Senin, 15 Juni 2015

Gara-gara Kierkegaard

Beberapa waktu ini saya membaca tentang Kierkegaard. Dari biografi sampai pandangannya. Menarik ia menyimpulkan bahwa ada 3 jalan hidup manusia menyatakan eksistensinya: estetik, etik dan religious. Ketiganya ini bukanlah bersifat kronologis. Tapi lebih seperti masa-masa dimana kadang setiap kita memasuki tahap-tahap ini secara bergantian dan berulang. Walaupun begitu tetap kita tidak sama lagi dengan sebelumnya. Estetika sangat menekankan hidup sesuai dengan kemauan sendiri dan yang dikejar adalah kepuasan diri. Jadi pertanyaannya berhubungan dengan puas atau tidak puas diri kita. Misalnya ketika kita memilih makan sesuatu karena memang kita suka dan makanan itu memuaskan kelaparan kita. Sedangkan etika berhubungan dengan kehidupan moral. Jadi yang dikejar adalah tentang baik dan jahat. Saya memilih makanan tertentu bukan karena itu memuaskan saya tapi karena makanan itu baik bagi saya. Dan lebih lagi pada tahap ini lebih memikirkan tentang orang lain. Saya hidup bukan untuk diri saya tapi bagi orang-orang di sekitar saya. Maka saya tidak bisa memakai uang seenaknya membeli makanan sepuasnya. Tapi juga membagikan ke yang lain. Dan terakhir yaitu religious. Dimana kita menyadari ada suatu yang melampaui moralitas manusia. Dan ini berhubungan dengan iman. Ketika kita mengalami segala pergumulan, pergolakan, kesulitan dan segala hal yang akhirnya membawa kita pada keputusasaan. Ketika kita melihat  bahwa sesuatu itu humanly impossible. Di sini kita menyadari perlunya langkah atau lompatan iman. Dan sebenarnya inilah yang menyatakan eksistensi yang sejati dan tertinggi dari manusia. Titik tolak dari pemikiran Kierkegaard ini menekankan pada subjektivitas. Artinya ia menyadari bahwa kebenaran objektif itu tidak bisa kita pegang karena memang keterbatasan kita. Tapi yang kita bisa adalah meresponinya secara subjektif. Kierkegaard sangat mengkritik teori-teori atau pemikiran yang universal dan rasional akan segala sesuatu. Bahwa ada suatu formula universal akan kebenaran. Atau etika teleologis yang menghalalkan segala cara demi tercapainya kepentingan universal itu. Ia menyatakan bahwa manusia itu adalah subjektif yang tidak bisa kita lupakan. Dimana memiliki masing-masing pergumulan berbeda. Dan tentu juga memiliki keterbatasan. Sia-sia punya pandangan yang dianggap sudah mencakup keseluruhan kebenaran (objektif) namun tidak bisa diterapkan dalam kehidupan manusia secara subjektif dalam keseharian.

Dari sinilah tiba-tiba saya merenungkan apa yang saya pelajari dari alkitab dan hubungan dengan saya secara pribadi dalam menghadapi pergumulan hidup saya yang real sekarang ini. Tiba-tiba saya merasa betapa sebenarnya kering sekali dalam membaca alkitab. Saya cuma baca karena rutinitas, karena itu baik bahkan untuk inspirasi kotbah saja. Ini semua ada benarnya. Tapi tidak cukup. Alkitab harusnya real menjadi pedoman hidup kita dalam keseharian. Harusnya real menjadi pedoman kita dalam menghadapi segala pergumulan hidup. 

Pembacaan alkitab saya sampai pada Yosua 1:5-7. Dimana waktu itu Musa sudah dipanggil oleh Tuhan dan Yosua dipercaya sebagai penerus. Ada kata-kata yang terus diulang: “Kuatkanlah dan teguhkanlah hatimu, sebab engkaulah yang akna memimpin bangsa ini memiliki negeri yang Kujanjikan dengan bersumpah kepada nenek moyang mereka untuk diberikan kepada mereka. Hanya kuatkan dan teguhkanlah hatimu dengan sungguh-sungguh … .” Sebelumnya janji Tuhan: “Aku tidak adakan membiarkan engkau dan tidak akan meninggalkan engkau.” Suatu janji yang indah dan terus dikuatkan setiap kali membaca bagian ini. Pertanyaan saya: “Apa hubungannya dengan pergumulan saya secara real? Bagaimana ayat tadi menjadi pedoman hidup saya secara real?"

Itu adalah janji Tuhan yang bahkan saya sudah kotbahkan juga kepada salah satu pasien di rumah sakit. Itu adalah janji yang mendahului tuntutan. Janji bahwa Tuhan menyertai umatNya, Tuhan akan menyertai hambaNya. Saya sadar saya bukanlah orang yang sempurna dalam banyak hal. Tapi saya ingat janji ini. Tuhan janji bahwa Ia menyertai hambaNya. Tugas saya: “Kuatkan dan teguhkan hatimu.” Inilah juga yang disampaikan Tuhan kepada Yosua supaya Yosua menguatkan dan meneguhkan hatinya dalam segala hal ketidaktahuan masa depannya. Kalau sungguh benar janji Tuhan maka kenapa saya takut dan kuatir. Kalau janji ini diucapkan oleh Sang Pencipta dan Penebus, kenapa saya ragu. Keraguan muncul karena saya kurang iman. Doa saya: kiranya Tuhan tambah-tambahkan iman saya dalam memegang janjiNya.


Soli Deo Gloria

Tidak ada komentar:

Posting Komentar