Salah satu persoalan dalam gereja yaitu knowledge dan piety,
antara culture dan
Christianity. Tegangan ini muncul karena adanya orang-orang yang terus
membangun dasar kekristenan yang kuat yang bisa disebut sebagai “the scientific or academic
tendency”. Di sisi yang lain, orang-orang yang menekankan pada practical tendency.
Biasanya yang praktikal ini menekankan kesederhaan injil. Dunia adalah dunia
berdosa, kita adalah manusia berdosa. Injil adalah jawaban dan jalan keluar
satu-satunya. Susah sekali menemukan titik temu antara tegangan ini. Diantara
tegangan ini pula ada tegangan antara kekristenan dan kebudayaan.
Pendidikan secara umum menempatkan agama
dan kebudayaan secara terpisah. Bahkan semakin terpisah dipandang semakin baik.
Kurang lebih 5-6 hari dalam seminggu kita belajar mengenai pengetahuan dimana
studi teologi menjadi berkurang dan tidak dipandang penting. Machen mengatakan
itu seperti : “We studied natural science
without considering its bearing or lack of bearing upon natural theology or
upon revelation. We studied Greek without opening the New Testament….” Agama dilihat sebagai suatu subjek
yang berhubungan dengan emosi dan kehendak saja, tanpa intelek kepada
pengetahuan lainnya.
Di sisi lain, seminari mempelajari alkitab
seperti mempelajari natural science dan sejarah. Kita belajar alkitab
bukan lagi semata-mata karena memiliki kerinduan pengembangan akan moral dan
kerohanian saja tapi juga untuk tahu. Jadi sudah terpengaruh oleh cara berpikir
dan semangat scientific. Hubungan
antara knowledge dan piety, culture
dan Christianity menjadi
sulit diselesaikan.
Ada beberapa solusi yang ditawarkan oleh
Machen:
(1) Christianity may be subordinated to culture. Posisi ini merupakan posisi mayoritas dari
gereja-gereja. Kekristenan merupakan suatu human product dan bagian dari
kebudayaan manusia. Tapi posisi ini akan kesulitan menyatakan bahwa kekristenan
merupakan pewahyuan dari Tuhan Allah. Akibatnya yang terjadi adalah kebudayaan
menghancurkan dan mendominasi kekristenan. Terjadi sinkretisme dimana sudah
merubah dan mengkompromikan wahyu Allah.
(2) Christianity is the opposite extreme of culture (seeks
to destroy culture). Ini mungkin lebih baik daripada
sebelumnya. Tidak terlalu melihat kemanusiaan dan kebudayaan secara optimistic (dan deification). Karena
dunia ini terlalu jahat dan berdosa sehingga harus ditinggalkan karena tidak
bisa lagi diselamatkan. Keselamatan merupakan anugerah pemberian Allah akan
hidup yang baru. Kita harus meninggalkan hidup yang lama duniawi dan berdosa
(mundane life). Sehingga kekristenan seharusnya menghancurkan atau meninggalkan
segala kebudayan yang ada. Karena kebudayaan dilihat sebagai suatu ikatan hidup
duniawi. Mereka mengakui bahwa kekristenan memang bagian dari kebudayaan. Tapi
mereka menolak necessary evil yang ada di kebudayaan. Walaupun ada sisi benar
dalam hal ini, tapi faktanya kita tidak bisa begitu saja melepaskan kebudayaan.
Selain itu, di alkitab juga ada bagian-bagian dimana memuji dan menikmati
keindahan alam ciptaan tanpa menyangkali keberdosaan dunia ciptaan.
(3) Christianity consecration/cultivate culture. Daripada kita menghancurkan kebudayaan,
mari kita membudidayakannya dan mengembangkannya dengan antusias untuk
kemuliaan Tuhan. Kekristenan bukan hanya menyerap dan meliputi segala bangsa
tapi juga segala pemikiran manusia. Kebudayaan harus dikritisi namun di sisi
lain juga bisa dipakai untuk memuliakan Tuhan. ini merupakan posisi yang tepat
sebagaimana yang dinyatakan dalam alkitab.
Ada beberapa keberatan:
(1) Mungkinkah kekristenan akan menghancurkan kebudayaan?
Bukankah seni dan pengetahuan harus independen supaya dapat berkembang? Jawabannya tergantung pada sejauhmana
kebergantungan satu sama lain. Ketika bergantung pada otoritas manusia, maka
akan terjadi sesuatu yang fatal. Tapi ketika kebergantungannya kepada otoritas
Tuhan maka akan berbeda. Justru ketika tunduk pada otoritas Tuhan, maka segala
hal menjadi terangkat dan berkembang sebagaimana seharusnya. Karena Tuhan Allah
adalah Pencipta segala sesuatu maka Dia bisa dengan tepat membawa ke arah mana
kebudayaan manusia.
(2) Mungkinkah kebudayan menghancurkan kekristenan? Tidak
mudah kekristenan tetap bertahan di tengah-tengah kebudayaan dunia. Memang mungkin lebih mudah bagi kita menjadi Kristen dengan
menjauhi segala yang ada di dunia. Tapi itu merupakan suatu tindakan yang
konyol. Itu seperti membiarkan musuh kita menguasai medan pertempuran. Ada
orang Kristen namun kita tidak mentrasformasi pemikiran dan gaya hidup sekitar
kita. Medan pertempuran itu tetap real dan semakin lama yang terjadi adalah
kita yang akan kalah. Kita harus terus membentuk diri kita menjadi orang-orang
Kristen yang siap di medan pertempuran. Bersama-sama menjadi orang Kristen yang
kritis dan intelek (men of thought) dan mampu memberikan suatu perubahan
dalam segala aspek kehidupan untuk dipersembahkan dan tunduk kepada Tuhan.
Orang Kristen yang memiliki fondasi iman yang kokoh dan setia kepada firman
Tuhan dan mempertanggungjawabkannya dalam segala aspek kehidupan.
Disadur dari tulisan J. Gresham Machen
berjudul “Christianity and Culture”