Rabu, 30 Agustus 2023

Hidup yang Tidak Sia-Sia

Bacaan Alkitab: Pengkhotbah 12:13

Akhir kata dari segala yang didengar ialah takutlah akan Allah dan peliharalah perintah-perintah-Nya, karena inilah kewajiban setiap orang.


Kesia-siaan, siapa yang mau? Dalam mitologi Yunani ada kisah menggambarkan kesia-siaan. Sisyphus adalah raja Ephyra (Korintus) yang tamak dan licik. Ia menantang para dewa dan mengikat Kematian (Hades, dewa kematian) sehingga tidak ada manusia yang perlu mati. Ketika dewa kematian terikat, manusia semakin menderita karena yang sakit dan tua tidak dapat mati sehingga mereka menderita terus-menerus. Ketika dewa kematian akhirnya dibebaskan dan tiba waktunya bagi Sisyphus sendiri untuk mati, dia mengarang tipuan yang membuatnya melarikan diri dari dunia bawah. Setelah akhirnya menangkap Sisyphus, para dewa memutuskan bahwa hukumannya akan berlangsung selama-lamanya. Dia harus mendorong batu ke atas gunung; setelah mencapai puncak, batu akan berguling kembali, meninggalkan Sisyphus untuk memulai kembali. Ini yang dia lakukan selama-lamanya. Hukuman Sisyphus adalah melakukan sesuatu yang tidak berguna dan tanpa ada harapan. Hukumannya adalah Kesia-siaan.

Bukankah kita juga tidak ingin hidup sia-sia? Banyak orang tidak mau hidup sia-sia. Tidak mau menjadi Sisyphean. Sebagaimana dinyatakan oleh Peter Kreeft, “Ketakutan terbesar di masa modern, bukanlah ketakutan akan kematian (yang merupakan ketakutan terdalam manusia zaman kuno), atau ketakutan akan dosa atau rasa bersalah atau Neraka (yang merupakan ketakutan terdalam manusia di abad pertengahan), namun ketakutan akan ketidakberartian.”

Kitab Pengkhotbah mungkin tampak seperti buku yang aneh, tetapi ini relevan sampai sekarang. Terlalu banyak dari kita yang mengejar angin, mencari kepuasan dalam pekerjaan, keluarga, dan kesuksesan. Semua hal yang baik, namun semua hal yang pada akhirnya tidak memuaskan. Akan cukup buruk jika kita hanya gelisah, berkelok-kelok sepanjang hidup, dan menjadi pengecut. Kita seringkali telah spiritualisasi kegelisahan dan sikap pengecut kita, membuatnya terasa seperti kesalehan. Kita tidak hanya menjalani kehidupan yang sia-sia; hasrat kita akan Tuhan seringkali tidak lebih dari hasrat untuk memiliki Tuhan supaya melakukan kehendak kita.

Selain, keberdosaan diri (keraguan, ketakutan, kesombongan, egois, dll), dunia berdosa memberikan banyak tantangan bagi kita. Peter Kreeft menyebut beberapa jalan dunia menyembunyikan realita: pengalihan (diversion), propaganda palsu, indifference (pengabaian), pengejaran kebahagiaan (the pursuit of happiness), dan subjektivisme. Ada banyak hal di dunia ini berusaha mengalihkan fokus kita lepas dari Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya (mis. kerja, keluarga, materi, dll). Propaganda palsu seperti ajaran-ajaran seolah benar dan menyenangkan untuk dijalani (mis. tradisi, self-love, kebebasan, agama, toleransi, cinta uang, hedonism, materialisme, dll) – Lihat juga Kol. 2:8; 2 Ptr. 1:16; 2:3. Lalu, dunia membawa kita untuk mengabaikan kebenaran. Seseorang berkata: “ada Tuhan”, tapi respon kita mengantuk dan tidak peduli. Selain itu, kita didorong untuk mengejar kebahagiaan. Hal ini sepertinya tidak salah, namun jadi jebakan untuk membuat kita tidak melihat realita secara utuh dan kritis. Kalau Tuhan dan ajaran alkitab tidak membuat kita bahagia (menurut pikiran dan standar dunia), maka kita mencari kebahagiaan apa yang diberikan oleh dunia. Terakhir, subjektivisme yang menekankan bahwa yang penting adalah “kebenaran menurutku.”

Kita mendapat tekanan dari dalam diri dan dari dunia. Untuk dapat memaknai hidup kita, apa yang harus kita lakukan?

Tuhan tidak menempatkan kita dalam labirin, mematikan lampu, dan memberi tahu kita, “Keluar dan semoga berhasil.” Di satu sisi, kita percaya pada kehendak Tuhan sebagai rencana kedaulatan-Nya untuk masa depan kita. Dalam arti lain, kita menaati kehendak Tuhan, firman-Nya yang baik untuk hidup kita.

Kehendak Tuhan untuk hidup kita lebih sederhana, lebih sulit, dan lebih mudah dari itu. Lebih sederhana, karena tidak ada rahasia yang harus kita temukan. Lebih sulit, karena menyangkal diri sendiri, hidup untuk orang lain, dan menaati Tuhan lebih sulit daripada mengambil pekerjaan baru dan banyak hal-hal sehari-hari dalam hidup kita. Lebih mudah, karena Tuhan berdaulat, Ia memerintahkan apa yang Dia kehendaki dan mengabulkan apa yang Dia perintahkan.

Dengan kata lain, Tuhan memberi anak-anak-Nya keinginan untuk berjalan di jalan-Nya—bukan dengan mengungkapkan serangkaian langkah berikutnya yang terselubung dalam bayang-bayang, tetapi dengan memberi kita hati untuk menyenangi hukum-Nya.

Jadi akhir dari masalahnya adalah: Hiduplah untuk Tuhan. Taati Firman-Nya. Pikirkan orang lain sebelum diri kita sendiri. Hiduplah kudus. Cintai Yesus. Dan saat kita melakukan hal-hal ini, lakukan apa pun yang kita suka, dengan siapa pun yang kita suka, di mana pun kita suka, dan kita akan berjalan dalam kehendak Tuhan. Maka, hidup kita tidaklah sia-sia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar