Kamis, 06 Februari 2020

Dahaga Jiwa


Yohanes 4:3-30

Kisah perjumpaan Tuhan Yesus dengan perempuan Samaria merupakan kisah yang sangat dikenal. Karena kisah ini mempunyai keunikan dalam konteks zamannya. Keunikan ini bahkan dapat terus menjadi peringatan dan pelajaran bagi kita secara khusus umat Tuhan di sepanjang sejarah. Perjumpaan Tuhan Yesus dengan perempuan Samaria meruntuhkan rintangan/tembok pemisah diantara keduanya.

Pertama, Rintangan Ras. Samaria merupakan Ibu Kota dari Kerajaan Utara (10 Suku) yang pecahan Israel sesudah pemerintahan Salomo. Abad ke-8 SM (700 SM) mereka dijajah oleh Asyur (Hari ini Irak dan Iran) dan mengalami pembuangan. Selama masa inilah terjadi percampuran (kawin campur) dengan bangsa lain, tidak lagi Israel murni. Salah satu tokoh terkenal yaitu Ester yang menjadi Ratu Persia. Bdk. 2 Raja. 17:21-24. Tidak heran Samaria selalu dipandang rendah oleh Israel karena dipandang sebagai ras yang gagal menjaga kemurniannya.

Kedua, Rintangan Agama. Samaria menganut kepercayaan campuran (sinkretisme). Hal ini sebagai dampak dari perpecahan yang terjadi sesudah pemerintahan Salomo. Yerobeam yang memimpin Kerajaan Utara membawa 10 suku menyembah dewa-dewa lain. Oleh karena itu mereka percaya Allah (Israel) dan sekaligus percaya dewa-dewa dari Babilonia dan Asyur (2 Raja 17:21-41). Dalam kepercayaannya terhadap Allah (Israel), mereka tidak percaya sama persis dengan Kerajaan Selatan. Samaria hanya menerima Taurat Musa sebagai kitab mereka. Mereka membangun kuil penyembahan (ibadah) di Gunung Gerizim (bdk. Ulangan 11:29, 27:12; Yos. 8:33). Orang Yahudi memandang Orang Samaria sebagai penganut ajaran sesat yang telah menyelewengkan ajaran Musa (dalam hal teologi dan ibadah). Rabbi Eliezer: “He that eats the bread of the Samaritans is like the one who eats the flesh of swine ”.

Ketiga, Rintangan Gender (Jenis Kelamin). Para Rabi Yahudi tidak menerima perempuan sebagai murid. Perempuan juga tidak diperbolehkan menjadi saksi di pengadilan karena perempuan dipandang irasional dan tidak dapat dipercaya (untrustworthy). Ada yang menyatakan doa Orang Farisi demikian: “Aku bersyukur aku bukan orang yunani, melainkan orang Yahudi. Aku bersyukur aku bukan budak melainkan orang merdeka; bukan perempuan melainkan laki-laki.”

Keempat, Rintangan Dosa. Dosa perempuan Samaria ini dikenal sebagai seorang perempuan berdosa. Komunitasnya tahu bahwa perempuan ini merupakan perempuan berdosa. Ia pun menyadari hal ini. Ia menikah 5 kali dan ia sedang tinggal bersama dengan seorang laki-laki di luar pernikahan. Dalam kasus perceraian baik dalam pandangan Yahudi dan Samaria, laki-laki lebih diuntungkan. Perempuan selalu dipandang lebih bersalah daripada laki-laki jika ada perceraian. Perempuan yang sudah menikah 5 kali berarti ia sudah bercerai berkali-kali dan orang-orang berpandangan hal ini disebabkan bahwa perempuan tersebut adalah perempuan berdosa (Matius 19:3). Karena dosa ini maka perempuan ini dipandang secara sosial begitu sangat rendah (real sinner). Perempuan Samaria ini tidak diterima oleh orang Yahudi juga orang Samaria, bangsanya sendiri. Karena itulah ia mengambil air dalam waktu yang berbeda dengan waktu orang lain pada umumnya yaitu pagi (cool morning) atau sore (evening). Biasanya waktu mengambil air menjadi waktu interaksi sosial namun perempuan Samaria ini tidak melakukannya karena ia sadar bahwa ia berdosa.

Tuhan Yesus meruntuhkan segala rintangan di atas dengan suatu permohonan yang seolah biasa namun menggugah masuk ke dalam hati perempuan Samaria: Berilah aku minum (Yohanes 4:7). Tuhan Yesus adalah Allah yang Maha Tahu. Namun Ia tidak berusaha mempermalukan perempuan itu. Ia mengarahkan pembicaraan ke hal paling esensial seolah mengatakan: “Hai perempuan, Aku tahu jiwamu haus.” Ia membuka interaksi dengan hikmat dan kasih. Ia tidak menunjukkan DiriNya yang lebih tinggi daripada perempuan itu. Melainkan datang dengan menyatakan kerapuhan dan kehausannya. Sebagai Yahudi, pantang menerima pertolongan dari orang Samaria. Sebagai pribadi kepercayaan berbeda antara Yahudi dan Samaria, pantang menerima minuman yang dipandang unclean karena dari orang kafir. Sebagai laki-laki pada umumnya gengsi menunjukkan kelemahannya. Sebagai pribadi suci, "terlalu hina" menerima pemberian dari orang berdosa. Tapi Kristus meruntuhkan semua dengan menjadi vulnerable. Ia datang dengan inkarnasi, jalan mengosongkan diri.

Mengapa Tuhan Yesus melakukan hal ini?
Ia melihat kehausan sejati (dahaga jiwa) perempuan Samaria ini. Sebagian kita tidak mampu mengenali kehausan jiwa kita yang sebenarnya. Bahkan sekalipun kita menyadari dahaga jiwa kita, kita berusaha menyangkalnya. Kita menyangkalnya dengan jalan mencari hal-hal lain menggantikan Allah untuk memuaskan kehausan jiwa kita: materi, relasi (perempuan samaria dengan banyak laki-laki), budaya, bahkan agama. Namun kehausan itu tidak akan terpuaskan. Beberapa aktor/aktris bunuh diri menuliskan: diri yang lelah, kosong, hampa, dan lainnya. Contoh: Boris Becker, Sophia Loren, David Foster Wallace, dll. Karena dahaga jiwa hanya dapat dipuaskan oleh Tuhan Yesus Kristus. Blaise Pascal mengatakan: “There is a God-shaped vacuum in the heart of each man which cannot be satisfied by any created thing but only by God the Creator, made know through Jesus Christ.”

Manusia berdosa adalah manusia yang dahaga (kehausan dan kelaparan rohani). Bahkan beberapa filsuf "nonkristen" tidak menyangkali hal ini. Derrida menyatakan bahwa manusia itu selalu terarah pada The Impossible. Lacan menyatakan manusia itu selalu menunjuk pada Discourse of The Other. Manusia selalu kurang (lacking), lapar dan haus. Perempuan Samaria ini menemukan air hidup karena Yesus Kristus berkata “Aku haus”. Karena Yesus Anak Allah mengambil rupa seorang hamba, mengosongkan diri-Nya, turun ke dunia, bisa lelah dan haus. Kemungkinan jiwa kita dipuaskan dimulai dari inkarnasi Kristus (“The Possibility of satisfaction of our souls begins with Christ’s incarnation.”). Adakah kita mengalami dahaga jiwa? Bagaimanakah kita memuaskannya? Tidak ada jalan lain selain di dalam Tuhan Yesus Kristus yang dengan rela mengosongkan diri (inkarnasi) mengalami segala kesusahan, penderitaan, bahkan kematian di kayu salib dan kemudian bangkit supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya memperoleh hidup yang berkelimpahan di dalam Dia.