Senin, 14 Maret 2016

The Unspeakable Burden

Ada hasil pengamatan psikologi menyatakan bahwa “80% orang akan menyimpan perasaannya karena mereka yakin orang lain tidak akan bisa mengerti apa yang dirasakannnya.” Entah seberapa jauh ketepatan pengamatan ini, namun sepertinya tidak bisa dibantah bahwa setiap kita memiliki beban yang tak dapat dikatakan. Beban tersebut tak terkatakan, seringkali, karena kita meyakini bahwa orang lain tidak akan mengerti beban kita. Beban tersebut bisa mengenai diri kita, orang lain atau keadaan sekitar kita. Psikologi dan juga psikoanalisis mencoba memahami “beban yang tak terkatakan” ini dengan berbagai macam pendekatan. Salah satunya mereka menjadi “telinga” bagi pasiennya. Tapi tetap saja usaha ini tidak berhasil sepenuhnya. Faktanya selalu saja ada “beban yang tak terkatakan”. Sebagaimana pengamatan diawal bahwa beban tersebut bukan karena tak mampu terkatakan, tapi karena kita tak mau mengatakannya. Kita sendiri memilih untuk tidak mengatakannya karena kita yakin orang lain tak mengerti.

Dalam hal ini, saya teringat akan apa yang dialami oleh Tuhan Yesus Kristus. Pada saat Ia menanggung penderitaan untuk menebus manusia berdosa, ia dihakimi, dianiaya dan disalib, ada kalimat: “Tetapi Ia tidak menjawab suatu katapun(Matius 27:14). Hal ini bukanlah hal yang mengejutkan, karena jauh sebelumnya ada nubuatan demikian:

Yesaya 53:7
Dia dianiaya, tetapi dia membiarkan diri ditindas dan tidak membuka mulutnya seperti anak domba yang dibawa ke pembantaian; seperti induk domba yang kelu di depan orang-orang yang menggunting bulunya, ia tidak membuka mulutnya.

Frase tersebut bahkan diulang 2 kali dalam Yesaya 53:7. Pengulangan merupakan semacam penegasan akan suatu hal. Dia adalah Allah yang MahaKuasa yang menjadikan segala sesuatu dengan “berfirman”. Tuhan Allah yang diajarkan alkitab adalah Tuhan Allah yang berfirman. Dan injil banyak mencatat bahwa Allah yang menjadi manusia, Tuhan Yesus Kristus, itu mengajar banyak hal tentang kerajaan Allah dan kebenarannya. Ia juga bukanlah pribadi yang diam atas ketidakadilan. Jelas Ia menegur marta ketika marta “menghakimi” maria. Ia juga menegur Petrus ketika “menyombongkan” dirinya. Ia juga menegur Yudas saat perjamuan terakhir sebelum mengalami penderitaan menuju salib. Ia menegur keras orang Yahudi, ahli Taurat, Farisi dan semua orang yang munafik. Ia adalah Allah yang berfirman. Tapi momen dimana Ia dibawa menuju salib, Ia tidak membuka mulutnya. Kenapa?

Sebelum Yesaya 53:7, dijelaskan bahwa Ia diam karena menanggung dosa kita semua. Ia diam karena hal tersebut sulit untuk kita mengerti. Namun bukan itu saja, karena manusia juga diam karena berpikir bahwa orang lain tidak mengerti apa yang dialami. Ia, Yang Maha Kuasa dan Suci, diam karena “kerelaanNya” menanggung itu semua tanpa keluhan dan keberatan sedikit pun. Ia bukan tak mau atau tak mampu mengatakan beban tersebut, tapi karena ia “membatasi” diriNya. Ia membatasi diriNya karena Ia rela (Efesus 2:5-8).

Yesaya 53:4-5
Tetapi sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggungnya, dan kesengsaraan kita yang dipikulnya, padahal kita mengira dia kena tulah, dipukul dan ditindas Allah. Tetapi dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, dia diremukkan oleh karena kejahatan kita; ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya, dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh.

Ia diam karena kerelaanNya menanggung sesuatu yang seharusnya tidak dia terima yaitu dosa kita. Ia sama sekali tidak bersalah, tapi Ia “dijadikan” bersalah untuk menebus kita, manusia berdosa. Supaya kita semua yang berdosa dapat memperolah harapan keselamatan di dalam Kristus. Ya, setiap kita yang percaya kepadaNya. Keberdosaan kita ditanggungkan kepadaNya dan kebenaranNya diperhitungkan kepada kita yang percaya kepadaNya. Sebagaimana dikatakan alkitab bahwa oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar