Senin, 19 Mei 2014

Pelayan Yang Melarikan Diri

Renungan ini merupakan refleksi dari kotbah Pdt. DR. Stephen Tong mengenai “Pelayan yang Melarikan Diri.” Yang mana kotbah ini diterbitkan menjadi buku kecil oleh penerbit Momentum. Pelayan yang digambarkan melarikan diri adalah Yunus. Dalam kitab Yunus jelas kita dapat melihat orang seperti apa Yunus ini. Yunus adalah seorang pelayan yang tidak sopan, tidak hormat dan tidak takut pada Tuhan. Sulit jadi teladan kita. Bagaimana kita dapat mengetahui semua kegagalan Yunus? Karena Yunus sendiri yang memberitahukan semua kegagalannya secara mendetail! Di sinilah justru letak keagungan sifat Yunus. Keagungan seseorang tidak terletak pada kebesarannya, kehebatannya, maupun kesuksesannya (yang sering dikejar oleh hamba-hamba Tuhan maupun orang Kristen). Namun, keagungan jiwa justru terlihat pada saat seseorang menceritakan dengan rela kegagalanya, kekurangannya, dan ketidakbaikannya.

Kitab suci begitu terbuka memaparkan kelemahan dan kekurangan hamba-hamba Tuhan yang teragung. Nuh pemabuk, Abraham pernah berbohong (Kej. 12:10-20; 20:1-18), Yakub memiliki 4 isteri dan juga penipu, Daud berzinah dan  pembunuh, Petrus cepat emosi, Paulus pembunuh, Gideon selalu lemah iman, Martha kuatir, Sarah tidak sabar, Elia depresi, Musa tidak pandai bicara, Zakeus pendek, dan seterusnya. Kenapa alkitab mengangkat hal-hal demikian? Karena alkitab menyatakan bahwa bagaimana Tuhan yang suci dapat mengubah orang najis menjadi orang suci, Tuhan mengampuni kesalahan-kesalahan manusia serta memberikan kekuatan kesucian kepada mereka yang taat pada Dia. Alkitab berbeda dengan buku biografi yang selalu mengangkat kelebihan dan hal-hal baik saja.

Selain itu setiap kita pasti memiliki pergumulan. Demikian juga seorang pelayan Tuhan ini, Yunus memiliki pergumulan yang unik. Pergumulan Yunus:

1.      Lepas dari Ikatan konsep rasisme. Orang Yahudi bersyukur kepada TUhan 3 hal: laki-laki bukan perempuan, tuan bukan budak, yahudi bukan kafir. Di dalam gereja tidak ada persoalan pribumi/nonpribumi. Tidak ada persoalan ras, kelas, laki-laki/perempuan, tuan/budak. Semua menjadi satu dalam Kristus. Kalau semangat ini belum kita ketahui berarti kita belum menjadi Kristen yang baik. Demikian penginjilan bukan hanya untuk orang tertentu saja, tapi semua orang/suku/bahasa/kelas dll.

2.      Lepas dari konsep Ilahi yang tidak benar. Melayani Tuhan harus memiliki konsep ketuhanan yang benar. Yunus mengira mempunyai pengenalan Allah yang sangat tepat tetapi ketepatannya itu ternyata meleset. Yunus tahu Allah mengasihi tapi pandangannya begitu sempit yaitu mengasihi yang tertentu saja.

3.      Lepas dari sikap pembenaran diri. Yunus menganggap diri benar dan berhak untuk marah kepada Allah. Ia membenarkan diri sampai pada tahap ini. Ia menganggap dirinya mutlak benar. Namun Tuhan mendidik Yunus dengan sabar. Ketika Yunus tertidur, tumbuh pohon jarak untuk menaungi Yunus. Bila dalam pelayanan kita menjumpai sedikit kesulitan, kita langsung marah. Tetapi ketika ada anugerah, hal itu kita anggap wajar dan biasa saja. Sewaktu Sewaktu motivasi pelayanan kita lepas dari perhitungan untung-rugi, baru kita dapat dipakai Tuhan.

4.      Lepas dari cara menilai hidup. Yunus mencintai pohon jarak yang melindungi kepalanya. Walaupun pohon tersebut tumbuh dengan sendirinya. Tuhan mengajarkan Yunus cara melihat dan menilai sesuatu. Bahwa demikian juga Tuhan yang terlebih lagi mencintai manusia (anak kecil niniwe) yang tidak bisa membedakan tangan kanan dan kiri. Konsep nilai yang seharusnya: yang besar itu besar, yang kecil itu kecil; yang penting itu penting, yang harus dikerjakan itu harus dikerjakan.

Ketika kita belajar dari tokoh-tokoh alkitab kembali kita diingatkan bahwa Tuhan yang besar memakai kita yang kecil dan terbatas untuk pekerjaan tanganNya. Dan akhirnya yang memperlengkapi juga adalah Tuhan. Hasilnya pun adalah untuk kemuliaan Tuhan saja.


Soli Deo Gloria !

Selasa, 13 Mei 2014

Miskin di Hadapan Allah

Matius 5:3 - “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.”

Kemiskinan seringkali diidentikan dengan hal materi. Orang yang miskin artinya orang yang kekurangan secara materi. Orang miskin adalah orang yang sulit memenuhi kebutuhan dasar (makanan dan bukan makanan). Yang menurut perhitungan di Indonesia itu yang penghasilannya 200-300rb per bulan. Dan ini hal yang paling kita sadari. Semua orang menghindari untuk menjadi miskin. Semua orang tidak ingin hidup kekurangan. Kita selalu ingin untuk berkecukupan dalam segala hal. Selain itu, kemiskinan sering disejajarkan dengan kejahatan. Semakin tinggi angka kemiskinan, semakin tinggi angka kejahatan. Kenapa seseorang mencuri, merampok, menipu, menculik? Pasti karena dia kekurangan uang.

Di dalam alkitab sendiri tidak dikatakan bahwa orang kaya itu orang yang dekat Tuhan atau orang miskin itu dekat dengan Tuhan. Alkitab mencatat bahwa ada pemuda kaya yang datang kepada TUhan Yesus yang menyatakan bahwa dirinya sudah melakukan hukum Taurat sejak kecilnya. Memang orang Yahudi diajarkan dari kecil mulai membaca alkitab, mengerti arti alkitab dan berbagian dalam ritual-ritual keagamaan. Tapi ketika pemuda kaya tersebut diperintahkan oleh Tuhan Yesus untuk menjual segala miliknya agar memberikannya kepada orang miskin dan mengikut TUhan Yesus. Ternyata ia tidak bisa, karena ia tidak mencintai Tuhan lebih daripada harta kekayaannya. Alkitab juga mencatat orang kaya yang cinta Tuhan misalnya Abraham, Ishak dan Yakub. Rela mengikut Tuhan walaupun sebenarnya kehidupan mereka sudah sangat nyaman sekali di negeri tempat tinggal mereka.

Di sisi yang lain, alkitab juga menceritakan bahwa ada orang miskin yang adalah pencuri kemudian ikut Tuhan Yesus tapi tetap jadi pencuri yaitu Yudas. Namun ada juga janda miskin yang tidak mempunyai apa-apa lagi namun mencintai TUhan. Ia mempersembahkan dua peser yaitu segala yang dimilikinya untuk Tuhan (Mark. 12:42).

Seperti apakah yang dimaksud dengan sikap hati yang miskin di hadapan Allah?

Lemah dan Tidak Berdaya (Helplessness)
Orang yang miskin adalah orang yang lemah dan tak berdaya. Orang yang sangat memerlukan pertolongan orang lain di dalam hidupnya. Orang itu tidak dikatakan miskin kalau tidak sampai pada titik ketidakberdayaan dimana ia membutuhkan pertolongan orang lain.

Ada orang kelihatan miskin, tapi sebenarnya tidak miskin. Ada berita di media (kompas) menyampaikan bahwa ada 2 warga subang, jawa barat yang berumur  54 dan 60 tahun yang sering menjadi pengemis di Pancoran, Jakarta Selatan. Mereka berpura-pura entah lumpuh atau paling tidak berpenampilan yang membuat orang lain menjadi kasihan kepada mereka. Mereka biasa mengemis pada malam hari. Dan baru 15 hari mengemis sudah mendapatkan penghasilan 25 juta. Diketahui sesudah ada petugas memeriksa pengemis tersebut, mereka terkejut karena menemukan uang berantakan di dalam satu kantong plastik yang dibawa pengemis berisi 7 juta. Kemudian petugas memeriksa kantong-kantong lainnya yang totalnya sekitar 25 juta. Ini bukan orang miskin. Kelihatannya miskin tapi tidak. Orang miskin adalah orang yang sungguh-sungguh lemah dan tak berdaya.

Dalam Perjanjian Lama, orang miskin digambarkan sebagai orang yang tertindas dan sengsara (Mzm 34:7, 40:18). Dan selalu dilanjutkan dengan suatu seruan petolongan kepada Tuhan. Agar Tuhan mengingat dan menyelamatkannya. Menjadi miskin berarti menjadi lemah dan tidak berdaya, tidak mempunyai hak, dan tidak mempunyai kemampuan untuk membela dan menyelamatkan diri sendiri. Mereka adalah orang yang bangkrut di dunia ini, yang karenanya kemudian mempercayai Tuhan sebagai satu-satunya harapan bagi perlindungan serta pembebasan mereka.

Saya pernah ngobrol dengan seorang pengamen di cikarang ini, saat itu memang dengan misi penginjilan (saya bagi traktat ke dia). Dia cerita bahwa dulu bekerja di kapal. Tapi pindah profesi jadi pengamen. Dia cerita bahwa kalau ngamen biasanya sehari itu dapat 200-300rb. Saya agak terkejut. Kalau orang ngamen sehari dapat segitu berarti sebulan bisa 6-9jt. Pantesan sampai sekarang ia ngamen. Ini bukan miskin. Kelihatannya miskin karena pakaian dan gaya hidupnya tidak begitu mewah. Ia tidak sedikit pun sebenarnya merasa lemah dan tidak berdaya.

Ketika kita sudah menjadi Kristen, sikap hati lemah dan tidak berdaya lama kelamaan mulai hilang. Kalau kita ingat pertama kali kita berkomitmen untuk hidup sebagai seorang Kristen, ada suatu kesadaran dalam diri kita bahwa kita lemah. Tapi lama-kelamaan kesadaran itu mulai hilang. Kita dibentuk menjadi Kristen yang kuat. Ini benar di satu sisi, tapi kita meninggalkan sisi yang lain. Apalagi lingkungan kita sering membentuk kita menjadi strong man atau strong woman. Semakin dewasa artinya semakin mandiri, tidak bergantung dengan orang lain. Semakin dewasa artinya malah semakin bisa menanggung beban orang lain juga. Ini jelas salah. Alkitab tidak pernah mengatakan bahwa semakin dewasa secara rohani berarti menjadi tidak bergantung dan selalu bisa menanggung beban orang lain. Atau dengan kata lain semakin dewasa rohani menjadi pahlawan rohani bagi yang lain. Ini bukanlah pandangan yang sepenuhnya tepat diajarkan oleh alkitab.

Semakin dewasa rohani artinya semakin melihat diri lemah dan tak berdaya tanpa pertolongan Tuhan. Semakin dewasa rohani artinya semakin bergantung pada Tuhan. Musa, selama di Mesir menerima pendidikan yang terbaik dan pasti dididik menjadi pemimpin bagi orang mesir. Dalam suatu film “Ten Commandments” memperkirakan bahwa musa pun sebenarnya pernah memimpin pasukan perang Mesir dan berhasil memperoleh kemenangan. Juga pernah terlibat dalam pembangunan Mesir misalnya pembangunan Piramida dll. Namun dalam satu titik di hidupnya ia merasa begitu lemah. Sampai ketika Tuhan bertemu Musa untuk menyatakan misiNya membebaskan orang Israel, musa menjadi begitu minder sekali. Bahkan sampai mengatakan bahwa ia tidak bisa berkata-kata sedikit pun. Ini sebenarnya self-pity yang berlebihan. Namun di sisi lain, sikap musa ini menyatakan bahwa ia sadar ia lemah dan tak berdaya. Ia sadar bahwa ia perlu pertolongan daripada Tuhan.


Sebagai orang Kristen kita tidak dibentuk untuk menjadi orang-orang kuat dan pahlawan rohani yang selalu kelihatan baik-baik saja. Tapi sebagai orang Kristen kita dibentuk untuk terus menyadari kelemahan dan ketidakberdayaan kita di hadapan Allah. Dan bukan berhenti di situ saja tapi menyadari dan mengakui bahwa pengharapan kita hanya ada pada Allah saja