Minggu, 30 Oktober 2016

Wahyu Umum dan Khusus (1)

Mazmur 19

Salah satu tujuan hidup manusia yaitu mengenal Tuhan Allah. Mazmur 19 mengajarkan pedoman dalam mengenal Allah sejati yaitu wahyu umum (ayat 1-6) dan khusus (ayat 8-15). Kesalahan manusia berdosa dalam mengenal Tuhan adalah hanya menekankan salah satu dari wahyu ini. Padahal dalam mazmur ini diajarkan alam (wahyu umum) dan firman (wahyu khusus) keduanya diperlukan dalam memahami Tuhan Allah secara penuh. Kenapa? Karena kedua wahyu ini menyingkapkan siapa Tuhan Allah. 

Perkataan Alberth Einstein yang begitu dikenal: “ilmu pengetahuan tanpa agama itu pincang, agama tanpa ilmu pengetahuan itu buta.” Walaupun perkataan Einstein ini tidak berasal dari mazmur 19 tapi renungannya secara pribadi atas apa yang dia pahami, namun penekanan yang satu akan wahyu Allah dan melupakan yang lain akan berakibat kurang lebih sama seperti dikatakan oleh Einstein. Kalau saya ubah begitu: “ilmu pengetahuan (wahyu umum) tanpa agama (wahyu khusus) itu pincang, agama (wahyu khusus) tanpa ilmu pengetahuan(wahyu umum) itu buta.” 

Wahyu Umum

“agama (wahyu khusus) tanpa ilmu pengetahuan(wahyu umum) itu buta” 
Dalam pemahaman umum, ada banyak orang beragama hanya bertekun dalam memahami wahyu khusus menurut kepercayaan mereka masing-masing. Namun tidak banyak usaha untuk memahami wahyu umum melalui alam (termasuk manusia). Ini merupakan suatu pemahaman dualistic dalam memahami wahyu umum dan khusus. Akhirnya, para ilmuwan yang mengambil alih dalam mempelajari alam. 

Kita yang hanya bertekun dalam memahami wahyu khusus namun tidak  bertekun dalam memahami wahyu umum akan menghasilkan teologi yang kering dan sempit yang dalam istilah Einstein disebut buta. Kita akan “percaya saja” dan tak peduli dengan alam ciptaan Tuhan Allah. Apakah Tuhan Allah menciptakan alam hanya untuk dieksploitasi oleh manusia? Atau hanya untuk manusia dapat bertahan hidup melalui alam? Mazmur 19 mengajarkan bahwa alam juga merupakan pancaran kemuliaan Allah yang melaluinya kita dapat mengenal siapa Allah.

Melalui wahyu umum, kita tidak bisa menyangkal bahwa ada Pencipta. Ketika melihat keteraturan, keindahan keagungan alam, hal yang paling masuk akal adalah mengakui bahwa ada “Sosok” yang mencipta. Alam yang demikian pastilah bukan keluar dari ketiadaan tanpa campur tangan Pencipta. Alam tidak yang teratur, indah dan agung ini tidak mungkin terjadi karena kebetulan. Bagaimana “kebetulan” dapat menjadikan sesuatu yang demikian? Bagaimana suatu ledakan dapat menjadikan alam ciptaan yang teratur dan indah? Bagaimana sesuatu yang “impersonal” bisa menghasilkan suatu yang personal (manusia)? 

Selain keteraturan dan keindahan alam, ada pertanyaan ontologis dasar: “Kenapa segala sesuatu “ada” bukannya “tidak ada”? Hal ini mengandaikan adanya suatu rencana agung terhadap yang ada. Sesuatu dijadikan “ada” karena yang menjadikan memiliki suatu rencana dan tujuan agung. Ia tidak sama dengan manusia yang kadang membuat sesuatu hanya untuk mempermainkan dan memperlakukan sesuatu tersebut sesukanya. Ia tidak sama dengan manusia yang ketika tidak menyukai yang dibuatnya kemudian menghancurkan dan membuangnya. Alam termasuk manusia di dalamnya dicipta dengan suatu rencana dan tujuan agung Pencipta. 

Dalam Mazmur 19:1-6, merupakan pujian kepada Allah yang mencipta alam semesta serta isinya. Ia mencipta alam semesta dengan keteraturan dan keindahan. Kedua hal tersebut memungkinkan ilmu pengetahuan dan kebudayaan berkembang. Ia mencipta dengan rencana dan tujuan agung yang di dalamnya alam semesta dan isinya memperoleh makna keberadaannya.

Allah disebut dengan El yang merupakan nama panggilan Tuhan secara umum. Ini berarti wahyu umum bisa saja memperkenalkan Allah secara umum kepada semua orang bahkan bukan kristen sekalipun. Melalui wahyu umum, manusia menyadari bahwa ada Pencipta. Manusia juga mengenal bahwa Pencipta tersebut adalah pribadi. Pencipta mencipta alam semesta dan isinya dalam keteraturan dan keindahan. Prinsip-prinsip keteraturan dan keindahan ini dapat menjadi acuan bagi kehidupan manusia dalam berbagai aspek.  

Melalui wahyu umum juga manusia melihat beberapa hal yang memang pahit: kesedihan, penderitaan, kejahatan dan kematian. Kenyataan “pahit” ini tidak bisa disangkali. Pertama kali menyaksikan ini adalah adam dan hawa. Mereka melihat Habel mati. Habel korbah pembunuhan kakak kandungnya, Kain. Mereka mengalami kesedihan, penderitaan, kejahatan dan kematian untuk pertama kalinya. Tidak ada seorang pun yang dapat lari dari semua ini. Saat yang sama, semua orang ingin mencari “keselamatan” atas semua kepahitan ini. Ada yang mencoba mencari keselamatan melalui ilmu pengetahuan. Para ilmuwan membuat obat-obat untuk menyembuhkan sakit, anti-sakit bahkan untuk memperpanjang umur. Para agamawan menyampaikan ajaran yang memberikan jaminan sesudah kematian. Para filsuf juga terus memikirkan bagaimana menghadapi kenyataan pahit ini secara metafisis, epistemis dan etis (estetis). Ilmu pengetahuan terus berkembang, ajaran agama berkembang demikian pemikiran filsafat terus berkembang namun, mereka semua tidak pernah dapat menyelesaikan persoalan pahit ini dengan tuntas dan jaminan pasti.