Judul :
Segala Sesuatu untuk Kebaikan Kita
Penulis : Thomas Watson
Penerbit :
Momentum
"Ada dua hal yang selalu saya rasakan sulit untuk
dilakukan. Yang pertama adalah untuk membuat orang jahat bersedih; yang satunya
adalah membuat orang saleh berbahagia. Kemuraman orang saleh muncul dari dua
sumber: pertama, karena pengharapan di dalam batinya gelap adanya, dan kedua,
karena pengharapan di luar batinnya terganggu." (Watson, “Prakata,” xii)
Beberapa
kalimat awal dalam prakata oleh Thomas Watson begitu mendalam ke dalam hati
saya ketika membacanya. Kalimat-kalimat awal ini sudah cukup membuat saya
merenungkan kembali segala hal yang Tuhan izinkan (dalam kedaulatan-Nya)
terjadi dalam hidup saya secara pribadi. Menurut saya, tidak ada seorang
kristen (atau yang mengaku kristen) yang keberatan dari gagasan awal Watson
ini. Mengapa? Karena pada dasarnya kita adalah orang berdosa yang menyadari
betapa jarangnya kita bersedih atas keberdosaan kita. Namun, kita yang percaya
kepada Kristus juga adalah orang yang dibenarkan di mana seringkali bermuka
muram. Para pembaca kristen seharusnya tidak asing dengan kondisi seorang yang
berdosa dan seorang yang dibenarkan karena anugerah di dalam Kristus. Seperti
yang diungkapkan dalam salah satu gagasan reformator: "simul iustus et peccator". Dalam tegangan ini, ada dua cara
pandang: from below dan from above. Cara pandang from below cenderung bersifat
antroposentris entah memunculkan kerendahan diri (self-pity) bahkan kebanggaan diri (self-pride). Dalam sudut pandang from below, mengakui dan menyadari diri yang berdosa dan mengalami
konsekuensi dosa (penderitaan, kematian, dll) dapat memunculkan kerendahan diri
yang berpusat pada diri sehingga melihat diri tidak dapat tertolong bahkan
Tuhan dipandang kecil (tidak adil, tidak kuasa, tidak kasih, dll). Dalam sudut
pandang from below, tidak mengakui
diri yang berdosa bahwa saya sudah melakukan banyak hal dan menaati segala
perintah Allah sehingga tidak ada kurang. Cara pandang ini berdampak pada
kebanggaan diri yang menempatkan diri dalam kelompok orang saleh sehingga sudah
seharusnya mendapat berkat dan kebaikan dari Tuhan Allah bukan kesusahan dan
penderitaan. Cara pandang from below
pada dasarnya berakar pada pengenalan diri dan pengenalan akan Allah yang
salah.
Dalam
hal inilah, Watson membawa kita untuk melihat dengan cara pandang from above. Menurut saya, cara pandang ini
memang sulit karena berpusat pada Allah. Cara pandang yang menyelami dan
menghayati hikmat Allah. Kesulitannya karena kita bukan Allah dan kita terbatas
dalam memahami hikmat Allah. Selain itu, cara pandang ini sulit karena konsekuensinya
adalah penyangkalan diri. Cara pandang ini harus "menyangkal" keegoisan diri dan harus berpusat pada Allah dalam segala sesuatu. Oleh karena
itu sangat perlu pertolongan Allah Roh Kudus dalam “kelemahan” kita sebagaimana
dinyatakan dalam Roma 8:26, "Demikian juga Roh membantu kita
dalam kelemahan kita; sebab kita tidak tahu, bagaimana sebenarnya harus berdoa;
tetapi Roh sendiri berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang
tidak terucapkan". Kelemahan (astheneia)
dapat dipahami sebagai totalitas kondisi manusia yaitu creatureliness (James D. G. Dunn, Word
Biblical Commentary, Volume 38a: Romans 1-8). Perenungan dari kalimat
awal ini membawa saya menyadari akan "creatureliness" (dicipta, terbatas, dan berdosa) di mana sangat memerlukan pertolongan Tuhan
dalam memahami hikmat-Nya yang tak terbatas.
Gagasan
dalam prakata ini memunculkan pertanyaan reflektif dalam diri saya: “Sebagai
seorang percaya kepada Kristus, berapa banyak saya
bersedih atas dosa dan konsekuensi dosa baik secara individual maupun komunal?
Hal-hal apa yang membuat saya bersukacita dan berdukacita?”. Saya teringat
dalam alkitab dinyatakan bahwa Tuhan Yesus lebih banyak menangis daripada
tertawa. Tuhan Yesus menangisi dosa dan konsekuensi dosa. Pengikut Kristus
seharusnya mengalami kesedihan yang sama dengan Kristus. Dukacita kudus atas
dosa dan konsekuensinya. Karena itu tidak heran bahwa Watson menyatakan orang
saleh seringkali muram karena persoalan pengharapan di dalam batin dan
pengharapan di luar batin. Menurut saya, hal ini terkait dengan peperangan
rohani internal dan eksternal yang berhadapan dengan dosa dan konsekuensi dosa.
Secara pribadi, saya menyadari hal-hal ini pula yang seringkali membuat saya bergumul:
kerusakan diri dan kerusakan dunia.
Selain itu, tentu si jahat yang tidak
kenal lelah dalam peperangan rohani orang percaya. Dalam pergumulan inilah,
perspektif from above memberikan
penghiburan dan sukacita yang melimpah bahwa "segala sesuatu turut bekerja untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka
yang mengasihi Allah" (Watson, “Prakata,”
xii).
Ketika merenungkan dan menyadari
diri yang dicipta, terbatas, dan berdosa, apakah yang menjadi alasan bahwa "segala sesuatu turut bekerja untuk mendatang kebaikan bagi mereka yang
mengasihi Allah"? Dalam hal ini saya kembali dikuatkan dan dihiburkan bahwa dasar
utama yang paling kokoh yaitu Allah sendiri dan janji-janji-Nya (Watson, Segala Sesuatu, 57). Watson mengingatkan
pengenalan akan Allah yang paling pokok dan unik dalam alkitab bahwa Tuhan
Allah adalah Tuhan Allah Perjanjian (Yeremia
32:38). Ia yang rela berinisiatif mengikat Diri-Nya dengan manusia
berdosa. Inilah jaminan yang kokoh bahwa Ia setia dengan janji-Nya. Saya
terikat seperti yang dinyatakan dalam 2
Timotius 2:13, "jika kita tidak
setia, Dia tetap setia, karena Dia tidak dapat menyangkal diri-Nya". Demikian
pula dalam Yesaya 48:9-11, "Oleh karena nama-Ku Aku menahan
amarah-Ku dan oleh karena kemasyhuran-Ku Aku mengasihani engkau, sehingga Aku
tidak melenyapkan engkau. Sesungguhnya, Aku telah memurnikan engkau, namun
bukan seperti perak, tetapi Aku telah menguji engkau dalam dapur kesengsaraan.
Aku akan melakukannya oleh karena Aku, ya oleh karena Aku sendiri, sebab
masakan nama-Ku akan dinajiskan? Aku tidak akan memberikan kemuliaan-Ku kepada
yang lain!" Jonathan Edwards menulis satu artikel berjudul "End
for Which God created the World" (Tujuan Allah Menciptakan Dunia). Ia
menyatakan bahwa Allah melakukan segala sesuatu adalah demi kemuliaanNya sendiri. Baik
peringatan, hukuman, hal-hal yang tidak menyenangkan bahkan pemulihan,
kelancaran dan semua yang menyenangkan kita alami terjadi untuk kemuliaan Allah. Allah
melakukan semuanya itu, untuk
nama-Nya maka pasti Allah melakukan yang terbaik melampaui rancangan
dan perkiraan manusia.
Namun, Watson
juga memperingatkan bukan berarti membenarkan dosa atau menganggap remeh dosa
(Watson, Segala Sesuatu, 56). Hal ini
justru mengingatkan kita bahwa seringkali kita yang tidak setia. Dan untuk
itulah kita harus lebih lagi menuntut diri kita untuk menyatakan kasih dan
setia kita kepada-Nya yang telah menuntut diri-Nya untuk mengosongkan diri-Nya
dan taat bahkan sampai mati di kayu salib (Filipi
2:7-8). Dosa itu begitu serius di hadapan Allah karena itulah harus ada
penebusan Kristus. Pengampunan Allah atas dosa bukan pengampunan karena
kompromi melainkan berdasarkan kasih dan keadilan. Dalam 1 Yohanes 1:9 dikatakan "Jika
kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan
mengampuni segala dosa kita". Ia mengampuni karena Ia setia dan adil.
Karena keadilan Allah sudah dibayar tuntas oleh Tuhan Yesus Kristus, maka
berdasarkan itulah pengampunan diberikan kepada setiap orang yang percaya
kepada Kristus. Seolah Kristus mengatakan: "Di
salib Aku telah membayar hukuman semua dosa secara tuntas. Maka – … Aku meminta
keadilan" (Timothy Keller, Perjumpaan-Perjumpaan
Dengan Kristus, 129). Dengan demikian sebagai orang yang percaya kepada
Kristus, kita harus meresponi dengan tepat atas anugerah keselamatan ini. Karena
itu, Watson "menuntut" kita: "Jika Allah
mengupayakan kebaikan kita, marilah kita mengusahakan kemuliaan-Nya" (Watson, Segala Sesuatu, 75).
Watson juga
menyadarkan bahwa "segala sesuatu untuk kebaikan kita" hanya dialami oleh "orang-orang yang mengasihi Allah" (Watson, Segala
Sesuatu, 77). Ia menyatakan kasih kepada Allah merupakan "kobaran afeksi" orang percaya yang menyembah Allah sebagai kebaikan tertinggi dan berdaulat
(Watson, Segala Sesuatu, 78). Ia
melanjutkan dengan banyak penjelasan tentang natur kasih sampai ujian kasih
kita kepada Allah. Ketika saya membaca bagian ini, saya kira inilah bagian yang
sulit untuk diakui. Siapakah yang dapat menyatakan dengan gamblang bahwa
dirinya mengasihi Allah melebihi segala sesuatu? Layakkah kita menyatakan bahwa
kitalah orang-orang yang mengasihi Allah? Secara pribadi saya kembali
merenungkan bagaimana hati saya di hadapan Allah. Mungkin dari mulut saya dapat
menyatakan kasih kepada Allah. Tapi di dalam hati seringkali ada hal-hal
terselubung yang menjadi dasar dari apa pun saya lakukan bahkan dalam pelayanan
di mana tidak berdasarkan pada kasih kepada Allah. Selain itu, salah satu wujud
kasih kepada Allah yaitu membawa orang-orang lain percaya kepada Kristus melalui
penginjilan pribadi masih sangat banyak belum saya kerjakan.
Dalam
pergumulan ini, saya bersyukur karena Watson juga menyampaikan tentang nasihat
untuk memelihara dan memperbesar kasih kepada Allah. Ia menyatakan:
"Orang kristen tidak boleh merasa puas hanya dengan
segenggam anugerah, hingga bisa membuatnya bertanya-tanya apakah ia memiliki
anugerah itu atau tidak. Ia harus memperbesar persediaan anugerah itu. … Orang
beriman sudah puas dengan sedikit hal-hal duniawi; namun ia tidak pernah puas
dalam hal kasih kepada Allah. Ia menginginkan lagi gerakan Roh Kudus, berusaha
menambah satu tingkatan kasih lagi ke atas kasih yang lama." (Watson, Segala Sesuatu, 130)
Saya kira inilah yang disebut
sebagai miskin rohani dalam Matius 5:3.
Saya harus terus-menerus berdoa agar Roh Kudus memelihara dan memperbesar kasih
kepada Allah dalam diri saya. Saya harus terus memiliki kehausan rohani untuk
semakin mengenal Allah dan kebenaran-Nya. Saya bersyukur dalam beberapa waktu
ini saya dan beberapa rekan hamba Tuhan saling mendorong untuk semakin lagi
mengenal Allah dan kebenaran-Nya khususnya melalui alkitab dan buku-buku yang
sangat baik membawa saya semakin kagum akan Kristus dan semakin didorong untuk
mewujudkan kasih saya kepada Kristus. Kurang lebih 2-3 minggu ini saya
berhadapan dengan beberapa perenungan dari Mazmur 34, Mazmur 127, buku-buku
Timothy Keller (The Prodigal Prophet,
Encounters with Jesus, Walking with God
through pain and suffering), The
Voices from the Past, Segala Sesuatu untuk Kebaikan Kita oleh Thomas Watson,
dan pembacaan kitab Ayub menuju Mazmur. Beberapa tema pokok dari bacaan dan
perenungan tersebut yaitu tentang kedaulatan dan providensia Allah. Saya terus
ditegur dan dihiburkan melalui bacaan dan perenungan ini. Saya yakin ini tidak
kebetulan. Saya terus berdoa kiranya kasih kepada Kristus dalam diri saya tidak
padam atau menjadi dingin tapi semakin berkobar lagi. Kasih yang dibangun di
atas dasar kasih Allah itu sendiri bahwa Ia "sudah" mewujudkan kasih dan
keadilan-Nya secara sempurna di salib. Seperti dinyatakan dalam Roma 8:38-39, "Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat,
maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang,
atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu
makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam
Kristus Yesus, Tuhan kita."