Senin, 23 Desember 2019

Segala Sesuatu Untuk Kebaikan Kita


Judul                  : Segala Sesuatu untuk Kebaikan Kita
Penulis               : Thomas Watson
Penerbit             : Momentum

"Ada dua hal yang selalu saya rasakan sulit untuk dilakukan. Yang pertama adalah untuk membuat orang jahat bersedih; yang satunya adalah membuat orang saleh berbahagia. Kemuraman orang saleh muncul dari dua sumber: pertama, karena pengharapan di dalam batinya gelap adanya, dan kedua, karena pengharapan di luar batinnya terganggu." (Watson, “Prakata,” xii)

Beberapa kalimat awal dalam prakata oleh Thomas Watson begitu mendalam ke dalam hati saya ketika membacanya. Kalimat-kalimat awal ini sudah cukup membuat saya merenungkan kembali segala hal yang Tuhan izinkan (dalam kedaulatan-Nya) terjadi dalam hidup saya secara pribadi. Menurut saya, tidak ada seorang kristen (atau yang mengaku kristen) yang keberatan dari gagasan awal Watson ini. Mengapa? Karena pada dasarnya kita adalah orang berdosa yang menyadari betapa jarangnya kita bersedih atas keberdosaan kita. Namun, kita yang percaya kepada Kristus juga adalah orang yang dibenarkan di mana seringkali bermuka muram. Para pembaca kristen seharusnya tidak asing dengan kondisi seorang yang berdosa dan seorang yang dibenarkan karena anugerah di dalam Kristus. Seperti yang diungkapkan dalam salah satu gagasan reformator: "simul iustus et peccator". Dalam tegangan ini, ada dua cara pandang: from below dan from above. Cara pandang from below cenderung bersifat antroposentris entah memunculkan kerendahan diri (self-pity) bahkan kebanggaan diri (self-pride). Dalam sudut pandang from below, mengakui dan menyadari diri yang berdosa dan mengalami konsekuensi dosa (penderitaan, kematian, dll) dapat memunculkan kerendahan diri yang berpusat pada diri sehingga melihat diri tidak dapat tertolong bahkan Tuhan dipandang kecil (tidak adil, tidak kuasa, tidak kasih, dll). Dalam sudut pandang from below, tidak mengakui diri yang berdosa bahwa saya sudah melakukan banyak hal dan menaati segala perintah Allah sehingga tidak ada kurang. Cara pandang ini berdampak pada kebanggaan diri yang menempatkan diri dalam kelompok orang saleh sehingga sudah seharusnya mendapat berkat dan kebaikan dari Tuhan Allah bukan kesusahan dan penderitaan. Cara pandang from below pada dasarnya berakar pada pengenalan diri dan pengenalan akan Allah yang salah. 

Dalam hal inilah, Watson membawa kita untuk melihat dengan cara pandang from above. Menurut saya, cara pandang ini memang sulit karena berpusat pada Allah. Cara pandang yang menyelami dan menghayati hikmat Allah. Kesulitannya karena kita bukan Allah dan kita terbatas dalam memahami hikmat Allah. Selain itu, cara pandang ini sulit karena konsekuensinya adalah penyangkalan diri. Cara pandang ini harus "menyangkal" keegoisan diri dan harus berpusat pada Allah dalam segala sesuatu. Oleh karena itu sangat perlu pertolongan Allah Roh Kudus dalam “kelemahan” kita sebagaimana dinyatakan dalam Roma 8:26, "Demikian juga Roh membantu kita dalam kelemahan kita; sebab kita tidak tahu, bagaimana sebenarnya harus berdoa; tetapi Roh sendiri berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan". Kelemahan (astheneia) dapat dipahami sebagai totalitas kondisi manusia yaitu creatureliness (James D. G. Dunn, Word Biblical Commentary, Volume 38a: Romans 1-8). Perenungan dari kalimat awal ini membawa saya menyadari akan "creatureliness" (dicipta, terbatas, dan berdosa) di mana sangat memerlukan pertolongan Tuhan dalam memahami hikmat-Nya yang tak terbatas.

Gagasan dalam prakata ini memunculkan pertanyaan reflektif dalam diri saya: “Sebagai seorang percaya kepada Kristus, berapa banyak saya bersedih atas dosa dan konsekuensi dosa baik secara individual maupun komunal? Hal-hal apa yang membuat saya bersukacita dan berdukacita?”. Saya teringat dalam alkitab dinyatakan bahwa Tuhan Yesus lebih banyak menangis daripada tertawa. Tuhan Yesus menangisi dosa dan konsekuensi dosa. Pengikut Kristus seharusnya mengalami kesedihan yang sama dengan Kristus. Dukacita kudus atas dosa dan konsekuensinya. Karena itu tidak heran bahwa Watson menyatakan orang saleh seringkali muram karena persoalan pengharapan di dalam batin dan pengharapan di luar batin. Menurut saya, hal ini terkait dengan peperangan rohani internal dan eksternal yang berhadapan dengan dosa dan konsekuensi dosa. Secara pribadi, saya menyadari hal-hal ini pula yang seringkali membuat saya bergumul: kerusakan diri dan kerusakan dunia. Selain itu, tentu si jahat yang tidak kenal lelah dalam peperangan rohani orang percaya. Dalam pergumulan inilah, perspektif from above memberikan penghiburan dan sukacita yang melimpah bahwa "segala sesuatu turut bekerja untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Allah" (Watson, “Prakata,” xii).

Ketika merenungkan dan menyadari diri yang dicipta, terbatas, dan berdosa, apakah yang menjadi alasan bahwa "segala sesuatu turut bekerja untuk mendatang kebaikan bagi mereka yang mengasihi Allah"? Dalam hal ini saya kembali dikuatkan dan dihiburkan bahwa dasar utama yang paling kokoh yaitu Allah sendiri dan janji-janji-Nya (Watson, Segala Sesuatu, 57). Watson mengingatkan pengenalan akan Allah yang paling pokok dan unik dalam alkitab bahwa Tuhan Allah adalah Tuhan Allah Perjanjian (Yeremia 32:38). Ia yang rela berinisiatif mengikat Diri-Nya dengan manusia berdosa. Inilah jaminan yang kokoh bahwa Ia setia dengan janji-Nya. Saya terikat seperti yang dinyatakan dalam 2 Timotius 2:13, "jika kita tidak setia, Dia tetap setia, karena Dia tidak dapat menyangkal diri-Nya". Demikian pula dalam Yesaya 48:9-11, "Oleh karena nama-Ku Aku menahan amarah-Ku dan oleh karena kemasyhuran-Ku Aku mengasihani engkau, sehingga Aku tidak melenyapkan engkau. Sesungguhnya, Aku telah memurnikan engkau, namun bukan seperti perak, tetapi Aku telah menguji engkau dalam dapur kesengsaraan. Aku akan melakukannya oleh karena Aku, ya oleh karena Aku sendiri, sebab masakan nama-Ku akan dinajiskan? Aku tidak akan memberikan kemuliaan-Ku kepada yang lain!" Jonathan Edwards menulis satu artikel berjudul "End for Which God created the World" (Tujuan Allah Menciptakan Dunia). Ia menyatakan bahwa Allah melakukan segala sesuatu adalah demi kemuliaanNya sendiri. Baik peringatan, hukuman, hal-hal yang tidak menyenangkan bahkan pemulihan, kelancaran dan semua yang menyenangkan kita alami terjadi untuk kemuliaan Allah. Allah melakukan semuanya itu, untuk nama-Nya maka pasti Allah melakukan yang terbaik melampaui rancangan dan perkiraan manusia.

Namun, Watson juga memperingatkan bukan berarti membenarkan dosa atau menganggap remeh dosa (Watson, Segala Sesuatu, 56). Hal ini justru mengingatkan kita bahwa seringkali kita yang tidak setia. Dan untuk itulah kita harus lebih lagi menuntut diri kita untuk menyatakan kasih dan setia kita kepada-Nya yang telah menuntut diri-Nya untuk mengosongkan diri-Nya dan taat bahkan sampai mati di kayu salib (Filipi 2:7-8). Dosa itu begitu serius di hadapan Allah karena itulah harus ada penebusan Kristus. Pengampunan Allah atas dosa bukan pengampunan karena kompromi melainkan berdasarkan kasih dan keadilan. Dalam 1 Yohanes 1:9 dikatakan "Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita". Ia mengampuni karena Ia setia dan adil. Karena keadilan Allah sudah dibayar tuntas oleh Tuhan Yesus Kristus, maka berdasarkan itulah pengampunan diberikan kepada setiap orang yang percaya kepada Kristus. Seolah Kristus mengatakan: "Di salib Aku telah membayar hukuman semua dosa secara tuntas. Maka – … Aku meminta keadilan" (Timothy Keller, Perjumpaan-Perjumpaan Dengan Kristus, 129). Dengan demikian sebagai orang yang percaya kepada Kristus, kita harus meresponi dengan tepat atas anugerah keselamatan ini. Karena itu, Watson "menuntut" kita: "Jika Allah mengupayakan kebaikan kita, marilah kita mengusahakan kemuliaan-Nya" (Watson, Segala Sesuatu, 75).

Watson juga menyadarkan bahwa "segala sesuatu untuk kebaikan kita" hanya dialami oleh "orang-orang yang mengasihi Allah" (Watson, Segala Sesuatu, 77). Ia menyatakan kasih kepada Allah merupakan "kobaran afeksi" orang percaya yang menyembah Allah sebagai kebaikan tertinggi dan berdaulat (Watson, Segala Sesuatu, 78). Ia melanjutkan dengan banyak penjelasan tentang natur kasih sampai ujian kasih kita kepada Allah. Ketika saya membaca bagian ini, saya kira inilah bagian yang sulit untuk diakui. Siapakah yang dapat menyatakan dengan gamblang bahwa dirinya mengasihi Allah melebihi segala sesuatu? Layakkah kita menyatakan bahwa kitalah orang-orang yang mengasihi Allah? Secara pribadi saya kembali merenungkan bagaimana hati saya di hadapan Allah. Mungkin dari mulut saya dapat menyatakan kasih kepada Allah. Tapi di dalam hati seringkali ada hal-hal terselubung yang menjadi dasar dari apa pun saya lakukan bahkan dalam pelayanan di mana tidak berdasarkan pada kasih kepada Allah. Selain itu, salah satu wujud kasih kepada Allah yaitu membawa orang-orang lain percaya kepada Kristus melalui penginjilan pribadi masih sangat banyak belum saya kerjakan.

Dalam pergumulan ini, saya bersyukur karena Watson juga menyampaikan tentang nasihat untuk memelihara dan memperbesar kasih kepada Allah. Ia menyatakan:

"Orang kristen tidak boleh merasa puas hanya dengan segenggam anugerah, hingga bisa membuatnya bertanya-tanya apakah ia memiliki anugerah itu atau tidak. Ia harus memperbesar persediaan anugerah itu. … Orang beriman sudah puas dengan sedikit hal-hal duniawi; namun ia tidak pernah puas dalam hal kasih kepada Allah. Ia menginginkan lagi gerakan Roh Kudus, berusaha menambah satu tingkatan kasih lagi ke atas kasih yang lama." (Watson, Segala Sesuatu, 130)

Saya kira inilah yang disebut sebagai miskin rohani dalam Matius 5:3. Saya harus terus-menerus berdoa agar Roh Kudus memelihara dan memperbesar kasih kepada Allah dalam diri saya. Saya harus terus memiliki kehausan rohani untuk semakin mengenal Allah dan kebenaran-Nya. Saya bersyukur dalam beberapa waktu ini saya dan beberapa rekan hamba Tuhan saling mendorong untuk semakin lagi mengenal Allah dan kebenaran-Nya khususnya melalui alkitab dan buku-buku yang sangat baik membawa saya semakin kagum akan Kristus dan semakin didorong untuk mewujudkan kasih saya kepada Kristus. Kurang lebih 2-3 minggu ini saya berhadapan dengan beberapa perenungan dari Mazmur 34, Mazmur 127, buku-buku Timothy Keller (The Prodigal Prophet, Encounters with Jesus, Walking with God through pain and suffering), The Voices from the Past, Segala Sesuatu untuk Kebaikan Kita oleh Thomas Watson, dan pembacaan kitab Ayub menuju Mazmur. Beberapa tema pokok dari bacaan dan perenungan tersebut yaitu tentang kedaulatan dan providensia Allah. Saya terus ditegur dan dihiburkan melalui bacaan dan perenungan ini. Saya yakin ini tidak kebetulan. Saya terus berdoa kiranya kasih kepada Kristus dalam diri saya tidak padam atau menjadi dingin tapi semakin berkobar lagi. Kasih yang dibangun di atas dasar kasih Allah itu sendiri bahwa Ia "sudah" mewujudkan kasih dan keadilan-Nya secara sempurna di salib. Seperti dinyatakan dalam Roma 8:38-39, "Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita."