Jumat, 09 Agustus 2019

Reformasi Hati

Markus 7:1-23

Markus 7:1-23 dan Matius 15:1-20 mencatat peristiwa menarik tentang kontroversi antara orang Farisi dan orang Yahudi dengan Tuhan Yesus dan murid-murid-Nya. Pada dasarnya orang Farisi dan orang Yahudi sangat memandang rendah “gaya hidup” dari Tuhan Yesus dan murid-murid-Nya. Hal ini disoroti dari hal-hal “sederhana” seperti makan dengan tangan yang tidak dibasuh (Markus 7:2). Urusan “tidak cuci tangan” merupakan hal sepele, namun bagi masyarakat Yahudi hal ini tidak sederhana seperti kelihatannya. Dalam masyarakat masa kini seringkali cuci tangan adalah urusan kesehatan dan kebersihan secara jesmani. Namun dalam masyarakat Yahudi, cuci tangan merupakan urusan kebersihan rohani (kekudusan hidup). Apakah prinsip ini memang berdasarkan pada firman Tuhan? Cuci tangan sebagai urusan kebersihan rohani memang terdapat dalam Perjanjian Lama seperti Keluaran 30:17–21, Keluaran 40:30–32, dan Imamat 8:5–6. Musa, Harun, dan para lewi diwajibkan untuk mencuci tangan ketika pelayanan di Kemah Suci atau Bait Allah. Jadi dalam Perjanjian Lama, perintah ini dilakukan hanya oleh orang-orang yang melayani di Kemah suci atau Bait Allah. Mengapa dalam Perjanjian Baru diberlakukan untuk semua orang? Orang Farisi memutuskan bahwa hukum ini juga untuk orang awam (laymen). Hal ini menjadi hukum tambahan (Markus 7:4). Kita dapat membayangkan mungkin awalnya mereka berpikir: “Perintah ini bukan hanya untuk para imam dan lewi dan ibadah. Tuhan menyatakan bahwa umat Tuhan adalah Kerajaan imamat dan bangsa kudus (Keluaran 19:6). Hidupku dan tubuhku adalah bait Allah. Aku harus mendedikasikan seluruh hidupku menjadi hidup yang kudus bagi Tuhan” (holy to the Lord). Sampai pada masa antara (intermediate state) dan masa Perjanjian Baru, mereka menjalankan seluruh perintah Tuhan dalam setiap aspek kehidupan yang kemudian dikembangkan menjadi banyak aturan (613 mitzvot = 365 negatif + 248 positif), tulisan dan lisan, dan menjadi tradisi turun-temurun. Mereka ingin hukum Allah dijalankan dalam hidup untuk mencapai kekudusan hidup sehingga menjadi bangsa yang kudus, imamat rajani. 

Coba kita renungkan: orang Farisi (Yahudi) membasuh tangan supaya kudus di hadapan Allah. Ini merupakan hal luar biasa sangat positif. Tetapi Tuhan Yesus menegur dengan tajam. Tuhan Yesus menyatakan orang Farisi sebagai orang munafik (Markus 7:6). Mengapa? Karena orang Farisi hanya fokus pada spiritualitas lahiriah daripada devosi batiniah & kebenaran hati. Tuhan Yesus tidak memarahi murid-murid-Nya yang tidak membasuh tangan sehingga menjadi batu sandungan bagi masyarakat Yahudi. Tuhan juga tidak mengeluarkan pernyataan-pernyataan adu moralitas kepada orang Farisi. Tetapi Tuhan Yesus menyatakan suara cara pandang yang begitu radikal bahwa kekudusan bukanlah tentang penampilan luar atau perbuatan baik di luar melainkan tentang pembaruan hati (reformasi hati). Apakah ini ajaran baru? TIDAK! God’s law selalu berfokus pada pembaruan hati (reformasi hati) dan devosi batin sebagai daya dorong murni atas tindakan luar (mis. Kel. 20:17, hati yang mengasihi sesama menjadi dasar melakukan tindakan tidak membunuh, tidak berzinah, dll). Ulangan 10:16 menekankan tentang sunat hati. Dalam Mazmur 51:16-17 dinyatakan bahwa Allah berkenan kepada hati yang hancur. Tuhan Yesus bukan meniadakan Perjanjian Lama dan membuat ajaran yang sama sekali baru melainkan menegaskan makna sejati firman Allah dalam Perjanjian Lama. Hal ini ditegaskan kembali oleh Tuhan Allah kepada Petrus dalam Kisah Para Rasul 10 dan Gal. 2:11-14 (Petrus mengerti hal ini beberapa tahun sesudah Tuhan Yesus mengajar tentang ini). Artinya perintah tentang makanan dari Taurat tidak pernah bermaksud supaya orang-orang berpikir bahwa makanan dan ritual dapat membuat kita unclean. Yang dalam hati lah yang membuat manusia berdosa itu unclean dan kecemaran ini tidak dapat dibersihkan melalui hukum tentang makanan yang haram-halal, mencuci tangan, atau hukum-hukum luar.

Dosa bukan hanya tentang tindakan kelihatan melainkan terutama kecemaran Hati (Markus 7:15). Seseorang itu berdosa karena di dalam dirinya terdapat dosa yang mengakar begitu mendalam. Kita berdosa karena hati kita yang kotor kemudian diwujudkan dalam tindakan yang kelihatan. Tuhan menyatakan kecemaran bukan datang dari luar melainkan dari dalam hati. Peraturan hanya dapat “memperbaiki” hal-hal yang kelihatan di luar saja tapi tidak mengubah hati secara radikal. 

Mengapa orang farisi disebut munafik? Karena mereka menjadi legalisme. Tuhan Yesus memperingatkan bahaya Legalisme (bdk. Lukas 18; Mat. 23:23-24). Legalisme adalah aliran yang mengutamakan hukum itu pada dirinya sendiri harus ditaati. Legalisme membuat kita melupakan esensi hukum yang terkait dengan Sang Sumber Hukum yaitu Allah. Perhatikan progresif pernyataan Yesus: leave/abaikan (ayat 8), reject/mengesampingkan (ayat 9), making void/tidak berlaku (ayat 13) (NIV – let go (ayat 8), setting aside (ayat 9), nullify (ayat 13)). Ketika menaati peraturan atau hukum kita seharusnya tidak melupakan dasar dari hukum yaitu keadilan, kemurahan (mercy), kesetiaan dan kasih. Ketika hukum dilepaskan dari Allah (Sang Sumber Hukum) maka perintah manusia dijadikan perintah Allah - pengilahian hukum manusia (bdk. Mark. 7:7; Kol. 2:23). Allah tidak memberikan kepada kita otoritas untuk “melebihkan atau mengurangi” apa yang diperintahkan-Nya kepada umat-Nya. Dia adalah Pencipta, Lawgiver dan Hakim. Dia mempunyai otoritas mutlak dan tertinggi. 

Orang ateis itu menolak keberadaan Allah, orang agamais itu mengganti dan melepaskan Allah dari hukum-hukum agama. Kita adalah orang-orang demikian. Hati kita yang berdosa cenderung mencari selubung dan alibi untuk pembenaran diri melalui hukum-hukum agama. Bahkan kita dapat memakai firman Allah untuk membenarkan diri kita. Kita dapat sangat kagum pada diri kita karena sudah melakukan segala perintah Allah. Kita seringkali merasa diri lebih baik daripada orang lain yang percaya Kristus apalagi orang yang belum percaya Kristus. Kristen sejati bukan tentang works-righteousness (forms of works-righteousness). Kristen sejati adalah kehidupan di mana kebenaran diterima melalui iman kepada Kristus yang taat atas tuntutan Allah sampai mati disalib. 

Marilah kita senantiasa berdoa agar Tuhan menyelidiki dan memurnikan hati kita. Marilah kita senantiasa berdoa kiranya Tuhan memberikan kita hati yang lembut dan menyadari bahwa kita sangat memerlukan anugerah Tuhan dalam menaati segala firman-Nya. Jika kita bermegah, bermegahlah dalam Kristus yang menyatakan anugerah-Nya kepada setiap orang yang kepada-Nya Ia berkenan yaitu orang-orang yang lemah, terbatas, dan berdosa dengan hati yang hancur datang berlutut dan menyembah di kaki-Nya dan dengan iman berpegang teguh pada kebenaran-Nya. 

Soli Deo Gloria!