Ada hasil pengamatan psikologi menyatakan
bahwa “80% orang akan menyimpan
perasaannya karena mereka yakin orang lain tidak akan bisa mengerti apa yang
dirasakannnya.” Entah seberapa jauh ketepatan pengamatan ini, namun
sepertinya tidak bisa dibantah bahwa setiap kita memiliki beban yang tak dapat
dikatakan. Beban tersebut tak terkatakan, seringkali, karena kita meyakini
bahwa orang lain tidak akan mengerti beban kita. Beban tersebut bisa mengenai
diri kita, orang lain atau keadaan sekitar kita. Psikologi dan juga
psikoanalisis mencoba memahami “beban yang tak terkatakan” ini dengan berbagai
macam pendekatan. Salah satunya mereka menjadi “telinga” bagi pasiennya. Tapi
tetap saja usaha ini tidak berhasil sepenuhnya. Faktanya selalu saja ada “beban
yang tak terkatakan”. Sebagaimana pengamatan diawal bahwa beban tersebut bukan
karena tak mampu terkatakan, tapi karena kita tak mau mengatakannya. Kita
sendiri memilih untuk tidak mengatakannya karena kita yakin orang lain tak
mengerti.
Dalam hal ini, saya teringat akan apa yang
dialami oleh Tuhan Yesus Kristus. Pada saat Ia menanggung penderitaan untuk
menebus manusia berdosa, ia dihakimi, dianiaya dan disalib, ada kalimat: “Tetapi Ia tidak menjawab
suatu katapun” (Matius
27:14). Hal ini bukanlah hal yang mengejutkan, karena jauh sebelumnya
ada nubuatan demikian:
Yesaya 53:7
Dia dianiaya, tetapi dia
membiarkan diri ditindas dan tidak membuka mulutnya
seperti anak domba yang dibawa ke pembantaian; seperti induk domba yang kelu di
depan orang-orang yang menggunting bulunya, ia tidak membuka mulutnya.
Frase
tersebut bahkan diulang 2 kali dalam Yesaya 53:7. Pengulangan merupakan
semacam penegasan akan suatu hal. Dia adalah Allah yang MahaKuasa yang
menjadikan segala sesuatu dengan “berfirman”.
Tuhan Allah yang diajarkan alkitab adalah Tuhan Allah yang berfirman. Dan injil
banyak mencatat bahwa Allah yang menjadi manusia, Tuhan Yesus Kristus, itu
mengajar banyak hal tentang kerajaan Allah dan kebenarannya. Ia juga bukanlah
pribadi yang diam atas ketidakadilan. Jelas Ia menegur marta ketika marta
“menghakimi” maria. Ia juga menegur Petrus ketika “menyombongkan” dirinya. Ia
juga menegur Yudas saat perjamuan terakhir sebelum mengalami penderitaan menuju
salib. Ia menegur keras orang Yahudi, ahli Taurat, Farisi dan semua orang yang
munafik. Ia adalah Allah yang berfirman. Tapi momen dimana Ia dibawa menuju
salib, Ia tidak membuka mulutnya. Kenapa?
Sebelum
Yesaya 53:7, dijelaskan bahwa Ia diam karena menanggung dosa kita semua.
Ia diam karena hal tersebut sulit untuk kita mengerti. Namun bukan itu saja,
karena manusia juga diam karena berpikir bahwa orang lain tidak mengerti apa
yang dialami. Ia, Yang Maha Kuasa dan Suci, diam karena “kerelaanNya”
menanggung itu semua tanpa keluhan dan keberatan sedikit pun. Ia bukan tak mau
atau tak mampu mengatakan beban tersebut, tapi karena ia “membatasi”
diriNya. Ia membatasi diriNya karena Ia rela (Efesus 2:5-8).
Yesaya 53:4-5
Tetapi sesungguhnya,
penyakit kitalah yang ditanggungnya, dan kesengsaraan kita yang dipikulnya,
padahal kita mengira dia kena tulah, dipukul dan ditindas Allah. Tetapi dia
tertikam oleh karena pemberontakan kita, dia diremukkan oleh karena kejahatan
kita; ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya,
dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh.
Ia
diam karena kerelaanNya menanggung sesuatu yang seharusnya tidak dia terima
yaitu dosa kita. Ia sama sekali tidak bersalah, tapi Ia “dijadikan” bersalah
untuk menebus kita, manusia berdosa. Supaya kita semua yang berdosa dapat
memperolah harapan keselamatan di dalam Kristus. Ya, setiap kita yang percaya
kepadaNya. Keberdosaan kita ditanggungkan kepadaNya dan kebenaranNya
diperhitungkan kepada kita yang percaya kepadaNya. Sebagaimana dikatakan
alkitab bahwa oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar