Senin, 23 Juli 2018

Too Much Love?

Saya sebenarnya bingung dengan kalimat ini: “too much love”. Saya tahu dan pernah mengalami makan  “terlalu banyak”. Ukurannya adalah perut saya yang terasa penuh tidak seperti biasanya. Saat itu saya lebih memilih untuk duduk bahkan berebah daripada berjalan. Karena begitu penuh, minum pun rasanya tak sanggup. Saya ingin cepat-cepat untuk “buang air besar atau air kecil” supaya meringankan beban. Saya juga sepertinya tahu dan pernah mengalami belajar “terlalu banyak”. Saat saya sedang mengerjakan tesis S2, saya sering berjam-jam membaca buku dan hanya mengetik beberapa baris saja karena terus memikirkan per kalimat. Kepala saya seolah penuh bahkan sampai sulit merangkai apa yang sudah saya baca dalam bentuk tulisan. Saya pernah berbicara “terlalu banyak”. Rahang terasa lelah dan lidah terasa kering. Dan banyak hal lagi yang dapat kita alami “terlalu banyak” karena calculable. Tapi apakah ada mencintai “terlalu banyak”? apa ukurannya? Apakah cinta itu calculable

Saya teringat akan firman Tuhan Yohanes 3:16, “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” Tuhan Allah mengasihi manusia begitu besar sehingga mengaruniakan Anak-Nya (Tuhan Yesus Kristus) sampai mati di kayu salib untuk menebus manusia berdosa. Kita tidak memisahkan Allah Bapa dan Allah Anak dalam esensi, Allah Bapa dan Anak adalah satu adanya. Maka dapat disimpulkan: “Karena begitu besar kasih Allah akan manusia berdosa sehingga Ia memberikan Diri-Nya sendiri menjadi tebusan”. Self-sacrifice merupakan dasar dari kasih alkitabiah. Apakah ini mencintai “terlalu banyak”? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar