Senin, 11 September 2023

Bertumbuh Dalam Kesunyian


Ini adalah kisah tentang tumbuhan yang saya pelihara. Di depan kamar saya ada tumbuhan yang “diwariskan” dari penghuni sebelumnya. Dia tidak tahu nama dari tanaman tersebut, apalagi saya. Tapi setiap hari saya selalu menyirami tumbuhan ini. Sampai suatu kali tumbuhan itu semakin tinggi dan cukup mengganggu jalan yang sempit, sehingga saya memutuskan untuk memotongnya. Dalam hati saya, “Suatu kali tumbuh lagi.” Saya hanya menyisakan batang utamanya. Besok harinya, saya tetap siram. Hari ke-2, saya siram lagi. Hari ke-3, saya mulai berpikir, “Apa benar akan tumbuh? Kok gak keliatan ada pertumbuhan seperti daun hijau atau batang baru muncul.” Saya menanyakan orang lain untuk memastikan bahwa tanaman tersebut akan tumbuh. Orang itu bilang bahwa tanaman akan tumbuh tetap siram air saja. Saya pun tetap melakukannya sampai kurang lebih seminggu tidak terlihat apa-apa. Tibalah saya harus ke Semarang, saya sudah tidak memikirkan lagi bagaimana tanaman tersebut. Setelah saya kembali ke Yogya, saya kaget karena melihat ada daun kecil berwarna hijau muncul. Saya senang dan begitu bersyukur. Saya merenungkan beberapa hal:

1. Jangan lelah untuk bertekun dan berharap. Ketekunan tidak sia-sia karena harapan itu ada. Harapan itu ada karena Tuhan itu nyata. Where there is God, there is hope. Rm. 5:3-5, “… karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan. Dan pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita.”

2. Pertumbuhan sejati itu dari dalam ke luar. Selama disiram mungkin belum menghasilkan daun hijau atau batang yang baru tapi tumbuhan itu menyerap semua yang diperlukan bertumbuh. Ia bertumbuh di dalam lalu terpancar ke luar. Yeh. 11:19-20; 36:26-27, “Kamu akan Kuberikan hati yang baru, dan roh yang baru di dalam batinmu … . Roh-Ku akan Kuberikan diam di dalam batinmu dan Aku akan membuat kamu hidup menurut segala ketetapan-Ku dan tetap berpegang pada peraturan-peraturan-Ku dan melakukannya.”

3. Kelihatan mati, tidak berarti mati. Secara fenomena, tumbuhan tersebut kelihatan mati meskipun disiram terus-menerus. Tapi kehidupan itu tidak selalu langsung nampak di luar. Kehidupan sejati dari dalam yang kemudian nampak ke luar. Kehidupan sejati membangun akar yang kuat ke dalam, sampai pada waktunya muncul ke luar dan menghasilkan buah pada waktunya (Mazmur 1:3)

Rabu, 30 Agustus 2023

Hidup yang Tidak Sia-Sia

Bacaan Alkitab: Pengkhotbah 12:13

Akhir kata dari segala yang didengar ialah takutlah akan Allah dan peliharalah perintah-perintah-Nya, karena inilah kewajiban setiap orang.


Kesia-siaan, siapa yang mau? Dalam mitologi Yunani ada kisah menggambarkan kesia-siaan. Sisyphus adalah raja Ephyra (Korintus) yang tamak dan licik. Ia menantang para dewa dan mengikat Kematian (Hades, dewa kematian) sehingga tidak ada manusia yang perlu mati. Ketika dewa kematian terikat, manusia semakin menderita karena yang sakit dan tua tidak dapat mati sehingga mereka menderita terus-menerus. Ketika dewa kematian akhirnya dibebaskan dan tiba waktunya bagi Sisyphus sendiri untuk mati, dia mengarang tipuan yang membuatnya melarikan diri dari dunia bawah. Setelah akhirnya menangkap Sisyphus, para dewa memutuskan bahwa hukumannya akan berlangsung selama-lamanya. Dia harus mendorong batu ke atas gunung; setelah mencapai puncak, batu akan berguling kembali, meninggalkan Sisyphus untuk memulai kembali. Ini yang dia lakukan selama-lamanya. Hukuman Sisyphus adalah melakukan sesuatu yang tidak berguna dan tanpa ada harapan. Hukumannya adalah Kesia-siaan.

Bukankah kita juga tidak ingin hidup sia-sia? Banyak orang tidak mau hidup sia-sia. Tidak mau menjadi Sisyphean. Sebagaimana dinyatakan oleh Peter Kreeft, “Ketakutan terbesar di masa modern, bukanlah ketakutan akan kematian (yang merupakan ketakutan terdalam manusia zaman kuno), atau ketakutan akan dosa atau rasa bersalah atau Neraka (yang merupakan ketakutan terdalam manusia di abad pertengahan), namun ketakutan akan ketidakberartian.”

Kitab Pengkhotbah mungkin tampak seperti buku yang aneh, tetapi ini relevan sampai sekarang. Terlalu banyak dari kita yang mengejar angin, mencari kepuasan dalam pekerjaan, keluarga, dan kesuksesan. Semua hal yang baik, namun semua hal yang pada akhirnya tidak memuaskan. Akan cukup buruk jika kita hanya gelisah, berkelok-kelok sepanjang hidup, dan menjadi pengecut. Kita seringkali telah spiritualisasi kegelisahan dan sikap pengecut kita, membuatnya terasa seperti kesalehan. Kita tidak hanya menjalani kehidupan yang sia-sia; hasrat kita akan Tuhan seringkali tidak lebih dari hasrat untuk memiliki Tuhan supaya melakukan kehendak kita.

Selain, keberdosaan diri (keraguan, ketakutan, kesombongan, egois, dll), dunia berdosa memberikan banyak tantangan bagi kita. Peter Kreeft menyebut beberapa jalan dunia menyembunyikan realita: pengalihan (diversion), propaganda palsu, indifference (pengabaian), pengejaran kebahagiaan (the pursuit of happiness), dan subjektivisme. Ada banyak hal di dunia ini berusaha mengalihkan fokus kita lepas dari Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya (mis. kerja, keluarga, materi, dll). Propaganda palsu seperti ajaran-ajaran seolah benar dan menyenangkan untuk dijalani (mis. tradisi, self-love, kebebasan, agama, toleransi, cinta uang, hedonism, materialisme, dll) – Lihat juga Kol. 2:8; 2 Ptr. 1:16; 2:3. Lalu, dunia membawa kita untuk mengabaikan kebenaran. Seseorang berkata: “ada Tuhan”, tapi respon kita mengantuk dan tidak peduli. Selain itu, kita didorong untuk mengejar kebahagiaan. Hal ini sepertinya tidak salah, namun jadi jebakan untuk membuat kita tidak melihat realita secara utuh dan kritis. Kalau Tuhan dan ajaran alkitab tidak membuat kita bahagia (menurut pikiran dan standar dunia), maka kita mencari kebahagiaan apa yang diberikan oleh dunia. Terakhir, subjektivisme yang menekankan bahwa yang penting adalah “kebenaran menurutku.”

Kita mendapat tekanan dari dalam diri dan dari dunia. Untuk dapat memaknai hidup kita, apa yang harus kita lakukan?

Tuhan tidak menempatkan kita dalam labirin, mematikan lampu, dan memberi tahu kita, “Keluar dan semoga berhasil.” Di satu sisi, kita percaya pada kehendak Tuhan sebagai rencana kedaulatan-Nya untuk masa depan kita. Dalam arti lain, kita menaati kehendak Tuhan, firman-Nya yang baik untuk hidup kita.

Kehendak Tuhan untuk hidup kita lebih sederhana, lebih sulit, dan lebih mudah dari itu. Lebih sederhana, karena tidak ada rahasia yang harus kita temukan. Lebih sulit, karena menyangkal diri sendiri, hidup untuk orang lain, dan menaati Tuhan lebih sulit daripada mengambil pekerjaan baru dan banyak hal-hal sehari-hari dalam hidup kita. Lebih mudah, karena Tuhan berdaulat, Ia memerintahkan apa yang Dia kehendaki dan mengabulkan apa yang Dia perintahkan.

Dengan kata lain, Tuhan memberi anak-anak-Nya keinginan untuk berjalan di jalan-Nya—bukan dengan mengungkapkan serangkaian langkah berikutnya yang terselubung dalam bayang-bayang, tetapi dengan memberi kita hati untuk menyenangi hukum-Nya.

Jadi akhir dari masalahnya adalah: Hiduplah untuk Tuhan. Taati Firman-Nya. Pikirkan orang lain sebelum diri kita sendiri. Hiduplah kudus. Cintai Yesus. Dan saat kita melakukan hal-hal ini, lakukan apa pun yang kita suka, dengan siapa pun yang kita suka, di mana pun kita suka, dan kita akan berjalan dalam kehendak Tuhan. Maka, hidup kita tidaklah sia-sia.

Senin, 21 Agustus 2023

Apa yang Baik bagi Manusia? (2)

Bacaan Alkitab: Pengkhotbah 7:1-14

Qohelet membandingkan hal-hal baik dalam hidup dengan hal-hal yang lebih baik. Pertama, lebih baik nama harum daripada minyak yang mahal (ayat 1a). “Nama harum” (ṭȏb shem) lebih baik daripada “minyak mahal” (shemen ṭȏb) yang mewakili kekayaan yang luar biasa dan kesenangan (Kid. 1:3). Minyak yang mahal terdaftar di antara harta Raja Hizkia (2 Raj. 20:13; Yes. 39:2) dan merupakan barang mewah yang sangat diinginkan (Mzm. 133:2-3). Dalam hikmat tradisional, nama harum mengacu pada reputasi yang baik (Ams. 22:1). Mengapa reputasi yang baik itu penting? Karena reputasi-lah yang akan menemani seseorang sampai kematiannya. Nama harum adalah semacam cara untuk mencapai keabadian (Ayb. 18:17; Ams. 10:7; Yes. 56:5). Kematian adalah fakta yang tak bisa disangkali dan tak dapat dihindari namun dengan reputasi yang baik, kematian itu seolah dikalahkan karena reputasi baik akan dikenang sepanjang masa. Namun, sekalipun akan dingat sangat lama, nama baik juga suatu kali akan dilupakan.

Kedua, lebih baik hari kematian daripada hari kelahiran (ayat 1b). Pada umumnya dalam kuno maupun sekarang, hari lahir selalu dianggap sebagai waktu bersukacita. Itu sangat dinantikan sebagai hari berkat (Rut 4:13-17, secara negatif dinyatakan dalam Yer. 20:14-15; Ayb. 3:3-26). Qohelet tidak mengatakan bahwa hari kematian secara harfiah lebih baik daripada hari kelahiran. Sebaliknya, dia hanya mengambil kata-kata pertama ("nama harum lebih baik daripada minyak yang mahal”) ke kesimpulan logisnya, jika sebuah nama benar-benar lebih baik daripada harta benda, maka hari kematian (3:18-21; 4:2-4; 6:1-6) lebih baik daripada hari kelahiran. Jika kematian adalah satu-satunya yang pasti menanti kita, lalu apa arti hidup dan nama yang harum? Semuanya penuh ketidakpastian sedangkan yang pasti adalah hari kematian maka itu hari kematian seseorang lebih baik daripada hari kelahiran. Hari kematian dipandang baik karena memberi kepastian. Namun “bersuka” pada hari kematian merupakan suatu yang absurd.

Ketiga, lebih baik rumah duka daripada rumah pesta (ayat 2). Jika hari kematian lebih baik daripada hari kelahiran maka rumah duka lebih baik daripada rumah pesta. Secara umum, rumah duka mengacu pada pemakaman, rumah pesta mengacu pada pernikahan. Zaman kuno bukan berarti zaman suram (tanpa sukacita dan pesta). Ada banyak catatan menyatakan masyarakat kuno sering mengadakan pesta dengan minuman dan makanan berlebihan. Apa artinya pergi ke rumah duka lebih baik? Qohelet mengajak kita menghadapi dan menerima kenyataan kematian bahwa manusia fana daripada terjebak dalam euforia perayaan pernikahan. Menghadapi kenyataan kematian akan mendorong seseorang untuk hidup dalam pengakuan akan kefanaan hidup, sedangkan seseorang mungkin tertipu oleh kemeriahan pernikahan dengan berpikir bahwa kegembiraan saat ini akan berlangsung selamanya.

Keempat, lebih baik bersedih daripada tertawa (ayat 3). Istilah bersedih dari ibraninya ka`as (sorrow) secara khusus dipakai untuk merujuk kesedihan relasional (1 Sam. 1:6, 16; Ams. 17:25; Ams. 21:19). Kata ini juga digunakan untuk pengalaman kesakitan dan kesengsaraan secara umum, baik yang dipicu oleh manusia atau dianggap berasal dari Tuhan (Ul. 32:27; Mzm. 6:8; 31:10; 85:5; 1 Raj. 15:30; 2 Raj. 23:26). Dalam tulisan hikmat, istilah ini digunakan untuk kesengsaraan orang-orang bodoh (Ams. 12:16). Arti ayat 3 ini bisa dibandingkan dengan Ams. 14:13. Hidup ini penuh dengan kontradiksi. Hidup itu “paket lengkap”: tidak semuanya baik, juga tidak semuanya buruk. Bahkan di saat-saat kebahagiaan, pikiran manusia terus-menerus menyadari keterbatasan kegembiraan dan fakta bahwa kesedihan selalu menjadi ancaman bagi kebahagiaan manusia. Jadi orang berhikmat hidup dalam kesadaran akan kenyataan kematian dan tragedi lainnya, sedangkan orang bodoh hanya sadar akan kegembiraan.

Kelima, lebih baik muka muram daripada hati lega (ayat 4). Ini terkait dengan ungkapan dalam ayat 1-3. Diringkas demikian: kesedihan lebih baik daripada kegembiraan, muka muram sama dengan kebahagiaan hati, hati orang bijak ada di rumah duka. Penekanan bahwa realitas kehidupan itu penuh dengan kontradiksi. Tidak ada yang bisa mereduksi realitas hidup dan mati, atau kebahagiaan dan kesedihan, menjadi serangkaian proposisi. Realitas kehidupan terlalu kontradiktif bagi seseorang yang terperangkap dalam nilai-nilai yang seringkali idealis dan penuh euforia semu.

Keenam, lebih baik jadi orang berhikmat daripada jadi orang bodoh (ayat 5-7). Lebih baik hardikan orang berhikmat daripada nyanyian orang bodoh (ayat 5). Ini menyatakan ada manfaat yang jelas dari disiplin/didikan, meskipun menyakitkan (Ams. 1:23; 3:11; 6:23; 13:24; 22:15; 27:14; 28:23; Ayb. 5: 17-18). Orang bijak menyadari hal ini, sedangkan orang bodoh justru memberi pujian kosong berlebihan (Ams. 26:28; 29:5). Qohelet memberikan gambaran tentang pujian kosong dari orang bodoh dalam ayat 6 seperti duri terbakar di bawah kuali. Masyarakat Timur Dekat Kuno menggunakan duri sebagai bahan bakar karena duri kering dan mudah terbakar (Nah. 1:10; Mzm. 58:9). Namun duri itu menimbulkan suara keras tak perlu menurut fungsinya dan cepat terbakar habis. Ini berbeda dengan bahan bakar dari kayu atau batu bara. Nyanyian/kegembiraan orang bodoh seperti keributan dari duri yang terbakar yang malah menjengkelkan dan tidak penting. Dengan demikian orang bijak dapat dipercaya daripada orang bodoh sekalipun kata-kata orang bijak itu menyakitkan.

Ketujuh, “Lebih baik akhir suatu hal daripada awalnya” kemudian dilanjutkan “Lebih baik panjang sabar daripada tinggi hati (ayat 8).” Kata Ibrani untuk “akhir” dan “awal” muncul bersamaan beberapa kali dalam Alkitab, dan dalam setiap kasus dibuat kontras antara situasi sebelumnya dan situasi akhirnya (Ul. 11:12; Yes. 46:10; Ayb. 8:7; 42:12). Jika “ṭȏb-sayings” secara tematik saling terkait dan akhirnya memuncak di ayat 8 sebagai konfirmasi dari ayat 5-6. Hasil hardikan/didikan (akhir) lebih penting daripada sakit hati saat dihardik (awal). Kurang penting siapa yang bijak atau siapa yang bodoh pada awalnya, karena yang lebih penting adalah hasil akhir suatu tindakan. Orang bijak pun dapat menjadi bodoh (ayat 6-7). Oleh karena itu setiap orang harus sabar dan rendah hati menanti “akhir” segala sesuatu untuk dapat menilai lebih baik.

Renungan

Pada akhirnya, segala terjadi dalam hidup dalam kedaulatan Tuhan Allah, bukan berdasarkan kemampuan usaha dan hikmat manusia. Bdk. 1:15 - Qohelet mengakui bahwa dunia ini tidak sempurna, tetapi dia tidak berpikir bahwa siapa pun dapat meluruskan apa yang telah Tuhan buat “bengkok.” “Pekerjaan Allah” yang misterius inilah yang membuat pembaca dipanggil untuk “melihat”, mengenali realitas apa adanya (ayat 13). Kesimpulannya bahwa orang hanya dapat menerima apa ada, menerima kebaikan ketika dapat diakses dan menghadapi kesulitan sebagai realita kehidupan (ayat 14).

Realita kehidupan itu ada yang baik bersama dengan yang buruk. Memang, Tuhan "telah menjadikan" apa yang baik, hanya saja di luar kemampuan manusia untuk mengetahui kapan itu akan datang. Manusia hanya bisa "melihat" dan "berada dalam kebaikan" ketika ada yang baik, dan "melihat" bahwa baik dan buruk itu dalam kedaulatan Allah. Pekerjaan Tuhan juga mencakup hari-hari baik dan hari-hari buruk (7:14). Seseorang harus mensyukuri hari-hari baik ketika mereka datang karena masa depan tidak pasti.

Senin, 14 Agustus 2023

Apa yang Baik bagi Manusia? (1)

Bacaan Alkitab:  Pengkhotbah 7:1-14

Pada Januari 1997, seorang yachtsman Inggris Tony Bullimore (15 Jan. 1939 – 31 Jul. 2018), saat itu berumur 58 tahun, berlayar sendirian jauh di Samudra Selatan dalam rangka mengikuti 1996–97 Vendée Globe single-handed around-the-world race. Sebuah badai mengamuk. Ombak yang mencapai ketinggian gedung berlantai lima (25-35 meter), menerjangnya dengan suara seperti guntur yang menderu. Saat kapal pesiarnya jatuh ke muka ombak, kapal itu menabrak sesuatu lalu terendam air dan terbalik. Dua belas kali Bullimore meninggalkan kokpit dalam upaya sia-sia untuk melepaskan rakit penyelamatnya. Bertemu tanpa hasil, dia berlindung di kabin kecilnya. Duduk di dalam kegelapan bertinta dingin Bullimore memiliki sedikit ransum - beberapa cokelat dan alat untuk membuat air tawar dari laut asin. Jari-jarinya menjadi beku dan Bullimore berpikir bahwa dia akan mati. Peluang untuk diselamatkan tampaknya sangat kecil.

Empat empat hari yang panjang Tony selamat (10 Januari 1997), sampai Rabu malam ketika sebuah pesawat RAFF menemukannya dan menjatuhkan probe elektronik di sebelah kapal pesiarnya. Bullimore bisa mendengar ping samar, dan dengan harapan yang naik di hatinya, mulai mengetuk lambung kapal untuk berkomunikasi dengan siapa pun yang mendengarkan bahwa dia masih hidup. Pagi-pagi keesokan harinya HMAS Adelaide mendekat, dan beberapa pelaut dikirim untuk menggedor lambung kapal. Tony mendengar dentuman itu, menarik napas dalam-dalam, dan berenang keluar melalui reruntuhan kapal pesiarnya untuk menemui mereka.

Beberapa waktu sesudah peristiwa itu. Ia diwawancara. Bullimore berkata, “Ketika saya melihat ke Adelaide, saya hanya bisa mendapatkan ekstasi luar biasa yang saya lihat dalam hidup, saya benar-benar melihat gambaran tentang apa kehidupan itu. Itu adalah surga, surga mutlak. Saya benar-benar tidak pernah berpikir saya akan mencapai sejauh itu. Saya mulai melihat kembali kehidupan saya dan mulai berpikir, 'Saya memiliki kehidupan yang baik, saya telah melakukan sebagian besar hal yang ingin saya lakukan' Saya pikir jika saya memilih kata-kata untuk menggambarkannya, itu akan menjadi keajaiban. Keajaiban mutlak.” – Kehidupan itu keajaiban mutlak.

Berkaca pada pengalaman itu, Bullimore mengatakan kepada wartawan, “…Sekarang saya menjadi agak tua, ada satu hal, dan saya tidak keberatan memberi tahu dunia, saya telah menjadi lebih manusiawi. Dalam enam hari terakhir ini saya adalah orang yang berbeda. Saya tidak akan kasar kepada orang-orang, bukan seperti itu, tetapi saya akan menjadi lebih dari seorang pria terhormat dan, sama halnya, saya akan lebih banyak mendengarkan orang. Dan seperti yang dikatakan teman lama saya, David Matherson, ketika dia mengalami serangan jantung – dan saya tidak pernah mengalami serangan jantung, saya memiliki jantung yang kuat, saya harap saya masih memilikinya – dia mengatakan itu ketika dia mendapat di atasnya dan membuka jendelanya di kamar tidurnya dan dia mengintip keluar dan mencium udara segar dan semua yang lain, dia berkata: 'Ya Tuhan rasanya seperti dilahirkan kembali, hidup itu hebat!' Nah itulah yang saya rasakan sekarang, seperti dilahirkan kembali.”

Titik terendahnya dalam kehidupan justru menjadi titik awal melihat harapan dan makna hidup. Inilah paradoks dalam kehidupan.

Demikian pula yang diajarkan dalam Pengkhotbah 7:1-14. Bagian ini merupakan lanjutan dari pertanyaan refleksi Qohelet “Apa yang baik bagi manusia sepanjang waktu yang pendek dari hidupnya yang sia-sia?” (Pkh. 6:12). Pkh. 7:1-8:17 didominasi tentang “ṭȏb-sayings” (apa yang baik bagi manusia yang fana). Beberapa arti harfiah dari ṭȏb yakni good, pleasant, agreeable, excellent, valuable, happy, prosperous. Pkh. 7:1-12 merupakan kumpulan pepatah yang disimpulkan dalam Pkh. 7:13–14. Pepatah ini menggunakan gaya peribahasa “lebih baik daripada” yang menekankan bahwa dalam hidup terdapat hal-hal yang lebih baik daripada hal-hal yang lainnya. Ini berarti setiap hal tidak mempunyai nilai yang sama. Menurut Qohelet, kehidupan yang baik itu mengetahui dan menerima bahwa memang ada hal-hal yang lebih baik daripada yang lain dalam kehidupan yang fana ini (mis. 2:13, 24-26; 3:12-13, 22; 4:6, 9, 13; 6:9). Namun manusia yang terbatas sulit mengetahui secara sempurna mana yang baik dan buruk. Inilah bagian misteri dari pekerjaan Allah.

Selasa, 01 Agustus 2023

Menikah atau Tidak?


Menikah, siapa yang tidak mau? Banyak orang ingin menikah, tapi tidak semua menikah. Zaman sekarang ini banyak juga yang tidak ingin menikah. Dari yang tidak ingin menikah, ada juga tetap tidak menikah namun ada juga kemudian menikah. Menikah memang gak mudah, tapi apakah memang ada yang mudah dalam hidup di bawah matahari? Hampir semuanya sulit. Pada dasarnya sulit untuk menyimpulkan bahwa menikah lebih sulit dibandingkan selibat atau sebaliknya. Karena keduanya memiliki kesulitan masing-masing. Kesulitan ini lumrah karena dunia telah berdosa yang konsekuensinya mencakup setiap aspek kehidupan. Dosa membuat hal-hal baik yang dapat dilakukan oleh manusia seolah menjadi “kutuk” dalam ketidakpastian hidup. Menikah menjadi seperti perjudian. Kalau dapat pasangan yang baik, belum tentu menjadi keluarga yang bahagia. Kalau dapat pasangan yang tidak baik, bisa saja menikmati kebahagiaan sebagai keluarga. Tentu kebahagiaan yang relatif dalam persepsi dan penilaian masing-masing orang. Pasangan suami-istri yang berpikir bahwa mereka pasangan yang ideal, belum tentu ideal menurut orang lain demikian sebaliknya. Dalam dosa, pernikahan seringkali malah menjadi kutuk dan penuh kesedihan. Oleh karena itu, dalam zaman sekarang angka “orang tidak ingin menikah” semakin tinggi, dengan berbagai alasan. 

Apakah itu sepenuhnya realita tentang pernikahan? Suatu lembaga yang berisiko tinggi, penuh kepahitan dan kegagalan? Tidak. Dosa memang memberikan sisi realita yang demikian. Namun kisah kehidupan tidak hanya itu. Karena kemurahan hati Tuhan, maka Ia menyatakan anugerah-Nya kepada ciptaan-Nya. Inilah anugerah umum. Anugerah yang diberikan sebelum kita mengharapkan dan memintanya. Anugerah yang memberi harapan dan kesukaan bagi manusia berdosa bahwa hidup itu layak untuk dijalani dan dinikmati. Anugerah yang hadir seperti hembusan angin sejuk di tengah panas terik kehidupan. Anugerah yang tidak dapat disangkali oleh setiap orang meskipun mulutnya bungkam untuk bersyukur kepada Allah Sang Pemberi Hidup. Dalam anugerah umum, bahkan orang yang tidak percaya kepada Tuhan dapat menikah dan membangun keluarga yang bahagia secara fenomena. Dalam anugerah umum, orang yang berdosa dimampukan menikmati kemurahan Allah secara sadar atau pun tidak. Sebagaimana dikatakan dalam Mat. 5:45, Dia adalah Tuhan “yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar.”

Tapi apakah anugerah umum cukup membuat manusia dalam dosa menjalani hidup dalam segala kelimpahannya? Tidak. Anugerah umum adalah berkat Tuhan secara umum kepada ciptaan. Namun kelimpahan hidup hanya dapat dialami dalam Tuhan Yesus Kristus. Dia mengatakan, “Aku datang, supaya mereka mempunyai  hidup dan mempunyainya dalam segala kelimpahan” (Yoh. 10:10). Siapa mereka? Setiap orang yang percaya kepada-Nya. Mereka adalah domba-domba Kristus. Dia adalah Gembala yang baik yang bukan hanya memberikan makanan yang baik bagi domba-domba-Nya, tapi bahkan rela memberikan Diri-Nya untuk menebus domba-domba-Nya. Supaya mereka yang percaya dalam nama-Nya memperoleh hidup dalam segala kelimpahan. Apakah hidup dalam segala kelimpahan itu? Hidup dalam shalom Kristus. Hidup dalam damai sejahtera Kristus. Hidup yang kedamaiannya tidak tergantung pada materi atau pun hal-hal sementara lainnya, tapi tergantung pada Sang Kekal, Tuhan Yesus Kristus. Dia yang menopang seluruh alam semesta, tidak sanggupkah Ia menopang hidup kita? Firman-Nya, “Janganlah takut, hai kamu kawanan kecil! Karena Bapamu telah berkenan memberikan kamu Kerajaan itu” (Luk. 12:32).

Minggu, 28 Mei 2023

Sicut Cervus (Mazmur 42:2)


Sicut cervus adalah motet untuk empat suara oleh Giovanni Pierluigi da Palestrina (c. 1525 – 2 Feb. 1594). Teks-nya bersumber dari Mazmur 42 dalam versi Latin dari Psalterium Romanum. Bagian tengahnya adalah "Sicut cervus desiderat ad fontes" (Seperti rusa merindukan sumber air) diikuti dengan bagian kedua "Sitivit anima mea" (Jiwaku haus). Dalam liturgi gereja kala itu, Mazmur 42:1-3 merupakan sebuah ayat alkitab yang digunakan untuk peneguhan baptisan. Namun dalam konteks lebih luas, karya ini dapat dinyanyikan dalam ibadah rutin hari Minggu. 

Sicut cervus desiderat ad fontes aquarum,

(Seperti rusa yang merindukan sumber air,)

ita desiderat anima mea ad te Deus.

(demikian merindu jiwaku pada Engkau, ya Allah.)

Ini merupakan salah satu motets paling populer dari Palestrina, bahkan dianggap sebagai model polifoni Renaisans yang indah mengungkapkan kerinduan spiritual. Motet ditulis untuk empat suara, soprano, alto, tenor, dan bass. Seluruhnya diatur dalam polifoni imitatif, dengan memperhatikan makna teks dalam lukisan kata (word-painting) yang halus. Polifoni adalah jenis komposisi musik yang disusun dengan banyak suara yang seringkali per suara dengan entri berbeda-beda. Untuk kata "desiderat" yang mengungkapkan kerinduan, langkahnya lebih cepat, dan melodi meninggi, mencapai puncaknya pada kata "fontes" (sumber air, sungai, air, air mancur). Dalam kelanjutan dari bagian pertama, "ita desiderat anima mea ad te, Deus" (Demikianlah merindu jiwaku pada-Mu, Tuhan), keinginan manusia yang diungkapkan subjek orang pertama diterjemahkan dalam peniruan yang lebih padat dan dengan disonansi yang lebih intens. Motet menyatakan ekspresi "kerinduan spiritual yang tenang namun kuat." 

Gaya motets ini mewakili polifoni imitatif dalam keadaannya yang paling ideal, dengan bentuk melodi (struktur frase) yang seimbang, disonansi yang disiapkan dan diselesaikan secara konsisten, dan simetri secara struktural. Secara khusus, melodi dicirikan oleh interval melodi yang lebar, dengan gerakan bertahap ke arah yang berlawanan mengikuti lompatan sepertiga atau keempat; ritme berada dalam rentang nilai durasi yang sempit, dengan dominasi not setengah dan seperempat (dalam transkripsi masa kini); dan harmoni diatur secara logis, dengan membangun ketegangan diikuti dengan titik temu resolusi yang tak terelakkan pada beberapa bagian dalam komposisinya.

Untuk penyanyi membutuhkan fokus yang hati-hati, paling tidak untuk membawakan baris yang biasanya melibatkan (a) perbedaan yang halus bahkan ketika mereka tampaknya mirip dengan yang lain, (b) entri dengan waktu yang unik dan akhir frase yang berbeda-beda, dan (c) ritme bebas yang berulang kali memotong garis birama namun dengan tempo yang stabil.

Frasa yang sebanding dengan kapasitas pernapasan penyanyi meningkatkan kemungkinan bernyanyi dengan baik. Setiap garis menonjol dalam tekstur. "Kepemilikan" terhadap garis melodi per suara meningkat. Di atas segalanya, ada kebutuhan yang lebih besar akan kepekaan terhadap bagian satu sama lain, kesadaran akan setiap hubungan, kemampuan untuk mendengar garis melodi suara yang berbeda. Penyanyi dapat dengan lebih mudah mempertimbangkan apa yang dilakukan oleh bagian suara lainnya, di mana dia bergabung, bernyanyi atau berpisah dengannya di berbagai titik, bagaimana rasanya bernyanyi sekarang dengan orang X, kemudian dengan orang Y. Ada nuasa kesadaran sosial yang tinggi, bergerak dari teknik ke semangat dan etos. 

Sicut Cervus membangun hasrat surgawi yang murni dengan semangat yang tenang yaitu menginginkan Tuhan lebih daripada apa pun. Dalam komposisi ini keragaman disatukan oleh kerinduan yang sama akan Allah. Kiranya kerinduan akan Tuhan Allah semakin menderu dengan kuat dalam diri setiap kita yang percaya kepada-Nya.

Sumber Bacaan:
Dennis Shrock. 2009. Choral Repertoire.
Jonathan Boswell. 2018. Palestrina for All: Unwrapping, Singing, Celebrating. CreateSpace Independent Publishing Platform.

https://en.wikipedia.org/wiki/Sicut_cervus_(Palestrina)
https://en.wikipedia.org/wiki/Giovanni_Pierluigi_da_Palestrina

Jumat, 07 April 2023

Tercurah Darah Tuhanku

William Cowper (1731-1800) adalah seorang penyair dan penulis himne dari abad ke-18. Hidupnya adalah serangkaian peristiwa yang tidak menguntungkan, dengan keputusasaan menjadi tema hidupnya. Dia dibesarkan di 'rumah Kristen', ayahnya bekerja di gereja, meskipun dia belum mengalami pertobatan sejati dalam Yesus Kristus sampai dia berusia 32 tahun. Dia tahu tentang Tuhan tetapi tidak mengenal Tuhan. Ibunya meninggal ketika dia masih kecil, kemudian hari ayahnya meninggalkan dia sehingga pada dasarnya dia kehilangan kedua orang tuanya sekaligus. Dia dikirim ke sekolah berasrama di mana dia diintimidasi oleh seorang anak laki-laki yang lebih tua. Mengikuti sekolah berasrama dia magang untuk menjadi pengacara tetapi dia tidak pernah benar-benar bekerja sebagai pengacara.

Pada tahap inilah dalam hidupnya, dia tenggelam dalam depresi pertamanya, yang pertama dari empat depresi. Dia menyatakan bahwa rasanya dia tidak memiliki arti di dunia. Ketenangan untuk Cowper ditemukan dalam membaca puisi orang lain dan tulisannya sendiri. 

Pada suatu kali, tekanan dan stres membawanya ke depresi kedua, dia mencoba bunuh diri tiga kali dan ditempatkan di rumah sakit jiwa. Dokter yang merawat Cowper di rumah sakit jiwa adalah seorang yang mencintai Tuhan dan Injil. Enam bulan setelah Cowper tinggal, dokter itu meninggalkan sebuah Alkitab tergeletak di bangku untuk ditemukan Cowper. Saat membaca tentang Lazarus yang dibangkitkan dari kematian, Cowper “melihat begitu banyak kebajikan, belas kasihan, kebaikan, dan simpati dengan orang-orang yang sengsara” dan menyadari bahwa kasih dan belas kasihan yang Yesus berikan untuk Lazarus juga diberikan untuknya – “maka hatiku dilembutkan." Inilah titik di mana Cowper mengabdikan hidupnya untuk pekerjaan Tuhan.

Semakin dia mengalami kasih Tuhan Yesus, dia sadar bahwa dia tidak sendiri. Dia dituntun untuk membuka Alkitab, dan dengan tekun membaca ayat-ayat Alkitab seperti Roma 3:25. Dia menulis: "Segera saya menerima kekuatan untuk mempercayainya, dan sinar penuh dari matahari kebenaran menyinari saya… Saya hanya bisa melihat ke Surga dalam kegentaran yang sunyi, diliputi oleh cinta dan keajaiban." 

Setelah sungguh-sungguh bertobat, pergumulan Cowper dengan depresi masih berlanjut. Sampai suatu kali dia bertemu John Newton, yang menjadi teman dekat, pendeta, dan anggota dewan. Mereka menulis beberapa himne kristen menjadi berkat bagi banyak orang.

Hidupnya tidak berakhir dengan keceriaan, dia meninggal pada tahun 1800 (69 tahun), tampaknya dalam depresi yang mendalam. Bersama John Newton, mereka menulis lagu “Sangat Besar Anugerah-Mu.” Himne lainnya yaitu “Tercurah Darah Tuhanku” (There Is a Fountain Filled with Blood).

Tercurah darah Tuhanku di bukit Golgota
Yang mau bertobat, ditebus, terhapus dosanya,
Terhapus dosanya, terhapus dosanya.
Yang mau bertobat, ditebus, terhapus dosanya.

Darah-Mu ya Anak Domba, sungguh berkuasa,
Sehingga s’lamat umat-Mu dan suci s’lamanya, 
Dan suci s’lamanya, dan suci s’lamanya
Sehingga s’lamat umat-Mu dan suci s’lamanya.

Sejak kupandang salib-Mu dengan iman teguh,
Kasih-Mulah kupuji t’rus seumur hidupku,
Seumur hidupku, seumur hidupku,
Kasih-Mulah kupuji t’rus seumur hidupku.

Di tengah pergumulannya, saya percaya William Cowper telah bersama dengan Pencipta dan Penebusnya dalam keadaan yang sempurna. Hal ini dinyatakan dalam lagunya "Tercurah Darah Tuhanku" mengungkapkan bagaimana penderitaan Kristus itu begitu dia hayati dalam hidupnya. Tuhan Yesus Kristus menjadi harapan dan pertolongannya di tengah pergumulan depresinya. Ungkapan yang indah. Harapan yang pasti di dalam Tuhan Yesus. Tuhan Yesus adalah Tuhan yang menderita bersama dengan kita. Yesus Kristus menghayati kehidupan manusia melalui penderitaan-Nya. Demikian pula kita, dibentuk semakin serupa Kristus melalui penderitaan yang Tuhan izinkan kita gumulkan. 

Kamis, 02 Februari 2023

Jadi Bijak, Jangan Bodoh (Pengkhotbah 10:5-15)

 

The Fall of Phaeton (c. 1640) oleh Jacob Jordaens

The Fall of Phaeton merupakan lukisan yang terinspirasi dari mitologi Yunani. Jacob Jordaens berusaha menggambarkan kisah tragis karena kebodohan dari Phaeton yang terjatuh dari kereta kuda Apollo, ayahnya. Kisah ini diawali dari pesan-pesan yang didengar Phaeton setiap pagi oleh ibunya, Clymene. Setiap pagi, Clymene mengajak Phaeton melihat terbitnya matahari dan mengatakan bahwa yang membawa matahari berputar itu adalah ayah Phaeton, Apollo. Phaeton kagum dengan ayahnya dan juga dirinya sebagai keturunan salah satu dewa yang sangat hebat. Ia membanggakan diri di hadapan teman-temannya yang akhirnya kesal sehingga meminta bukti dari pernyataan Phaeton. Oleh karena itu, Phaeton menanyatakan ibunya bagaimana ia dapat menemui Apollo. Pada akhirnya, ia pun dapat bertemu dengan ayahnya itu. Apollo mengakui Phaeton sebagai anaknya. Tapi bagi Phaeton pengakuan saja tidak cukup, ia minta bukti dari Apollo dengan mengizinkannya mengendarai kereta kuda untuk membawa matahari sehingga bisa menunjukkan kepada teman-temannya. Dengan berat hati, Apollo mengabulkan permintaan anaknya tapi dengan persiapan yang sungguh-sungguh. Alih-alih mendengarkan pesan-pesan Apollo, Ia langsung naik kereta kuda dan membawa matahari. Pada awalnya berjalan baik, lalu ia menjadi sombong mau menunjukkan kepada teman-temannya dengan mendekati bumi. Ketika matahari mendekati bumi maka bumi menjadi panas terik dan terbakar sehingga banyak orang tersiksa, binatang, tumbuhan, dan semuanya menderita. Phaeton cepat-cepat menjauh dari bumi tapi ternyata terlalu jauh sehingga bumi menjadi dingin. Para rakyat pun berseru kepada Zeus karena kesusahan ini. Zeus melihat Phaeton lalu menghukum Phaeton sehingga jatuh dari kereta dan mati.

Mitos bukanlah kisah nyata tapi kisah bijak untuk mengajarkan sesuatu kepada pendengarnya. Dalam kisah kejatuhan Phaeton, ini menyatakan bahwa tindakan bodoh dan sombong hanya akan membuahkan kerugian bagi orang lain dan bahkan kematian bagi diri sendiri. Inilah juga yang menjadi salah satu pesan Pengkhotbah 10:5-15 bahwa menjadi bijak lebih baik daripada menjadi bodoh di dalam dunia yang sungsang ini. 

Dalam ayat 5-7, Pengkhotbah menyatakan realitas dunia yang sungsang secara makro dimana terdapat jungkir balik dalam hal kekuasaan dan politik. Yang berkuasa bukanlah orang bijak dan yang bijak tidak mempunyai posisi dan kuasa secara sosial-ekonomi. Hal ini dapat kita lihat terjadi dalam kehidupan masyarakat kita sampai saat ini. Mengapa? Karena dosa. Dosa membuat setiap sistem kerja dunia menjadi tercemar dan rusak. Lebih rinci lagi, Craig G. Bartholomew menyatakan ini adalah dosa kelalaian atau kekhilafan (sin of inadvertence). Dosa yang tidak disengaja (bdk. Im. 5:18) namun nyata dan sama seriusnya dengan dosa yang disengaja. Dosa ini sama-sama perlu penebusan Kristus. 

Dalam ayat 8-11, Pengkhotbah menyatakan dunia yang sungsang secara mikro di mana hal-hal sehari-hari juga membahayakan dan tidak dapat diprediksi. Ia mengamati kegiatan sehari-hari seperti orang-orang yang bekerja menggunakan peralatan tajam (ay. 9-10) yang dapat terluka dari peralatan itu sekalipun orang itu seorang ahli. Seseorang ahli dalam membuat jebakan untuk berburu dapat saja terjebak oleh jebakannya sendiri (ay. 8, bdk. Mzm. 7:16). Selain dapat terluka atau kerugian dari peralatan yang digunakan atau jebakannya sendiri, seseorang mungkin saja mendapat kerugian atau kecelakaan dari hal-hal lain seperti ular yang bersembunyi di celah-celah yang kemudian menyerang pekerja itu (ay. 8). 

Kecelakaan dapat terjadi di mana saja, kapan saja, dan kepada siapa saja baik secara makro maupun mikro. Realitas kehidupan menyatakan bahwa peristiwa seringkali terjadi begitu saja tanpa dapat dijelaskan, tanpa bisa diantisipasi, dan tanpa tahu solusi yang tepat. Hal-hal buruk dapat terjadi kepada siapa pun termasuk seorang ahli atau moralitas baik tanpa bisa diprediksi. 

Lalu bagaimana kita dapat hidup di dunia yang sungsang ini? Tips dari Pengkhotbah: Jadilah bijak, bukan bodoh (ay. 12-15). Pengkhotbah membandingkan antara orang bijak dan bodoh. Orang bodoh itu (1) ayat 12, mulutmu harimaumu, (2) ayat 13, perkataan bodoh dan bebal yang mencelakakan, (3) ayat 14, banyak bicara tanpa tahu apa-apa (tong kosong nyaring bunyinya), (4) orang yang memberi nasihat tentang kota, tapi tidak tahu jalan ke Kota. Sedangkan orang bijak (bdk. Ams. 10:19; 17:27) itu (1) ayat 12, kata-katanya menarik, membangun (gracious), dan menginspirasi, (2) ayat 13, kata-kata hikmat dan menguntungkan atau meringankan kecelakaan, (3) ayat 14, sedikit bicara tapi tahu bicara apa, (4) meringankan kesusahan karena ada sedikit tahu jalan ke kota. 

Ia menyimpulkan bijak lebih baik daripada bodoh. Memang menjadi bijak tidak menghilangkan kesusahan hidup, tapi dapat meringankan kesusahan yang didapat. Hikmat membantu kita untuk meringankan risiko yang mungkin kita terima dalam menjalani kehidupan di dunia yang sungsang.