagus. Ia menerima ribuan undangan bernyanyi baik di kebaktian rohani, konvensi, suatu pertemuan-pertemuan besar lainnya. Ira begitu diberkati sejak kecilnya, remaja dan kehidupan keluarganya namun ia belum melihat apa rencana besar Tuhan dalam hidupnya. Sampai suatu ketika ia mendengar ada seorang hamba Tuhan bernama Dwight L. Moody yang terus mengadakan kebaktian kebangunan rohani dimana-mana. Ia mendapat kesempatan untuk menghadiri salah satu kebaktian kebangunan rohani tersebut di Indianapolis, Indiana. Disitulah ia bertemu dengan Pendeta Moody. Saat itu ia diberikan kesempatan melayani dengan memimpin suatu pujian. Suasana kebaktian pun begitu luar biasa menjadi lebih hidup dan setiap jemaat yang hadir siap menyambut firman Tuhan. Di hari berikutnya, Pdt. Moody bertemu dengan Ira dan menawarkan dia untuk menjadi pemimpin pujian dalam kebaktian rohaninya dimana pun di seluruh dunia. Ira baru menjawab panggilan tersebut 6 bulan kemudian. Pelayanan pertamanya sesudah itu di Chicago. Ia yang saat itu berumur 30 tahun (pada tahun 1870) pun melepas pekerjaannya sebelumnya dan fokus pelayanan bersama Pdt. Moody. Ia melayani bersama tim penginjilan tersebut sampai Pdt. Moody meninggal 29 tahun kemudian. Ia tidak menulis lirik lagu seperti dikerjakan oleh Fanny Crosby dan Phillip Bliss, tapi ia menuliskan melodi-melodi indah ribuan hymn dari penulis lagu tersebut. dan lagu ini merupakan salah satu lagu yang menjadi berkat bagi kita semua yang mana salah satu lagu yang dinyanyikan pada saat pemakamannya.


Rabu, 01 Juli 2015

David Brainerd: "Sorgaku, MenyenangkanMu" (2)

Cabang Sungai Delaware (1744-45)
Pada tahun 1744, ia pernah setidaknya 2x (gereja atau lembaga yang berbeda) diminta menjadi hamba Tuhan di Sheffield, Massachusetts dengan jaminan yang begitu besar. Namun ia memutuskan untuk kembali ke ladang misi kepada suku Indian. Ini merupakan ladang misinya yang baru dari lembaga misi sebelumnya. Ia memasuki pedalaman begitu jauh dari tanah kelahirannya itu sendirian. Saat itulah ia mengingat bahwa banyak juga anak-anak Tuhan yang pernah melakukan perjalanan yang begitu jauh sedemikian demi injil. Dan di alkitab sendiri, Abraham juga diutus Tuhan untuk pergi ke tempat ia tidak mengetahuinya. Ini menjadi penghiburan baginya. Di daerah misi yang baru ini, orang Indian hidup berpencar-pencar. Ini juga yang menjadi tantangan pelayanannya sehingga ia pergi ke beberapa tempat ketika pelayanan karena tidak bisa mengumpulkan di satu tempat. Selain itu, semangatnya sempat kendur karena belum menemukan penterjemah tapi ia terus melayani. Ia tetap menjaga disiplin rohaninya seperti berdoa dan bersaat teduh setiap harinya.

Pada juni 1744, koresponden yang mengutus Brainerd memutuskan untuk mentahbiskannya. Ia berkuda 2 hari lamanya ke Newark dimana pentahbisannya akan dilaksanakan. Sebelum ditahbiskan ia harus mengikuti ujian lalu kotbah dari ayat yang ditetapkan yaitu Kis. 26:17-18, ujian lagi tentang pengenalan praktis kekristenan dan kotbah saat pentahbisan. Ia pun akhirnya ditahbiskan. Pada 24 juni, tubuhnya begitu lemah dan hampir tidak sanggup berjalan namun ia tetap kembali melayani di antara Indian di Cabang Sungai Delaware.

Semakin ia melayani, semakin besar kerinduannya agar Kristus menegakkan kerajaanNya di tengah orang Indian. Keberadaan rakyat dalam kebutaan rohani dan kemerosotan moral justru memperkuat tekadnya untuk berjuang demi keselamatan mereka. Pada 6 juli 1744, Ia menuliskan: “Tahun lalu, saya rindu untuk bersiap-siap masuk ke dalam alam kemuliaan dan cepat-cepat meninggalkan dunia ini; tetapi belakangan ini segenap pemikiran saya tertuju kepada pertobatan orang kafir dan untuk tujuan ini saya ingin tetap hidup.” Pada 21 juli, “ saya rindu sekali agar Tuhan mendapat nama bagi diriNya di antara orang kafir. … saya tidak memiliki konsep tentang sukacita dari dunia ini; saya tidak peduli diman atau bagaimana saya hidup, atau penderitaan apa yang harus saya alami, asalkan saya dapat memenangkan jiwa-jiwa bagi Kristus.”

Dalam pelayanan ini juga ia sering berhadapan dengan para guru-guru kepercayaan dikenal sebagai powwow. Mereka dipercaya memiliki kuasa-kuasa gelap dan ajaran-ajaran yang jauh dari kekristenan. Ini merupakan peperangan rohani yang dihadapi Brainerd. Namun tetap ia bersandar pada keyakinan besar akan kuasa Allah. Bersandar pada kuasa Allah tidak berarti ia diam saja. Tapi ia terus melakukan berbagai hal supaya orang Indian bertobat khususnya doa. Karena pertobatan adalah sesuatu yang di luar kuasa manusia dank arena hanya Allah saja yang sanggup melaksanakan pekerjaan ini, ia bergumul berjam-jam dalam permohonan syafaat. Ia terbiasa berdoa sendiri di hutan dan memohon agar Allah menyatakan anugerah keselamatan kepada orang Indian. Namun sampai tahun terakhir misinya yaitu 1745, ia belum memenangkan satu petobat pun. Walaupun memang banyak orang Indian mulai meninggalkan ritual-ritual kepercayaannya dan bahkan dengan serius dan berkaca-kaca mendengarkan kotbahnya tentang Kristus. Saat inilah ia mulai menganggap dirinya sebagai beban dari lembaga misinya. Ia mempertimbangkan untuk mengundurkan diri bila tidak juga mempertobatkan orang Indian pada misi berikutnya.

Crossweeksung (1745-46)
Di tahun inilah banyak pertobatan dari orang Indian melalui pelayanannya. Seperti seorang perempuan yang sakit bersalin, ia sudah menanti-nantikan begitu lama akan peristiwa pertobatan dari orang Indian. Ia keluar menabur benih yang mahal sambil menangis dan sekarang ia pulang dengan bersorak-sorai sambil membawa berkas-berkasnya. Pada periode inilah bisa dikatakan pelayanannya paling berhasil mempertobatkan orang Indian. Banyak orang Indian yang bertobat dan mau menjadi pengikut Kristus di Crossweeksung.

Ia tiba di crossweeksung pada 19 juni 1745. Ini pun tempatnya sangat terpencar. Bedanya mereka sangat terbuka untuk mendengarkan injil yang disampaikannya. Mereka serius dan penuh minat dan tidak cenderung menentang dan mencari-cari kesalahan sebagaimana dilakukan oleh orang Indian di tempat lain. pendengar pertamanya terdiri dari para wanita dan anak-anak. Mereka begitu tertarik hingga menempuh perjalanan 15 mil dalam satu hari untuk menceritakan pada orang-orang lain mengenai pria kulit putih yang menyampaikan tentang injil Kristus ini. Gerakan ini seperti api yang menjalar sampai ke setiap penjuru. Tiga hari sesudah kedatangannya ada sekitar 30 orang datang. Ketika 2 juli ia harus kembali ke Cabang Sungai Delaware, banyak mereka yang sangat mengharapkan kedatangannya kembali. Dan ia pun berjanji akan datang kembali mengajarkan tentang Kristus di Crossweeksung.

Ketika kembali ke Cabang Sungat Delaware, ia melihat buah-buah sulung dari tuaian diantara orang Indian. Roh Allah bekerja dengan nyata dan hasil jerih lelah selama 2 setengah tahun mulai muncul.  Ini dimulai dari seorang petobat bernama Moses Finda Fautaury yakni sebagai penterjemah Brainerd. Ia bertobat pada agustus 1744, dimana penyesalannya begitu kuat atas dosanya dan sampai menyadari bahwa tidak ada seorang manusia pun yang bisa menolongnya. Ia menyadari bahwa hanya Allah yang mampu menolongnya, ia pun menjadi seorang Kristen.

Dari juli sampai dengan agustus 1744, sekembalinya ia ke Crossweeksung, ia melihat bagaimana Tuhan menyatakan anugerahnya mempertobatkan orang-orang Indian yang dilayaninya. Banyak orang Indian seperti tertusuk anak panah dari Yang Mahakuasa dan menangis untuk memohon pengampunan. Pertobatan mereka seperti air bah yang begitu deras menerjang dan tak terbendung. Ada seorang wanita Indian setelah mendengar kotbah, ia terbaring sambil berseru: “Guttummaukalummeh wechaumeh kmeleh Ndah” berarti “Kasihanilah aku dan tolong aku untuk memberikan hatiku padaMu.” Brainerd mengatakan ini merupakan manifestasi kuasa Allah yang cukup untuk meyakinkan seorang atheis akan kebeanran dan kuasa dan pentingnya firman Allah. Pada 25 agustus, ia membaptiskan banyak orang Indian yang bertobat tersebut. Sejak itulah sungguh-sungguh nyata pemeliharaan Tuhan atas umatNya. Banyak orang Indian setiap kali mendengarkan kotbah Brainerd yang terus terdorong untuk mohon ampun dan hidup suci. Siapa yang dapat membayangkan bahwa suatu daerah yang prospeknya begitu buruk, tempat iblis bersemayam dapat berubah menjadi ajang pencurahan air mata pertobatan dan kasih kudus? Nubuat Yesaya 41:18-20 digenapi di daerah liar New Jersey.

Dari sini kita dapat belajar empat karakteristik dari kebangunan rohani:
1. Berasal dari sumber ilahi. Brainerd pernah mengatakan: “saya rasanya tidak berbuat apa-apa, dan memang tidak ada yang bisa diperbuat kecuali berdiri tetap dan melihat keselamatan dari Tuhan, … tampaknya Allah bekerja sendirian dan saya rasa tidak ada alasan untuk menganggap pekerjaan ini berasal dari manusia.”
2. Bersifat rasional. Dimana tidak terdapat fenomena seperti orang yang kejang tubuh, pingsan dan lain-lain. Orang Indian yang bertobat memiliki kesadaran akan kefasikan hati dan perbuatan mereka dan takut akan murka Allah. Hanya sedikit yang memang mengalami gangguan mentap seperti penglihatan, kerasukan dan imajinasi. Yang menggugah mereka adalah doktrin mengenai kerusakan manusia dan perlunya kelahiran kembali dan keutamaan Kristus.
3. Kebangunan rohani ini praktis dalam perwujudannya. Orang yang bertobat sungguh menyatakan perubahan hidup dalam keseharian mereka.
4. Berdampak permanen. Orang-orang yang sudah menjadi Kristen tersebut tetap menjadi Kristen ketika ia harus meninggalkan mereka karena kesehatan yang memburuk. Pelayanannya kemudian diteruskan oleh John, saudaranya.

Daerah Susquehanna (1744-46)
Pelayanan di Daerah Susquehanna dilakukan pulang pergi ke Cabang Sungai Delaware, kadang ia juga kembali ke Crossweek. Pada 2 Oktober 1744, dia memulai perjalanannya bersama Moses Finda Fautaury (penterjemahnya), 2 orang Indian dan James Byram, seorang pendeta. Mereka pergi ke Daerah Susquehanna. Ini merupakan perjalanan yang paling sulit dan berbahaya. Mereka harus melewati gunung-gunung yang tinggi, ngarai-ngarai yang dalam, dan bukit batu terjal. Di tengah perjalanan kaki kuda yang dinaikinya patah, dan terpaksa membunuhnya karena tidak ada tempat atau rumah terdekat untuk dijadikan tempat istirahat. Ia pun melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Hingga malam tiba, mereka belum menemukan perumahan untuk istirahat maka mereka beristirahat di atas tanah dan tidur dengan tenang di tengah dinginnya malam. Atas kemurahan dan perlindungan Allah mereka dapat terus melanjutkan perjalanan hingga ke ladang misi. Mereka sampai di Opeholhaupung dimana terdapat 12 rumah orang Indian. Mereka pun menyampaikan injil Kristus. Orang Indian bersemangat mendengarkan dan juga mau mengajukan keberatan akan injil tersebut. Ketika Brainerd harus pergi, orang Indian tersebut ingin kemblai mendengarkan pengajarannya akan injil Kristus. Ketika ia kembali lagi, ia pergi juga ke perkampungan yang lain sehingga injil Tuhan semakin tersebar. Yang terakhir yaitu Shaumoking. Mereka diterima ramah di sini namun mereka kesulitan dalam bahasa. Selain itu, orang Indian di sini begitu memperihatinkan bagi Brainerd karena mereka masih saja melakukan tarian dan pesta-pesta penyembahan berhala. Ditambah lagi orang kulit putih yang berdiam dekat tempat tersebut menjual minuman keras kepada mereka sehingga banyak dari mereka menjadi pemabuk. Setelah 2 minggu melayani di tempat ini dengan penuh tekanan demikian, akhirnya ia kembali pulang ke tempat pelayanan lainnya.

Di Crossweek, ia melayani di gereja yang kebanyakan orang Indian dan semakin hari semakin banyak. Ia pun mulai memikirkan tentang pelayanan misinya. Ia memikirkan bagaimana jikalau ia berkeluarga dan melayani di tempat yang tetap yaitu Crossweek. Sampai suatu ketika ia mengambil keputusan sebagaimana dicatat dalam buku hariannya:

“Namun kini pemikiran-pemikiran ini (untuk menetap dll) hancur berkeping-keping, bukan dengan paksa, melainkan dengan pilihan sukarela; sebaba saya merasa bahwa Allah telah bekerja dalam hidup saya untuk mempersiapkan saya untuk hidup dalam kesendirian dan penderitaan dan bahwa saya tidak akan kehilangan apa-apa dalam hal yang terkait dengan dunia, jadi saya tidak rugi apa pun bila saya melepaskan semua keinginan itu. Bagi saya adalah baik bila saya miskin, tanpa rumah dan keluarga dan tanpa kenyamanan hidup yang dinikmati umat Allah yang lain untuk mana saya bersukacita bagi mereka. Namun, bersamaan dengan ini saya melihat begitu banyak dari kemuliaan kerajaan Kristus dan begitu kuat kerinduan untuk memperluasnya di dunia sehingga hal ini menelan semua pemikiran saya yang lain dan membuat saya rela bahkan bersukacita untuk menjadi musafir yang sendirian di padang belantara sampai akhir hayat saya, asalkan saya boleh mengambil bagian dalam pekerjaan yang indah dari Penebus saya yang agung. Sekarang saya berikrar untuk mempersembahkan jiwa saya kepada Allah untuk melayani Dia sepenuhnya. Segenap pikiran dan kerinduan saya menyerukan, ‘ini saya, Tuhan, utuslah saya, utuslah saya sampai ke ujung bumi; utuslah saya kepada bangsa kafir yang liar dan ganas di padang belantara; utuslah saya menjauhi segala sesuatu yang dinamakan kenyamanan di bumi, atau kenyamanan dunia dalam pelayanan bagiMu untuk memperluas kerajaanMu.’ Pada waktu yang sama, saya merasakan sekilas nilai kenyamanan duniawi: namun ini tak berarti apa-apa dibandingkan dengan nilai kerjaan Kristus dan pemberitaan InjilNya. Perkampungan yang tenang, tempat tinggal yang tetap, persahabatan yang lembut, yang saya harap akan saya nikmati bila say amemilih keadaan itu, kelihatan sangat berharga bagi saya bila dipertimbangkan secara tersendiri; namun bila dipandang dalam perbandingan ini seolah-olah tak ada artinya. Dibanding dengan nilai berharganya perluasan kerajaan Kristus, semua itu sirna ibarat cahaya bintang pada saat matahari terbit. Sekalipun kehidupan yang nyaman tampak berharga dan menyukakan bagi saya anmun saya mepersembahkan diri saya seutuhnya, tubuh dan jiwa, dalam pelayanan kepada Allah dan demi perluasan kerajaan Kristus; kendati itu berarti saya akan kehilangan semua yang lain, saya tak dapat berbuat lain, sebab saya tidak dapat dan tidak mau memilih yang lain. Atas pilihan saya sendiri, saya terpaksa mengatakan, ‘selamat berpisah, teman-teman dan kenyamanan duniawi, juga yang paling saya kasihi, bila Tuhan memintanya: selamat tinggal, selamat tinggal; saya rela menghabiskan hidup saya sampai saat terakhir dalam gua-gua dan celah-celah gunung di bumi bila dengan demikian kerajaan Kristus dapat diperluas.” (David Brainerd: Misionaris bagi suku Indian amerika, Surabaya: Momentum. 2006, hal. 78-9)

Pada 12 agustus, ia meninggalkan Cranberry bersama enam orang indian Kristen yang dipilihnya dari antara jemaatnya untuk membantu dia dalam pekerjaan antara jemaatnya untuk membantu dia dalam pekerjaan ini. Ketika sampai di Shaumoking, ia menlanjutkan perjalanan ke utara. Namun tubuhnya semakin lemah. Begitu lemahnya hingga sepertinya ia tidak bisa berada di tengah udara terbuka pada malam hari. Sehingga ia memanjat sebuah pohon pinus dan dengan pisaunya ia memotong beberapa dahan untuk membuat tempat bernaung dari embun; namun tetap ia basah kuyup. Pada 4 september, ia kembali ke Shaumoking dan melayan di sana. Banyak orang Indian yang begitu mendapat berkat dari pelayanan dan mengalami pertobatan. Sampai 11 september, ketika tubuh sangat lemah, ia memutuskan untuk kembali ke Cranberry.

Cranberry (1746-47)
Inti doctrinal dari ajaran Brainerd tercatat dalam bagian penutup buku hariannya: keberadaan dan kesempurnaan Allah, kewajiban umat manusia untuk mengasihi dan menghormati Dia, keadaan manusia yang sarat dengan dosa dan ketidakmampuan mereka menyelamatkan diri sendiri bahwa perbuatan baik ataupun reformasi lahiriah tidak dapt membawa manusia ke dalam perkenanan Allah; mutlak perlunya seorang Juruselamat; betapa melimpah dan kayanya kasih karunia Ilahi dan langkah yang harus diambil oleh setiap orang berdosa untuk memperoleh pengampunan dari Allah melalui Kristus. Ia juga menekankan Pribadi Kristus dan karyaNya.

Di Cranberry, ia menjadi gembala sidang dimana harus melayani kebutuhan rohani dan jesmani jemaat Indian. Ia memikirkan apa yang harus diajarkan, metode bagaimana, bagaimana membina jiwa-jiwa, bagaimana menerapkan prinsip-prinsip kekristenan pada masalah-masalah ekonomi, domestic dan sosial, dan banyak lagi. Setelah jemaat Indian tersebut mencapai tingkat pengertian yang lebih baik mengenai kekristenan. Ia memutuskan untuk membimbing melalui Katekismus. Ia mengajukan pertanyaan-pertanyaan doktrinal  dan membahas setiap bagian dengan lebih dalam. Banyak orang Indian Kristen tersebut ternyata siap akan pengajaran seperti demikian.

Dalam bulan juni 1746, Brainerd membuat laporan mengenai Indian sebagaimana diminta oleh lembaga misinya. Secara ringkas dari laporan tersebut menyatakan: (1) Orang Indian memiliki sikap menolak kekristenan yang telah berakar. Bahkan menentang dan membenci nama Kristus. (2) Kendala bahasa merupakan hal yang penting dalam pekabaran injil. Karena setiap suku Indian bisa memiliki bahasa yang berbeda. (3) Situasi yang tidak nyaman, tingkah laku liar dan cara hidup orang Indian yang tidak menyenangkan menjadi tantangan dalam pekabaran injil. (4) Kesulitan terakhir yaitu perlawanan dari orang-orang kulit putih sendiri. Bahkan ada yang mencoba menfitnah Brainerd agar tidak diterima di tengah-tengah orang Indian.

Pada 9 Oktober, setelah sakit paru-paru yang berkepanjangan dan dirawat di rumah Jonathan Edwards, ia meninggal. Selama sakitnya, tidak sedikit pun ia mengeluh. Bahkan ia terus bersiap jikalau Tuhan memanggilnya. Ia ingin segera bertemu dengan Tuhan, melayani dan menyenangkanNya dalam tubuh yang sempurna. Pada bulan Februari tahun berikutnya, Jerusha, anak Jonathan Edwards yang juga adalah perempuan yang dikasihi Brainerd meninggal karena penyakit yang sama.

Banyak orang yang begitu kagum dan terinspirasi dari pelayanan misi David Brainerd. Namun Brainerd juga adalah seorang yang sangat menekankan doktrin yang dipercayanya dalam setiap pelayanannya yaitu ajaran Calvinis. Ia dan Jonathan Edwards merupakan pemegang kental tradisi Puritan. Ia menyadari bahwa Allah memanggil dia bukan untuk berhasil melainkan untuk setia. Apa yang dia lakukan untuk Tuhan di dalam setiap pelayanan bukanlah menjadi penyebab ia dibenarkan atau diselamatkan. Karena keselamatan semata-mata anugerah Tuhan. Demikian juga pelayanan yang dia kerjakan adalah semata-mata karya Allah. Seperti yang ditulisnya pada 3 Februari 1745: “Saya merasakan kedamaian dalam jiwa saya dan saya tahu bahwa seandainya tidak seoarang pun dari orang Indian bertobat oleh pemberitaan saya dan semuanya menuju penghukuman, namun saya tetap diterima dan mendapat pahala atas kesetiaan saya; sebab saya yakin, Allah yang memampukan saya untuk itu.”

ia begitu mementingkan kemuliaan Tuhan daripada kebaikan bagi manusia maka ia tak pernah menggunakan metode-metode yang tidak alkitabiah untuk memikat orang indian dan ia tak pernah menurunkan standar praktis atau pun doktrinalnya dengan maksud menjaring lebih banyak petobat. Sebagaimana orang Puritan, ia tidak menganggap doktrin kedaulatan Ilahi bertentangan dengan pemberitaan injil. Tanggung jawab atas dosa terletak pada manusia dan dosa manusia semakin berat bila menolak tawaran rahmat Allah.

Kristus memilih orang-orang kudusNya melalui “dapur kesengsaraan” untuk memurnikan rohani mereka. Pencari mutiara harus menyelam ke dasar lautan yang dalam. Penambang menemukan batu permata pilihan jauh di bawah permukaan tanah, dimana tekanan bumi yang amat besar mengubah unsure karbon menjadi batu berlian yang berharga. Hal yang sama berlaku di alam rohani. Dalam lembah kelam dan curam, Tuhan membuat diriNya berharga bagi umatNya dan mengerjakan anugerah yang langka dalam hati mereka. (David Brainerd: Misionaris bagi suku Indian amerika, Surabaya: Momentum. 2006, hal. 112)

1 Kor. 1:21

Oleh karena dunia, dalam hikmat Allah, tidak mengenal Allah oleh hikmatnya, maka Allah, maka Allah berkenan menyelamatkan mereka yang percaya oleh kebodohan pemberitaan injil.

Disadur dari David Brainerd: Misionaris bagi suku Indian amerika, Surabaya: Momentum. 2006.

Selasa, 30 Juni 2015

David Brainerd: “Sorgaku, MenyenangkanMu” (1)


David Brainerd, seorang misionaris dari Amerika mengatakan:
“Sorgaku adalah menyenangkan Allah, dan memuliakan Dia dan memberikan segalanya kepada Dia dan sepenuhnya mengabdi pada kemuliaanNya: itulah sorga yang kurindukan, itulah agamaku dan itulah kebahagiaanku dan senantiasa demikian … Aku bukan pergi ke sorga untuk ditinggikan, tetapi untuk meninggikan Allah.“ (Katekismus Singkat Westmister, 204, penerbit momentum).

Sejak membaca kutipan dari catatan harian David Brainerd (20 April 1718 – 9 Oktober 1747) di Katekismus Westmister, saya terinspirasi dan terdorong. Kutipan pendek tersebut membuat saya merenungkan kembali apa artinya menjadi seorang Kristen sejati, apa artinya menjadi pelayan Tuhan di dunia ini. Dan saya jadi tertarik untuk membaca lebih lanjut tentang cerita hidup dari seorang hamba Tuhan yang luar biasa ini. Mungkin bisa dikatakan bahwa tidak ada tulisan biografi tentang Brainerd yang lebih lengkap dan dengan dasar pengenalan yang luar biasa dekat dibandingkan dengan tulisan Jonathan Edwards (5 Oktober 1703 – 22 Maret 1758) yang berjudul: The Memoirs of The Rev. David Brainerd. Selain tentunya karena kemampuan menulis dari hamba Tuhan puritan Amerika Jonathan Edwards ini. Ia juga pernah menjadi hamba Tuhan dimana Brainerd kecil bergereja di Northampton. Bahkan ketika kuliah di Yale University, Edwards juga pernah berkotbah di sana. Selain itu ternyata Edwards juga mendukung perkembangan dari Yale University untuk membangkitkan pemuda-pemuda dengan kualitas pendidikan tinggi. Dan Brainerd pun membaca banyak tulisan dari Edwards. Salah satu bukunya yang begitu menginspirasi sehingga Brainerd terus menganjurkan buku itu dibaca banyak orang Kristen yaitu A Treatise Concerning Religious Affections (1746). Mereka saling mengenal ketika hadir di upacara wisuda di Yale tahun 1743. Edwards berkotbah saat itu. Brainerd menyukai kotbah dan pandangan teologis dari Edwards. Dan Edwards begitu terkesan dengan pengabdian pribadi, pengertian rohani dan kerendahan hati dari Brainerd. Sejak itulah mereka saling mengenal satu sama lain. Di hari-hari terakhirnya Brainerd tinggal di rumah Edwards. Dan Brainerd memberikan segala catatan pribadinya kepada Edwards yang kemudian dijadikan sumber biografi tulisannya.  

Siapa David Brainerd? Ia dikenal sebagai salah satu misionaris Amerika ke suku Indian dan menginspirasi banyak orang khususnya para hamba Tuhan dan misionaris seperti Henry Martyn, William Carey dan lain-lain. Perlu diingat bahwa ia menjadi misionaris bukan sebagai pelariannya atau pun ketidakmampuannya di bidang lain. Ia menjadi misionaris karena meresponi panggilan Tuhan dimana ia disadarkan akan pentingnya injil keselamatan bagi manusia berdosa. Secara akademis, tidak diragukan lagi ia adalah salah satu mahasiswa terbaik di Yale University pada zamannya. Pada umur 20 tahun, ia melanjutkan studi di Yale University. Awalnya ia tidak ingin melanjutkan karena ia kuatir apakah ia bisa menjalani kehidupan rohani yang ketat di perguruan tinggi nanti. Namun dalam catatan hariannya dinyatakan bahwa ia bersyukur karena dalam perguruan tinggi tersebut Tuhan mengungkapkan hal-hal indah dari kasihNya. Yang mendukakan ia adalah ketidakpedulian dan apatisme rohani dari rekan-rekannya. Di tahun terakhirnya 1741, terlihat bahwa kecerdasan dan ketekunan belajarnya membawa dia mendapat ranking tertinggi di kelasnya dan itu berarti ia memiliki prospek yang cerah. Tinggal menunggu waktu dimana ia akan dinyatakan sebagai lulusan Yale yang terbaik saat itu. Namun ia dikeluarkan. Salah satu penyebab tidak langsungnya yaitu kebangunan rohani yang terus berlangsung di Amerika. Kebangunan rohani ini sudah berjalan antara 1730-1740 melalui KKR besar yang diadakan oleh para hamba Tuhan yang begitu dipakai Tuhan seperti Jonathan Edwards (1734), Jonathan Dickson di Newark (1738), John Seccumb di Harvard (1739) dan George Whitefield (1739). Brainerd begitu digerakan oleh kebangunan rohani tersebut. Sampai-sampai ia jatuh pada kesalahan dimana ia pun mengecam dengan pedas orang-orang Kristen yang mengaku Kristen namun terus dalam dosa dengan. Ketika seorang dosen bernama Whittelsey tergerak untuk memimpin doa chapel mahasiswa di Yale University, Brainerd berkomentar bahwa Whittelsey kurang urapan. Sejak itulah kemudian ia bermasalah dengan perguruan tinggi tempatnya studi dan akhirnya ia dikeluarkan. Kemudian hari, Brainerd menyadari ini sebagian memang kesalahan dari dia juga. Sejak itu ia menjadi cenderung melankolis dan tertekan mengingat hilangnya status kemahasiswaannya.

Titik mula panggilannya ini dimulai dalam pertobatannya. Secara moral, ia memang tidak melakukan suatu kejahatan yang luar biasa. Malahan bisa dikatakan ia adalah seorang yang “baik-baik saja”. Namun suatu di tahun 1738, ketika ia sedang berjalan-jalan untuk berdoa seperti kebiasannya, ia tiba-tiba diliputi rasa gentar akan murka Allah. Yang membuat dia takut yaitu dia tidak bisa mencapai kualitas yang ditentukan oleh Tuhan Allah. Sejak itu, ia terus melakukan kesalehan seperti berpuasa, berdoa, membaca alkitab dan terus mengintropeksi diri. Namun ia tetap tidak menemukan kedamaian sejati. Ia menjadi sangat menyadari akan keberdosaannya. Setidaknya ada 3 hal yang terus dia renungkan dan membuat dia begitu bergumul yaitu: tuntutan tinggi hukum Allah, kenyataan hanya iman dapat membawa keselamatan, dan kedaulatan Allah. Ia berusaha memenuhi hukum Allah tapi semakin berusaha ia semakin sadar bahwa ia tidak mampu. Ia juga tidak dapat memahami apa itu iman dan bagaimana memperolehnya. Dan paling sulit dia terima yaitu kedaulatan Allah bahwa keselamatan sepenuhnya tergandung pada Allah (ia merenungkan Roma 9:11-23).

Pada tahun 1739, ketika ia terus merenungkan pergumulannya, ia secara bertahap disadarkan bahwa keselamatan itu diluar kemampuannya sendiri. Dan segala yang dilakukannya seperti berdoa, berpuasa dan kewajiban-kewajibannya didasarkan pada kepentingan sendiri dan tidak untuk kemuliaan Tuhan. Ia menyadari bahwa apa yang kita lakukan tidak bisa memaksa Tuhan atau menjadi penyebab Tuhan menyelamatkan kita. Akhirnya, 12 Juli 1739, hatinya terbuka dan disadarkan bukan tentang Trinitas tapi Kemuliaan Ilahi. Ia menjadi kagum dan bersukacita karena Allah begitu agung dan mulia. Ia sampai tidak lagi memikirkan tentang keselamatannya sendiri dan hampir tidak menyadari kalau ada manusia seperti dia. Ia sampai pada tahap dimana ia melihat dirinya “nothing” di hadapan Allah yang mulia. Sejak “kemuliaan yang tak terkatakan” itu kerinduannya untuk mempermuliakan Penebusnya tidak pernah pudar sampai akhir hidupanya.

Pada musim semi tahun 1742, untuk kedua kalinya ia menumpang di rumah seorang pendeta, Jedediah Mills, seorang lulusan Yale dan hamba Allah sejati. Di sinilah ia melanjutkan kesalehannya: membaca, berdoa, berpuasa dan merenung. Ia mencatat pada 11 mei, “saya tak sanggup hidup di tengah keramaian. Saya rindu untuk menikmati Allah sendirian.” Pada 14 april, “Jiwaku rindu bersekutu dengan Kristus dan ingin mematikan kebejatan dalam diriku, terutama kesombongan rohani.” Lagi 27 april, “Oh Penebusku yang manis! Siapa yang kumiliki di sorga kalau bukan Engkau? Dan tak ada satu pun di dunia yang kuinginkan selain Engkau. Seandainya aku mempunyai seribu nyawa, jiwaku dengan sukarela akan menyerahkan semua itu sekaligus untuk dapat berada bersama Kristus.” Pada 18 juni, “Jiwaku mendambakan kesucian hidup dalam pengabdian penuh pada Allah senantiasa.” Pada masa-masa itulah di suatu sore, ia begitu tergerak dan sungguh-sungguh berdoa bagi perluasan kerajaan Kristus antara orang-orang kafir. Hasratnya untuk menyebarkan injil Tuhan ke orang Indian pun semakin bertumbuh.

Pada 19 November 1942, ia menerima surat dari Ebenezer Pemberton dari New York yang meminta dia untuk bekerja diantara orang Indian. Lembaga ini memang merupakan lembaga yang mempunyai fokus misi penginjilan. Lembaga ini mengirim surat kepada Brainerd atas usulan dari Aaron Burr yang mengenal Brainerd berbeban pada orang Indian. Pada bulan itu juga, Brainerd pergi mengunjungi beberapa temannya yang kemungkinan besar tidak dilihatnya lagi. Ia menjual semua barang miliknya dan bersiap menjalankan misi kepada orang Indian. Selama hidupnya Brainerd pergi ke beberapa ladang misi: Kaunaumeek (1743-44), Cabang Sungai Delaware (1744-45), Crossweeksung (1745-46), Daerah Susquehanna (1744-46), Cranberry (1746-47).

Kaunaumeek (1743-44)
Sebelum ke Kaunaumeek, ia berkunjung ke rumah John Sergeant yang adalah seorang misionaris berpengalaman. Ia menginap di sana selama 2 hari. Ia meminta pentunjuk-petunjuk dalam berbagai aspek penginjilan kepada orang Indian. Kemudian ia menuju Kaunaumeek berbekal beberapa potong pakaian, makanan dalam perjalanannya, sebuah kamus ibrani dan hati yang melimpah dengan kasih Allah dan jiwa-jiwa abadi. Dengan berkuda sejauh 20 mil, melewati daerah pendalaan yang sangat liar, ia sampai ke pondok orang Indian.

Pelayanannya dimulai 10 April 1743. Setiap hari ia bangun pagi-pagi, pergi keluar dan meluangkan waktu yang cukup lama untuk berdoa dan saat teduh di hutan. Sesudah itu ia pergi melayani. Ia mencatat bahwa orang Indian pada umumnya tenang ketika mendengar kotbah, ada juga yang terlihat prihatin dengan jiwanya, dan ada juga yang sambil bercakap-cakap. Ada seorang yang menyatakan bahwa hatinya menangis sejak pertama kali ia mendengar Brainerd berkotbah. Setelah beberapa kali melayani, ia menyadari betapa sulit tugasnya. Pada 16 April, ia mencatat keputusasaannya bahwa ia kuatir tidak ada suatu pun yang berfaedah yang dapat dilakukannya bagi orang Indian. Salah satu kendalanya yaitu komunikasi. Ia sangat membutuhkan penerjemah yang mengerti istilah-istilah Kristen. Karena memang ada kata-kata dalam pengertian Kristen sulit diterjemahkan ke bahasa Indian: Tuhan, Juruselamat, keselamatna, pendosa, keadilan, penghukuman, iman, pertobatan, pembenaran, adopsi, pengudusan, anugerah, kemuliaan, sorga dan banyak kata-kata penting lainnya. Ketika diterjemahkan cenderung memiliki arti lain seperti lahir baru yang diterjemahkan sebagai “hati dijadikan baik,” masuk dalam kemuliaan disebut “dijadikan lebih senang.” Ia pun menemukan orang yang bisa dipekerjakan sebagai penterjemah yaitu Wauwaumpequunnaunt yang oleh John Sergeant sudah diajari menterjemahkan. Ini menjadi pertolongan yang berarti baginya. Selain itu, ia tertekan karena kesepian dan kekurangan di ladang misi. Dalam suratnya kepada John, saudaranya, ia menuliskan betapa kurang makanannya dan banyak kesulitan lainnya seperti berjalan kaki sejauh 1,5 mil hampir setiap hari. Ia terus berdoa agar Tuhan menguatkannya dalam penderitaan penginjilan itu. Bahkan dia melihat bahwa penderitaan itu baik baginya: “aku tertindas itu baik bagiku, agar aku bisa sepenuhnya mati terhadap dunia ini.” Ia juga menuliskan: “aku puas dengan keadaanku dan berserah seutuhnya pada Tuhan. Dalam doa aku menikmati kebebasan besar, dan aku memuji Tuhan untuk keadaanku saat ini seolah-olah aku seorang raja, dan aku dapat merasa puas dalam keadaan apa pun. Terpujilah Allah.”

Dalam suratnya kepada john, ia menuliskan:
“Seluruh dunia ini bagi saya ibarat ruang hampa udara yang kosong dan luas sekali, dimana tidak akan diperoleh sesuatu pun yang didambakan atau setidaknya yang dapat memuaskan dan saya rindu untuk mematikan semua keinginan ini hari lepas hari; sekalipun saya tidak memperoleh penghiburan itu dari perkara-perkara rohani yang sangat saya dambakan. Kesenangan duniawi yang timbuh dari ketenaran, kekayaan, penghormatan, dan kenikmatan daging adalah jauh lebih buruk dari pada tanpa kesenangan sama sekali. Kiranya Tuhan melepaskan kita dari segala kesia-siaan. … Tak ada yang lebih kondusif bagi hidup Kekristenan daripada memanfaatkan waktu yang berharga dengan ekerja keras, rajin dan setia. Jadi marilah kita dengan setia mengerjakan tugas yang diberikan kepada kita melalui providensi ilahi, dengan sekuat tenaga jasmani dan kemampuan jiwa kita. Mengapa kita harus hanyut dalam keputusasaan karena pencobaan dan kesulitan yang harus kita hadapi di dunia? Maut dan kekekalan ada di depan kita; beberapa lemparan gelombang lagi dan kita akan dihempaskan ke dunia roh, dan kita berharap oleh anugerah yang tak terbatas, kita akan masuk dalam sukacita yang tak lekang oleh waktu dan istirahat dan damai kekal.” (David Brainerd: Misionaris bagi suku Indian amerika, Surabaya: Momentum. 2006, hal. 39-40)

Menjelang musim semi 1744, semakin sedikit orang indian tinggal di Kaunaumeek. Hal ini karena banyak orang kulit putih merampas tanah mereka dan mendesar mereka pindah. Brainerd pun menyatakan bahwa ia akan pergi juga. Hal ini membuat orang-orang Indian yang dilayaninya menjadi sedih dan berusaha membujuknya tetap tinggal. Brainerd pergi karena lembaga misi akan mengutusnya ke tempat yang lain yaitu Cabang Sungai Delaware.

Disadur dari David Brainerd: Misionaris bagi suku Indian amerika, Surabaya: Momentum. 2006.

Jumat, 26 Juni 2015

Tiada Yang Mustahil

(Nothing Is Impossible)

Eugene L. Clark lahir pada tanggal 23 Maret 1924, Eugene L. Clark dianggap sudah bisa mewakili judul hymne-nya yang paling terkenal, “ Tiada yang Mustahil” (Nothing is Impossible). Clark adalah seorang yang begitu piawai memainkan piano, jarinya seolah melayang ketika menyentuh tuts-tuts piano tetapi di kemudian hari dia menderita penyakit radang sendi yang melumpuhkannya dan akhirnya Clark pun mengalami kebutaan total.  Ketika akhirnya sudah tidak mungkin lagi bagi Clark untuk melanjutkan main piano ataupun organ, dia meminta untuk dibawakan mesin tik ke sisi sebelah tempat tidurnya.

Dengan alat penemuan yang pada zaman itu tergolong baru dan hebat, serta pemikirannya yang tajam, Clark terus mempersembahkan musik-musiknya yang indah dari atas tempat tidur. Tiap not demi not, jeda demi jeda, serta bar demi bar dalam kertas lagu Clark, mesin tik itu sudah membantunya menciptakan produk-produk dari pikirannya yang masih aktif- sesuatu hal yang baik karena penyakit radang sendi ataupun kebutaan total tidak bisa membelenggu bakat yang diberikan Tuhan kepadanya.

Ratusan musik tentang Injil, hymne, beberapa gubahan musik koor, juga 3 kantata misionaris telah mengalir melalui hati dan pikiran Clark yang berdedikasi dalam memperkaya musik dunia keKristenan. Satu lagunya paling terkenal yang terinspirasi dari Lukas 18:27 yaitu “Tiada yang Mustahil” pertama kali diperkenalkan pada tahun 1964. Karena cinta kasih, kesetiaan, dan kesabaran istrinya yang selalu mendampingi dia dan juga menjadi salah satu asset paling berharga bagi Clark dalam menciptakan karya-karyanya maka Clark memberikan penghargaan kepada istrinya atas keberhasilan pelayanannya.

Senin, 15 Juni 2015

Gara-gara Kierkegaard

Beberapa waktu ini saya membaca tentang Kierkegaard. Dari biografi sampai pandangannya. Menarik ia menyimpulkan bahwa ada 3 jalan hidup manusia menyatakan eksistensinya: estetik, etik dan religious. Ketiganya ini bukanlah bersifat kronologis. Tapi lebih seperti masa-masa dimana kadang setiap kita memasuki tahap-tahap ini secara bergantian dan berulang. Walaupun begitu tetap kita tidak sama lagi dengan sebelumnya. Estetika sangat menekankan hidup sesuai dengan kemauan sendiri dan yang dikejar adalah kepuasan diri. Jadi pertanyaannya berhubungan dengan puas atau tidak puas diri kita. Misalnya ketika kita memilih makan sesuatu karena memang kita suka dan makanan itu memuaskan kelaparan kita. Sedangkan etika berhubungan dengan kehidupan moral. Jadi yang dikejar adalah tentang baik dan jahat. Saya memilih makanan tertentu bukan karena itu memuaskan saya tapi karena makanan itu baik bagi saya. Dan lebih lagi pada tahap ini lebih memikirkan tentang orang lain. Saya hidup bukan untuk diri saya tapi bagi orang-orang di sekitar saya. Maka saya tidak bisa memakai uang seenaknya membeli makanan sepuasnya. Tapi juga membagikan ke yang lain. Dan terakhir yaitu religious. Dimana kita menyadari ada suatu yang melampaui moralitas manusia. Dan ini berhubungan dengan iman. Ketika kita mengalami segala pergumulan, pergolakan, kesulitan dan segala hal yang akhirnya membawa kita pada keputusasaan. Ketika kita melihat  bahwa sesuatu itu humanly impossible. Di sini kita menyadari perlunya langkah atau lompatan iman. Dan sebenarnya inilah yang menyatakan eksistensi yang sejati dan tertinggi dari manusia. Titik tolak dari pemikiran Kierkegaard ini menekankan pada subjektivitas. Artinya ia menyadari bahwa kebenaran objektif itu tidak bisa kita pegang karena memang keterbatasan kita. Tapi yang kita bisa adalah meresponinya secara subjektif. Kierkegaard sangat mengkritik teori-teori atau pemikiran yang universal dan rasional akan segala sesuatu. Bahwa ada suatu formula universal akan kebenaran. Atau etika teleologis yang menghalalkan segala cara demi tercapainya kepentingan universal itu. Ia menyatakan bahwa manusia itu adalah subjektif yang tidak bisa kita lupakan. Dimana memiliki masing-masing pergumulan berbeda. Dan tentu juga memiliki keterbatasan. Sia-sia punya pandangan yang dianggap sudah mencakup keseluruhan kebenaran (objektif) namun tidak bisa diterapkan dalam kehidupan manusia secara subjektif dalam keseharian.

Dari sinilah tiba-tiba saya merenungkan apa yang saya pelajari dari alkitab dan hubungan dengan saya secara pribadi dalam menghadapi pergumulan hidup saya yang real sekarang ini. Tiba-tiba saya merasa betapa sebenarnya kering sekali dalam membaca alkitab. Saya cuma baca karena rutinitas, karena itu baik bahkan untuk inspirasi kotbah saja. Ini semua ada benarnya. Tapi tidak cukup. Alkitab harusnya real menjadi pedoman hidup kita dalam keseharian. Harusnya real menjadi pedoman kita dalam menghadapi segala pergumulan hidup. 

Pembacaan alkitab saya sampai pada Yosua 1:5-7. Dimana waktu itu Musa sudah dipanggil oleh Tuhan dan Yosua dipercaya sebagai penerus. Ada kata-kata yang terus diulang: “Kuatkanlah dan teguhkanlah hatimu, sebab engkaulah yang akna memimpin bangsa ini memiliki negeri yang Kujanjikan dengan bersumpah kepada nenek moyang mereka untuk diberikan kepada mereka. Hanya kuatkan dan teguhkanlah hatimu dengan sungguh-sungguh … .” Sebelumnya janji Tuhan: “Aku tidak adakan membiarkan engkau dan tidak akan meninggalkan engkau.” Suatu janji yang indah dan terus dikuatkan setiap kali membaca bagian ini. Pertanyaan saya: “Apa hubungannya dengan pergumulan saya secara real? Bagaimana ayat tadi menjadi pedoman hidup saya secara real?"

Itu adalah janji Tuhan yang bahkan saya sudah kotbahkan juga kepada salah satu pasien di rumah sakit. Itu adalah janji yang mendahului tuntutan. Janji bahwa Tuhan menyertai umatNya, Tuhan akan menyertai hambaNya. Saya sadar saya bukanlah orang yang sempurna dalam banyak hal. Tapi saya ingat janji ini. Tuhan janji bahwa Ia menyertai hambaNya. Tugas saya: “Kuatkan dan teguhkan hatimu.” Inilah juga yang disampaikan Tuhan kepada Yosua supaya Yosua menguatkan dan meneguhkan hatinya dalam segala hal ketidaktahuan masa depannya. Kalau sungguh benar janji Tuhan maka kenapa saya takut dan kuatir. Kalau janji ini diucapkan oleh Sang Pencipta dan Penebus, kenapa saya ragu. Keraguan muncul karena saya kurang iman. Doa saya: kiranya Tuhan tambah-tambahkan iman saya dalam memegang janjiNya.


Soli Deo Gloria